Road to Recovery | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Road to Recovery

Ceknricek.com -- Wartawati senior, Dian Islamiati Fatwa, kembali terinfeksi Covid-19. Bagaimana ceritanya? Berikut penuturan Dian, yang ditulisnya sendiri di laman sosial medianya:

Saya bergidik melihat alat CVC (Central Venous Catheter) diangkat dari leher. Ada selang sekitar 20cm yang diambil dari lubang leher.

Ya Allah, selama ini alat inilah yang membantu saya menyalurkan cairan obat-obatan masuk langsung ke pembuluh darah besar.

Rasanya adem ketika cairan disuntikkan ke lubang leher, sengir rasanya terutama antibiotik atau antivirus. Saya harus mengulum madu mengusir rasa sengir.

Lubang di arteri juga dicabut, sama panjangnya selang diambil dari tangan, kira-kira 20cm.

Setelah itu plong rasanya. Tidak ada lagi jarum ataupun alat infus lainnya yang ada di tubuh.

Setelah dinyatakan negatif, saya pindah kamar. Tidurpun menjadi nyenyak semalam, tidak terpotong ataupun terbangun dengan teriakan Opung.

Sumber: Istimewa

Biasanya saya terbangun jam 3 atau 4 dini hari oleh nyanyian fals Opung. Entah lagu 'Indonesia Raya, 'Halo-Halo Bandung' atau 'Maju Tak Gentar'.

Nasionalisme Opung memang luar biasa dan tidak diragukan. Tapi kalau menyanyikan lagu 'Indonesia Raya' jam 4 pagi, that's a bit too much!

Dokter Rangga memberitahu saya harus pindah rumah sakit. Karena RS Siloam adalah zona merah, pasien negatif tidak boleh tinggal di sini. Dikhawatirkan akan tertular oleh varian lain dan justru akan membuat saya berada dalam genggaman si kupret Covid terus menerus. Aih ngeri kali.

Kemarin malam, saya pindah ke rumah-sakit Kejaksaan, RS Adhiaksa di Jakarta Timur. Sebenarnya ini adalah rumah sakit tahanan, tidak banyak pasien yang ditangani, tapi saya justru merasa aman.  Si kupret tidak akan punya banyak kawan virus untuk kongkow-kongkow karena jumlah pasien yang tidak banyak dibandingkan rumah-sakit lainnya.

Prinsip dasar covid, ada gula ada semut.  Ada manusia berkumpul, tanpa protokol kesehatan, covid akan menemuka medium beranak-pinak membelah diri dan melakukan mutasi.

Dokter Christine, dokter jaga di ward Tirza RS Siloam dan Bruder Irwan menemani saya dalam ambulance menuju RS Adhiaksa.

Bunyi sirene nguing-nguing membelah Jakarta. Kami menerobos jalur busway. I feel so bad mendapat previlege masuk busway. Well, toh saya sakit dan dalam ambulance, saya punya hak untuk itu.

Perjalanan semalam menuju RS Adhiaksa terasa panjang. Rasa mual tingkat dewa menyerang, meriang dan pening tiada tara.

Saya mulet-mulet menahan mual dan pening.Bunyi sirena ambulance seperti membisikan semangat optimisme, road to recovery-everthing is going to be all right!

Perawat di RS Adhiaksa langsung menyambut dengan kursi roda dan mendorong ke sebuah ruangan.

Saya melongo karena di masukkan ke ruang bersalin. Ada tempat bayi dan bed persalinan.

'Suster perut saya memang membesar karena infeksi covid yang menganggu liver, tapi tidak ada bayi di perut saya,' jelas saya ke perawat yang tampak lelah dengan banyaknya pasien yang masuk semalam di IGD.

'Oh maaf bu, bed di IGD penuh semua, jadi kami masukkan ibu di ruang bersalin. Di sini ibu lebih tenang, hanya sendirian,' suster baru menyadari dia tidak sempat menjelaskan kenapa saya masuk ruang bersalin.

Pweh! Coba perut saya diperet-peret di ruang bersalin ini, sementara tidak ada bayi yang dikeluarkan.

Dan pemeriksaan intensive pun dilakukan lagi, jantung, foto torax, pengambilan darah. Peralatan rontgen cukup canggih.

Surprise juga, tidak menyangka rumah-sakit umum mempunyai peralatan rontgen yang paling gres dan canggih.

Saya harus menunggu persetujuan dokter spesialis penyakit dalam sebelum masuk ke ruangan, sementara cacing di perut tampaknya sudah mulai berontak. Saya mulai lapar.

Saya makan beberapa kastengel dari tas makanan yang akan di bawa ke kamar.

Duh gurihnya menusuk kalbu.

Nilai SGPT dan SGOT saya 5x lebih tinggi dari angka normal. Hal sangat normal bagi pasien post-covid. Karena itu harus hati-hati dengan intake makanan ke tubuh.

Saya menutup mata, mencoba tidur. Tapi kerenyahan kastengel benar-benar menggoda, kiwir-kiwir seperti sliweran di mata saya.

Mulut saya komat-komit. Ya Allah ya Tuhan, lindungi saya dari godaan kastengel.

Iman saya ambrol, tak kuasa. Hampir satu toples saya habiskan menunggu keputusan spesialis penyakit dalam hingga pukul 2 dini hari.  Tentu saja saya tidur nyenyak semalam setelah habis 1 toples.

Road to recovery is never easy and smooth. Setelah dinyatakan negatif, ini adalah sebuah tahapan awal. Perjalanan masih panjang.

Sumber: Istimewa

Jumlah leucosit saya masih tinggi mencapai 18.000mcL. Normalnya di bawah 10.000mcL. Indikasi peradangan masih terjadi. Wajar saya masih meriang-meriang.

Ini yang menjadi concern saya. Banyak cerita, mereka yang sudah negatif langsung euforia, tidak sadar peradangan di tubuh masih terjadi. Dan akhirnya meninggal setelah dinyatakan negatif karena tidak hati-hati.

Dokter sendiri sulit menjelaskan kenapa itu bisa terjadi. Mereka selalu menggeleng-nggelengkan kepala.

'Saya tidak punya jawaban bu, ini penyakit baru dan penuh misteri. Kami sering takjub dengan agresifitas virus yang sulit ditebak pada beberapa pasien. Sore masih bisa bicara dan beberapa jam kemudian lewat. Yang penting ibu sekarang sudah membaik dan optimis akan bisa beraktifitas kembali.'

Jujur saya sedikit galau. Apakah saya punya kualitas hidup yang sama seperti sebelum covid? Mampukah paru-paru saya bekerja dengan normal setelah digembosi covid?  Apakah saya akan hidup normal? There is nothing scarier than not knowing anything.

Namun saya tidak sendiri dalam perjalanan menuju pemulihan kesehatan ini. Banyak penyintas-penyintas lain in the same boat.

Saya yakin  setiap dari kita pernah mengalami upaya recovery. Recovery from injustice, kehilangan anggota keluarga, sexual abuse, pengkhianatan, unfairness ataupun misfortune.

All of life is a process of recovery that never ends.

Satu hal yang pasti, saya punya harapan untuk pulih dan sembuh... and that's everyhing! 



Berita Terkait