Ceknricek.com -- Di era modern dengan berbagai kemajuan teknologi informasi, pola-pola ekonomi dan bisnis telah mengalami evolusi. Karena itu, para pelaku usaha dan BUMN harus beradaptasi dengan kondisi yang ada. Hal ini menjadi perhatian khusus akademisi dan praktisi bisnis Prof. Rhenald Kasali.
Menurut Rhenald, saat ini perusahaan rintisan yang masuk kategori unicorn (nilai kapitalisasinya lebih dari US$1 miliar) telah memberanikan diri masuk pasar modal dan beralih dari pemodal malaikat (angel investor) ke publik. Ini menjadi bukti bahwa era disrupsi teknologi ke sektor ekonomi memang sudah semakin menjalar.
“Tahun lalu, 12 unicorn global menguji nyali di NYSE (New York Stock Exchange) walaupun totalnya rugi US$14 miliar. Setelah itu berita buruk terhadap Uber membuat harga sahamnya anjlok. Di sini berita tentang PHK di Bukalapak juga menghiasi media sehingga banyak mengundang pertanyaan,” kata Rhenald melalui pernyataan resmi, Rabu (16/10).
Rhenald Kasali. Sumber: Wikipedia
Secara global, saat ini perekonomian dunia juga tengah ketar-ketir menghadapi ancaman resesi. Kekhawatiran ini disebabkan beberapa peristiwa. Misalnya, perang dagang antara China dan Amerika Serikat, konflik timur tengah, hingga alotnya proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit.
Sumber: AFP
“Ancaman resesi kali ini menimpa negara-negara yang perekonomiannya mengandalkan pasar ekspor. Indonesia mungkin sedikit terganggu, tetapi tak sebesar Singapura atau Thailand yang benar-benar mengandalkan ekspor,” kata Rhenald.
Baca Juga: Peluncuran Buku “Leadership In Practice-Apa Kata Asmawi Syam“ Karya Rhenald Kasali
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu, di era ekonomi modern ini ancaman disrupsi bisa lebih berbahaya ketimbang resesi. Khususnya apabila CEO atau pengambil keputusan bisnis yang ada justru tak bisa berevolusi dan terlena dengan cara-cara lama.
Akibat dari disrupsi teknologi mengakibatkan pasar tergerus oleh pendatang baru, mengalami great shifting, terimbas substitusi dan mengakibatkan sumber-sumber pendapatan usaha yang utama kehilangan relevansi.
“Saat ini tak ada lagi pendapatan dari penjualan koran dalam industri surat kabar. Mie instan terancam Gofood. Kantor-kantor cabang bank masih dipertahankan kendati sudah jarang nasabah yang datang. Kelak, kalau kendaraan beralih ke mobil listrik, bagaimana nasib SPBU atau pompa bensin? Belum lagi model bisnis yang mengandalkan kendali atas seluruh sumber daya yang digantikan platform yang efisien,” kata Rhenald Kasali.
Sumber: Detik
Lebih Mudah Diatasi
Meski secara dampak disrupsi bisa berakibat lebih besar ketimbang resesi, akademisi bergelar Ph.D. dari Universitas Illinois ini menilai disrupsi lebih mudah diatasi ketimbang resesi. Syaratnya, CEO selaku pemegang kendali harus bisa beradaptasi dengan cara-cara baru, merubah sudut pandang. Faktor penguasaan teknologi juga mempengaruhi, jangan asal membeli teknologi dan merasa telah melakukan transformasi digital.
Baca Juga: Unicorn: Antara Bakar Duit dan Masa Depan Abu-abu
“Saat ini mulai banyak CEO yang tertarik berinvestasi pada startup (perusahaan rintisan) milik anak muda. Namun agak terganggu dengan ancaman resesi, berita-berita buruk tentang ancaman PHK yang terjadi di sejumlah platform seperti Uber dan cara pandang lama," kata penulis buku The Great Shifting (2018) itu.
Sumber: Istimewa
"Startup itu bersifat ekspansif, sedang pada fase pertumbuhan. Metriknya adalah growth dan matching quality. Sedangkan korporasi metriknya adalah rasio keuangan yang mencerminkan keuntungan dan efisiensi,” kata Rhenald yang selalu mengingatkan agar kasus-kasus bisa dilihat secara satu per satu.
“Betul startup ini masih dalam tahap pertumbuhan dan banyak yang belum punya sumber pendapatan yang bisa diandalkan, namun sudah berani IPO. Ini yang mengakibatkan nasib mereka terpuruk," tambahnya.
Salah satu kendalanya, menurut Rhenald, adalah model bisnis. Beberapa startup juga tidak mampu mempertahankan keseimbangan antara harga murah yang diinginkan pasar atas jasa-jasanya, dengan keinginan vendor yang tak mau diberi margin rendah. Ketidakmampuan mengelola faktor-faktor itu bisa berakibat platform semakin ditinggalkan.
Sumber: CNBC
Tak hanya pada startup, pelaku bisnis dan CEO lainnya juga dituntut untuk memahami cara kerja baru. Saat ini, mereka tidak boleh hanya mengandalkan metrik lama yang dipelajari di business school pada era 80-90an.
“Kalau tidak pelaku usaha kita akan semakin diserang asing secara proxy menggunakan platform dari jauh kan kita hanya menjadi penonton saja sambil menyalahkan resesi,” tutup penulis berusia 59 tahun itu.
BACA JUGA: Cek HUKUM, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini