RNI-FILOSOFI METAVERSE (2) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

RNI-FILOSOFI METAVERSE (2)

Metaverse: Halusinasi Konsensual?

Ceknricek.com--Sore itu mendung mesra, gerimis mengundang rinai, suasana sejuk pedesaan memang terasa kental, sementara banyak diwartakan banjir melanda di beberapa area Nusantara, tak terkecuali di ibukota, akankah banjir bakal dipolitisir lagi setiap tahun? Entahlah, batin ini sedikit merintih dan tiba-tiba Gus Dur hadir. ‘‘Mas, sampeyan ini mikirin apa tho..banjirnya sudah ada yang ngurusin..tanya aja si Fadli Zonk eh..Fadli Zon maksud saya..ini ada yang lebih heboh lhoo..masih terkait obrolan kita terdahulu..’’ Saya jelas terkejut, bukan Gus Dur namanya kalau tak mengejutkan, ‘’Inggih, siyaap Gus..mari kita lanjut bahas si Meta ya..’’

‘’Saya koq lebih sependapat dan sepemikiran dengan si David Chalmers filsuf yang distinguished dalam ranah consciousness tersebut yang berani melawan arus besar pemikiran terkait dunia virtual dengan menyatakan bahwa dia akan mempertahankan pandangan yang berlawanan dengan pemahaman umum bahwa: realitas virtual adalah semacam realitas asli, objek virtual adalah benda nyata, dan apa yang terjadi di dunia maya adalah benar-benar nyata.

Bahkan Chalmers menohok kita dengan bertanya: seberapa nyata realitas virtual itu? Pandangan yang paling umum dianut bahwa realitas virtual adalah semacam fiksi atau realitas ilusi, dan bahwa apa yang terjadi dalam realitas virtual tidak benar-benar nyata. Dalam Neuromancer, William Gibson sebagaimana dikutip dalam karya Chalmers, mengatakan bahwa dunia maya (dengan kata lain yang dimaksudkan adalah realitas virtual) adalah "halusinasi konsensual". Kita sepakati bersama sesuatu maka jadilah ia nyata, sebaliknya pun demikian bila kita sepakati sesuatu sebagai maya maka jadilah dia maya, semua semata halusinasi konsensual.

Adalah hal umum bagi orang-orang yang mendiskusikan dunia virtual untuk membedakan objek virtual dengan objek nyata, seolah-olah benda maya tidak benar-benar nyata. Chalmers mengajak kita mendekati masalah nan membingungkan ini melalui sejumlah pertanyaan. (1) Apakah objek virtual, seperti avatar dan alat yang ditemukan di dunia maya yang khas, nyata atau fiksi? (2) Bila kita melakukan suatu kegiatan acara virtual, seperti perjalanan melalui dunia maya, apakah hal itu benar-benar terjadi? (3) Ketika kita merasakan dunia virtual dengan memiliki pengalaman mendalam tentang dunia di sekitar kita, apakah pengalaman kita hanya ilusi belaka? dan (4) Apakah pengalaman dalam dunia maya sama berharganya (valuable) dengan pengalaman di dunia non-virtual?

Wujud konkrit Metaverse belum lagi final ternyata nyaris seluruh dunia heboh, kian banyak kanal-kanal media sosial dipenuhi tayangan yang membahas si Meta walau belum pasti benar salahnya. Sedangkan ‘bahaya dunia virtual’ sekarang sudah di depan mata. Terlebih sejak si Korona melanda, kita makin asyik-masyuk berselancar di dunia maya dan nyaris lupa waktu, lupa diri, lupa pulsa tergerogoti yang berarti uang belanja makin menanjak. Tak berlebihan bila kita simpulkan bahwa kian banyak anak muda maupun dewasa berkubang dalam zona nyamannya hingga lupa atau abai bersosialisasi secara nyata walau mesti repot mengenakan masker dan mematuhi protokol kesehatan. Padahal manusia sejatinya adalah mahluk sosial yang perlu silaturahmi dan perjumpaan riil, srawung nyata agar mampu mengasah dan membangkitkan gairah rasa peduli, empati, sehati seperasaan yang jelas tak mungkin diperoleh secara virtual belaka.

Bahkan ada suatu kekhawatiran bahwa kenyataan virtual akan meruntuhkan struktur kepercayaan (belief system) bila kelak kita kian susah meninggalkan piranti-piranti dunia virtual yang dihadirkan metaverse. Struktur kepercayaan telah dibangun dari kenyataan yang nyata plus pengalaman keyakinan dari budaya dan agama/spiritualitas. Apakah akibat selanjutnya dari runtuhnya sistem kepercayaan ini mungkin belum bisa kita prediksi saat ini. Namun, sejatinya, beberapa abad lampau sesepuh kita sudah menanamkan kebajikan yang tetap relevan guna mengantisipasi keresahan akibat kemilau si meta tersebut. Ronggowarsita menekankan agar kita tak terlena, agar selalu eling lan waspada, yang dibahasakan secara kekinian oleh Ellen Langer  sebagai mindfulness dalam Harvard Business Review 2014 lalu.

Ellen menyimpulkan bahwa prilaku manusia cenderung meningkat level chaoticnya, semakin keblinger, semakin merasa nyaman dengan ketidakwajaran, kepalsuan, ke-maya-an. Menurutnya, eling adalah keadaan dimana kita secara aktif selalu menempatkan diri kita pada present moment (saat kini, now) dan selalu sadar/aware. Mungkin lebih tepatnya adalah mengembalikan tubuh, pikiran dan kesadaran (jiwa) pada kekinian hingga kita menjadi lebih peka terhadap perubahan diri kita dan sekitar kita, tak lalai apalagi abai.

Dengan demikian, dalam menghadapi kekaburan antara yang nyata dan yang maya dalam metaveerse nanti, kuncinya adalah bagaimana kita bisa berselancar di tengah-tengah perubahan dengan selalu eling (minful) sehingga kita dapat mengendalikan perubahan dan membuat kehidupan pribadi maupun keluarga tetap sehat, tetap waras ora keblinger. Kita adalah tuan bagi diri kita sendiri tatkala kita selalu waspada, eling. Sebaliknya, bila kita tak mampu mengendalikan kewaspadaan kita maka hal tersebut dalam berbagai literatur disebut manusia dengan animal instict, manusia yang bekerja dengan insting binatang alias nafsu-nafsu hewaninya. Inilah yang patut kita waspadai bersama, wis Mas..jangan melongo saja..eling!’’

Saya tergagap, baru sadar ternyata kepala ini sudah nyut..nyut..karena dibasahi air hujan yang kian deras, sementara Gus Dur sudah berlalu.

*)Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir bebas lepas

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait