Preman Birokrasi Berjubah Menkes, Mengatasi Bullying dengan Bullying dan Framing | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Preman Birokrasi Berjubah Menkes, Mengatasi Bullying dengan Bullying dan Framing

Ceknricek.com--Baru-baru ini isu terkait bullying atau perundungan dalam pendidikan dokter spesialis mencuat lagi dan ramai diperbincangkan di berbagai media.

Mari kita perjelas dengan batasan yang jelas pemahaman kita tentang bullying demi upaya bersama guna pencegahan dan pemberantasan bullying ini demi masa depan pendidikan dokter yang lebih baik dan lebih egaliter.

Per definisi, bullying adalah bentuk perilaku agresif dan merendahkan yang dilakukan secara berulang, oleh orang atau kelompok orang yang lebih kuat, lebih berkuasa dan berdaya kepada orang atau kelompok orang yang lebih lemah dan kurang berdaya.

Bullying ini bisa dalam bentuk verbal, fisik, mental, sosial, sampai cyberbullying, dengan tujuan untuk menyakiti, mendominasi, mempermalukan, mengambil manfaat/ keuntungan, mempersulit, bahkan sekedar memperlihatkan superioritas pihak yang lebih berkuasa.

Bullying adalah isu universal, dan terjadi pada banyak institusi khususnya institusi pendidikan yang dalam proses pembelajarannya memanfaatkan model mentoring dari senior terhadap juniornya.

Selain pada institusi pendidikan dokter spesialis (IPDS), peristiwa bullying rentan terjadi pada peserta didik sekolah kedinasan, seperti STPDN milik Kemendagri, STIP milik Kemenhub, serta Akmil dan Akpol.

Di Amerika, bullying ini dialami oleh 13,6% peserta didik program dokter spesialis, dan 4% bahkan berupa sexual bullying (Moves Medicine, Nov.14, 2019). Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan-pun angka bullying mencapai 11,3-18,1% (https://doi.org/10.1348/096317909X481256).

Di sisi lain terjadi juga bullying terhadap dokter oleh pasien dan/ atau keluarganya, yang angkanya mencapai 25% (Australian Health Review, https://doi.org/10.1071/AH11048). Jadi tidak ada satupun pihak yang menyangkal bahwa bullying itu ada dan terjadi, termasuk di dalam lingkungan Pendidikan, khususnya Pendidikan PPDS.

Kita semua sepakat, bahwa bullying dalam bentuk apapun ringan maupun berat adalah musuh bersama yang harus dicegah dan diperangi. Apalagi bila sampai terjadi kematian, maka ini termasuk ranah pidana, dan harus ada individu/ pelaku yang bertanggung-jawab.

Bullying adalah perbuatan salah/ pidana individu atau kelompok, dan Institusi tidak layak untuk dihukum karena kesalahan individu, apalagi bila kesalahan itu masih berupa tuduhan yang belum terbukti di hadapan hukum.

Apakah ketika ada Taruna Akpol atau STPDN meninggal akibat dianiaya seniornya lalu Kemendagri menutup AKPOL atau STPDN? Bahkan ketika ketua KPK jadi tersangka korupsi atau ketua MK melakukan pelanggaran Etik, lalu KPK atau MK diberhentikan kegiatannya atas nama Negara. Hanya ‘Stupid Leadership’ saja yang dalam menyelesaikan masalah berakibat timbulnya masalah lain yang lebih besar.

Kematian Dr ARL, Tugas Polisi untuk menelaah Sebab Kematian dan ada tidaknya Bullying

Terkait dengan meninggalnya dr. Aulia Risma Lestari (ARL), peserta didik PPDS Anestesi FK Undip, pada tg. 13/8/2024, menkes langsung merespon cepat dengan Surat No. TK. 02.02/D/44137/2024, tg 14/8/2024 tentang Pemberhentian Program Anestesi Undip di RS Dr.Kariadi, sehubungan dengan dugaan terjadinya perundungan, yang menyebabkan terjadinya bunuh diri pada salah satu peserta didik PPDS.

Tentang sebab kematian dan keterkaitannya dengan bullying, perlu pembuktian berdasarkan penyelidikan yang mendalam oleh polisi. Sampai dengan hari Jum’at 16/8/2024 Kapolrestabes Semarang menyatakan tidak ada bukti

terkait perundungan dalam kematian dr. ARL. (https://youtu.be/8vwS3bkVfvo?si=WWAEMhH8ociykbet), dan sebelumnya hari Kamis tgl 15/8/2024 dari pihak keluarga, melalui pengacaranya membantah bahwa kematian dr. Aulia disebabkan oleh bunuh diri (https://www.detik.com/jateng/berita/d-7494074/keluarga-bantah-mahasiswi-kedokteran-undip-tewas-bunuh-diri).

Kepolisian adalah institusi negara yang paling berwenang, setelah mengumpulkan barang bukti dan keterangan, untuk menyatakan sebab kematian serta ada tidaknya keterkaitan dengan bullying. Terakhir, Kepolisian menyatakan bahwa sebab kematian dr.Aulia adalah pemakaian obat anti nyeri/ pelemas otot dengan dosis berlebih (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240817173502-20-1134313/polisi-sebut-over-dosis-obat-suntik-di-kematian-dokter-muda-ppds-undip). Meski dari pihak Undip, melalui Siaran Pers No. 647/UN7.A/TU/VIII/2024 tg 15/8/2024 telah membantah terjadinya perundungan, tetapi tetap saja bahwa surat menkes No. TK.02.02/D/44137/2024 adalah sebuah Framing Buruk dan Tuduhan tanpa bukti kepada Institusi Universitas Diponegoro.

Dalam banyak narasi terkait kematian Dr. ARL, sejak hari pertama, menkes telah mengambil paksa tugas institusi Kepolisian dan Kejaksaan, menyatakan kematian sejawat ARL sebagai tindakan bunuh diri, dan tanpa dukungan fakta atau bukti sudah memastikan bunuh diri ini akibat perundungan.

Jadi butuh Kambing Hitam yang harus ada demi mendukung tuduhan yang terlanjur tersebar secara liar. Selain itu di hari yang sama, menkes sudah menghukum sebuah Institusi Pendidikan Dokter Spesialis yang kegiatannya dihentikan.

Jadi selain sebagai Polisi dan jaksa, menkes telah bertindak sebagai Hakim yang memutus soal Benar atau Salah dan menjatuhkan Hukuman. Bahkan, per hari Rabu 28/8/2024, Dekan FK Undip, telah diberhentikan aktivitasnya sebagai dokter pemberi layanan bidang Bedah Onkologi di RS Kariadi. Surat Pemberhentian ini ditandatangani oleh Dirut RS Kariadi, menindak-lanjuti perintah Dirjen Yankes No. TK 02.02/D/44137/2024 tentang penghentian Prodi PPDS Anestesi.

Tidak ada kata yang tepat untuk pejabat yang sekaligus merangkap sebagai Polisi, Jaksa, dan juga Hakim, selain kata Preman Birokrasi yang tampil bak pahlawan karena berharap bisa ditunjuk jadi menteri lagi, benar-benar memalukan sekaligus memuakkan.

PPDS, Tenaga Kerja Gratis, dengan Jam Kerja dan Beban Kerja mengikuti aturan di RS Vertikal

Dalam pelbagai narasi yang diumbar menkes, jelas terlihat upaya menutupi borok yang ada di RS Vertikal milik kemenkes terkait jam operasional Kamar Bedah RS yang 24 jam (SE No. HK.02.03/1.1/7206/2021), yang ujung-ujungnya berakibat pada jam kerja PPDS (terutama PPDS Anestesi, antara lain Dr ARL), sebagai pekerja murah tanpa gaji alias Budak, di semua RS Vertikal.

Bagaimana mungkin RS Vertikal diperlakukan bagai sebuah BUMN, yang wajib menghasilkan revenue yang harus meningkat dari tahun ke tahun bak BUMN Tambang dan Perbankan. Jadi negara (baca: kemkes) telah menjadikan orang sakit sebagai lahan bisnis yang menguntungkan, padahal Kesehatan Rakyat adalah kewajiban konstitusional hadirnya negara.

Akibat dari kebijakan yang salah ini, RS Vertikal terus berupaya menambah jumlah layanan, dengan pengadaan banyak alat-alat canggih, tanpa memperhatikan penambahan jumlah dokter, nakes, dan karyawan RS. Hal inilah yang berujung pada banyaknya tugas tambahan para budak PPDS yang semua berada di RS Vertikal sebagai portir pengantar pasien ke ruangan, sebagai petugas farmasi yang mengurusi obat bagi pasien, dan yang paling parah karena menyita waktu adalah sebagai petugas administrasi yang wajib melengkapi rekam medis data pasien, demi kepentingan RS Vertikal.

Saat ini ada sekitar 16.000 budak ppds ini yang jadi bagian tak terpisahkan dalam layanan RS Vertikal. Janji Negara (baca: kemkes) untuk memberi insentif sejak lebih dari 10 tahun lalu (UU 29/2013), tetap tinggal janji. Bukankah ini Tindakan bullying?

Selain tidak digaji, dan tidak menerima fasilitas/ tunjangan apapun untuk diri dan keluarganya, karena statusnya bukan pegawai RS, para PPDS yang hidup di dalam RS Vertikal lebih lama daripada para Dokter (DPJP) pegawai dan Mitra RS, serta jelas lebih lama dari pada para direksi RS Vertikal masih harus keluar uang untuk makan dan minum selama bekerja, bahkan ditambah bebannya dengan keharusan bayar parkir motor/ mobil karena memakai lahan RS Vertikal milik Kemenkes. Ini bisa dikatakan sebagai eksploitasi dan perbudakan atas nama Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan, yang tidak boleh terjadi dalam masyarakat yang beradab.

Beasiswa/ Tunjangan Belajar (Tubel) Kemenkes yang Menjerat PPDS bak Lintah Darat

Dalam 10 tahun terakhir ini, kemenkes menawarkan skema beasiswa pendidikan spesialis untuk bidang-bidang tertentu guna memenuhi kekurangan SDM dokter spesialis untuk RSUD yang membutuhkan.

Beasiswa atau Tunjangan Belajar (Tubel) spesialis ini diberikan dalam 2 komponen, komponen biaya sekolah (Sumbangan Pengembangan Institusi/ SPI dan UKT/SPP) yang dibayarkan langsung ke institusi pendidikan, dan komponen biaya hidup yang ditransfer ke rekening peserta didik setiap semester.

Jumlah yang dibayarkan ke Institusi adalah SPI (bervariasi antara 25-100 juta sekali saja) dan UKT/SPP (bervariasi antara 15-30 juta/ semester). Sedangkan bantuan biaya hidup, sesuai Permenkeu No. 83/PMK.02/2022, sebesar 20.690.000/tahun ditransfer langsung ke rekening peserta didik setiap semester.

Terkait dengan Tubel ini, calon PPDS mendaftar sebagai peserta melalui RSUD untuk bidang spesialisasi yang dibutuhkan oleh RSUD tsb. Bisa jadi pilihan bidang spesialisasi ini tidak sesuai dengan passion/ keinginan peserta didik, melainkan mengikuti bidang spesialis yang paling dibutuhkan oleh RSUD.

Saat mendaftar, ybs mesti membuat pernyataan a.l. Tidak akan mundur dari program, dan bila mengundurkan diri akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan (SE No. HK.02.02/F/1845/2024). Sanksi terkait Tubel dimuat di Permenkes No.37-2022 tentang Bantuan Biaya Pendidikan Kedokteran dan Fellowship.

Pada pasal 55 ayat 2, tertulis sanksi bagi yang mundur atau tidak menyelesaikan pendidikan diharuskan mengembalikan biaya pendidikan sebesar 5x (Lima Kali) jumlah biaya yang telah dikeluarkan selama masa pendidikan bagi peserta program dokter spesialis, dan 10x (Sepuluh Kali) bagi peserta program dokter Subspesialis.

Di Undip, dari 1055 PPDS, ada 109 penerima tubel kemenkes. Sedangkan di Unair, dari 1875 PPDS, ada 246 penerima tubel. Tentu saja selalu akan ada mereka yang pilihan bidang spesialis nya tidak sesuai dengan keinginan hati, memilih karena terpaksa demi mendapatkan beasiswa karena tidak punya dukungan finansial dari orang tua maupun mertua.

Bisa pula terjadi, karena suatu sebab, misalnya sakit yang mengganggu tugas/ proses belajarnya, dan mereka terpaksa tidak dapat menyelesaikan studi, maka pilihannya adalah mundur tapi bayar denda bak hutang pada rentenir/ lintah darat, atau mati agar bebas dari sanksi bayar ‘pinjaman’ dengan bunga 500-1000% (sesuai Permenkes 37-2022).

Coba bandingkan dengan beasiswa LPDP yang tidak mewajibkan pengembalian bagi yang mundur karena sakit, dan bagi yang gagal studi hanya mengembalikan sesuai jumlah yang sudah diterima tanpa ada tambahan bunga sepeserpun ( https://tinyuri.com/PengunduranDiriLPDP ).

Negara (baca: menkes) tidak boleh menganggap mereka yang terpaksa mundur/ tidak bisa menyelesaikan studi sebagai orang yang salah dan punya maksud jahat sehingga mesti dihukum berat membayar denda dengan bunga yang jauh lebih besar dari bunga Pinjol.

Untuk PPDS Undip dengan masa studi 2 th, besarnya dana yang mesti dikembalikan bisa mencapai 750 juta, betapa mengerikan. Bagi penerima tubel kemenkes, termasuk Dr ARL, kewajiban yang diluar nalar, mengembalikan dana sebesar 750 juta sesuai permenkes 37-2022 bila studinya tidak selesai, bisa jadi merupakan penyebab utama stres dan bila ternyata memang benar, haruslah dianggap sebagai bentuk bullying oleh negara (baca: menkes). Naudzubillahi Min Dzalik.

#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Spesialis, Guru Besar Universitas Diponegoro

 

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait