Ceknricek.com - PILKADA serentak pada 27 Juni ini terancam bermasalah. Itu karena negara, Polri, TNI dan BIN dituduh tidak lagi netral. "Ada oknum BIN,Polri dan TNI tidak netral di pilkada," kata Susilo Bambang Yudhoyono, Mantan Presiden RI yang kini juga ketua umum Partai Demokrat, kepada para wartawan Sabtu 23/11/18) di Bogor.
Pernyataan keras dan mengejutkan itu disampaikan SBY sehari menjelang minggu tenang pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia. Ada 171 daerah secara serempak akan melakukan pemilihan kepala daerah. Terdiri atas 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Total jumlah pemilih berkisar 152.057.054. Dan provinsi terbesar adalah Jawa Barat dengan jumlah pemilih sebanyak 31.735.133 jiwa. Di bawahnya Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Pilkada 20 T
Di tiga daerah berpenduduk terbesar itulah partai politik kini sedang bertarung memperebutkan suara rakyat dalam kontes pemilihan yang didanai negara dengan anggaran sekitar Rp 20 triliun.
Semua persyaratan dan aturan pilkada yang demokratis sudah ada. Perhelatan demokrasi ini pun sesuai aturan dan diharapkan pilkada pun akan berlangsung demokratis: langsung, umum, bebas, rahasia. Plus berjalan tertib dan damai.
Demikianlah, di bawah supervisi pemerintah/negara dengan seluruh aparatnya: sipil dan militer, yang sesuai koridor konstitusi harus berada dalam posisi netral. Dalam arti tidak boleh berpihak kepada satu kelompok atau golongan atau partai apa pun.
Maka, bak petir di siang bolong, banyak orang tersentak, kala mengikuti dan menonton pernyataan tajam yang baru dikemukakan SBY. Pernyataan itu tidak hanya disiarkan media arus utama. Tapi diviralkan juga melalui rekaman video oleh Divisi Komunikasi Partai Demokrat. Tembakan SBY setidaknya memang tertuju ke empat elemen. Negara yang dalam hal ini diwakili pemerintahan Presiden Jokowi, Polri BIN, dan TNI.
Dalam bahasa yang lugas dan terbuka, SBY mengatakan ketidaknetralan yang dirasakannya kini dalam proses pilkada sudah sampai pada tingkat keterlaluan.
Silahkan Ciduk Saya
“Mungkin rakyat tidak berani menyampaikan hal-hal yang menurut mereka: kok begini, kasar sekali, kok terang -terangan. Biarlah saya, SBY, kini, warga negara biasa, penduduk Cikeas, Kecamatan Gunungputri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang bicara," ujarnya. Sambil menimpali pernyataannya dengan satu tantangan. Sesuatu yang baru dalam tampilan pernyataan Presiden RI keenam RI itu: "Kalau pernyataan saya ini membuat intelijen dan kepolisian tidak nyaman dan kemudian ingin menciduk saya, silakan," tantang SBY.
Ketika menyampaikan pernyataannya, SBY tampak didampingi calon gubernur Deddy Mizwar dan calon wakil gubernur Dedi Mulyadi. Deddy Mizwar diusung partainya Partai Demokrat di pilkada Jawa Barat, sedangkan Dedi Mulyadi didukung Partai Golkar. Dalam temu wartawan itu SBY dengan intonasi suara yang tenang mengatakan, dia menyampaikan fakta yang dilihat dan dialaminya di beberapa daerah. "Yang saya sampaikan ini benar saya rasakan dan alami. Bukan hoaks,” tambah mantan jenderal TNI penggagas reformasi TNI itu. Dia nampak serius ketika mengemukakan temuan dan pengamatannya di lapangan.
Di Jawa Barat, misalnya, memang tampak dan terasa ada kejanggalan serta "ketidaknetralan negara dan polri". Mulai dari pengangkatan Komisaris Jenderal Pol M. Iriawan—seorang perwira tinggi polisi yang masih aktif tapi sedang ditugaskan di Lemhanas—sebagai penjabat gubernur Jawa Barat. Dilantik Mendagri Tjahya Kumolo pada Senin 18 Juni, saat semua aparatur sipil dan militer sedang libur nasional guna merayakan Idul Fitri 1439 H.
Pengangkatan itu dikecam dan dikritik Ketua Ombudsman La Ida Ode, dan sejumlah politisi yang juga wakil rakyat di DPR. Mereka mewakili parpol Gerindra, Nasdem, PKS dan Demokrat. Selain menuding pengangkatan itu melanggar setidaknya dua undang-undang (Kepolisian pasal 28 ayat 3 dan Pilkada pasal 2001 ayat 1), para wakil rakyat itu juga menyatakan mereka akan memanggil mendagri ke DPR dan mempertimbangkan untuk menggunakan hak angket.
Menonton Pemerintah Tubruk Konstitusi di Siang Bolong. Iriawan Ditolak, Nasdem, Gerindra dan PKS akan Ajukan Hak Angket.
Soal Penggeledahan
Khusus di daerah Jawa Barat, SBY tampaknya terganggu oleh aksi Pj Gubernur Jabar M. Iriawan yang diberitakan datang dan seakan-akan "menggeledah" rumah dinas mantan Wagub Jabar Deddy Mizwar. Padahal rumah itu sudah ditinggalkan dan diserahkan kembali ke Pemprov Jabar oleh Demiz, begitu sang wagub biasa dipanggil, sejak 14 Februari 2018. Dalam pertemuan dengan wartawan di Bogor, SBY kembali mengulang pernyataannya: "Apa Harus Rumah Dinas Wagub Jabar Digeledah Penjabat Gubernur,"ujarnya.
Dengan aksi yang dilakukannya di saat proses Pilkada mendekati hari- H, Komjen Iriawan, seperti terkesan hendak memberi impresi negatif pada cagub yang diusung Partai Demokrat itu. Apalagi, SBY menambahkan, ihwal seperti itu tidak dilakukan di daerah lain. Reaksi keras SBY, bisa jadi berlatarbelakang pada ketidaksetujuan partainya atas pengangkatan Iriawan yang sebelumnya dicurigai para politisi parpol nonpemerintah sebagai pemaksaan kehendak Presiden Jokowi.
Maklum, kepada wartawan ceknricek Ilham Bintang, Mendagri Tjahyo Kumolo pernah mengatakan, dia sebetulnya sudah mengusulkan Sekjen Kemendagri Hadi Prabowo menggantikan Ahmad Heryawan. Tapi usul itu ditolak Presiden Jokowi.
Begitulah, di tengah gencarnya penolakan dan kritik atas pengangkatannyar, Iriawan mulai bekerja. "Saya sekarang jadi gak enak. Reaksinya kok jadi begitu. Padahal saya yang mengajak Pak Pejabat Gubernur untuk melihat dan meninjau 11 titik aset Pemprov," kata Dedi Apendi, Kepala Bagian Rumah Tangga Biro Umum Sekretaris Daerah Pemrov Jabar kepada ceknricek.com, Minggu siang (24/6).
Peninjauan itu dilakukan di beberapa tempat. "Sepenuhnya inisiatif saya. Bukan permintaan Pak Gub." Itu dilaksanakan Kamis, 21 Juni, usai rapat di Gedung Sate. "Malam sekitar pukul 21 Pak Gub sebenarnya sudah mau pulang. Tapi, saya tawarkan sekalian aja lihat aset lain seperti bekas rumah Wagub di Jalan Ranca Bentang 26," tutur Depen, begitu Kabag Rumah Tangga Setda Jabar itu biasa dipanggil. Pj Gubernur Iriawan pun didampinginya masuk dan melihat-lihat rumah bertingkat itu. "Hanya sekitar lima menit Pak Gub di rumah yang sejak Februari yang lalu sudah diserahkan Pak Wagub kepada Pemprov. Itu sudah jadi aset Pemprov. Masak meninjau aset dianggap menggeledah,” tukas Depen.
Agaknya, ihwal rumah dinas Demiz yang ditafsirkan SBY "digeledah" itu hanya sekedar pemicu terjadinya keretakan hubungannya dengan Presiden Jokowi. Kedua tokoh itu pernah tampak akrab dan sepertinya segera akan menjalin koalisi politik. Yakni, tatkala Presiden Jokowi hadir dalam Rapimnas Partai Demokrat, 10 Maret lalu di Sentul International Convention Center, Bogor, Jakarta. Dalam pidatonya waktu itu SBY sempat memuji kepemimpinan Jokowi dan menyatakan dukungannya pada Jokowi yang kini sedang memerintah. "Kalau semua kondisi, persyaratan dan prinsip saling menghargai bisa disepakati, sangat bisa Partai Demokrat berjuang bersama Pak Jokowi dalam pilpres 2019." ujar SBY, disambut tepuk tangan para hadirin, termasuk Jokowi. Namun, setelah itu, hubungan keduanya merenggang. Dan keduanya sesekali tampak saling melontarkan pendapat yang berbeda di media arus utama dan media sosial.
SBY dan Jokowi sama-sama pengguna twitter. Dan dari cuitan merekalah, publik tahu kerenggangan hubungan mereka.
Salah satu tweet SBY, belum lama, misalnya seperti menyindir Jokowi. “Saya perhatikan, banyak penguasa yang lampaui batas sehingga cederai keadilan dan akal sehat. Mungkin rakyat tak berdaya, tapi apa tidak takut kepada Tuhan, Allah swt?"* SBY*.”
Mengarah ke Jokowi
Kalimat “mungkin rakyat tak berdaya” diulangi SBY dalam pernyataannya Sabtu kemarin. Beberapa pengamat politik menilai pernyataan SBY itu serius dan mengarah ke Presiden Jokowi. "Saya anggap serius untuk kita perhatikan. Bahwa ketidaknetralan aparat terutama polisi sudah terjadi di mana-mana. Kami kini sedang melakukan penelitian tentang itu," kata DR Effendi Ghazali, pengamat komunikasi politik dan pengajar di Universitas Indonesia, Jakarta kepada ceknricek.com.
Dia menyebut salah satu contoh ketidaknetralan polisi terjadi di pilkada Sumatera Utara.” Jelas terjadi pelanggaran aturan pilkada. Lalu dilaporkan ke polisi. Tapi, ditunggu-tunggu tidak ada tindak lanjut apa-apa," tukas Effendi Ghazali. Tapi, terhadap calon yang berseberangan dengan pemerintah, polri amat tanggap.
SBY dalam pernyataan kemarin menyebut juga contoh ketika puteranya Agus Yudhoyono dan Sylvia Murni maju sebagai cagub dan cawagub di pilkada DKI tahun lalu. "Selama kampanye cawagub Sylvia Murni berkali-kali bahkan rutin dipanggil kepolisian. Bayangkan sampai suaminya ikut juga diperiksa. Tapi, setelah kalah, sampai sekarang ini tidak ada kelanjutan kasusnya," tambah SBY seperti menahan geram.
Atas semua tudingan SBY itu, rival utama Partai Demokrat, Partai Demoktasi Indonesia Perjuangan langsung menyangkal dan balik menyerang SBY." Ketika pilpres 2004 dan 2009 SBY membujuk komisioner KPU dengan iming-iming tertentu sehingga banyak yang dijadikan pengurus teras partainya. Seperti Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati," tuding Komarudin Watubun dalam pernyataan persnya Minggu (24/6).
Dia lalu menyebut. “Siapa yang di belakang Tim Alfa, Bravo dan Delta yang dibentuk SBY. Warga sipilkah? Mengapa Antasari, mantan ketua KPK dipenjara hanya karena mau mengusut IT Pemilu. Siapa yang menggunakan dana APBN melalui bansos untuk keperluan pemilu? Siapa yang memanipulasi DPT Pemilu 2009? Siapa yang gunakan intelijen untuk pilpres 2004 dan 2009? “ Itulah rentetan tudingan lain Komarudin Wakatubun.
Dia kemudian meminta SBY supaya jangan menyamakan pemerintahannya dengan pemerintahan Jokowi. " Kami taat pada aturan main. Dan kami percaya rakyatlah yang menjadi penentu dalam pilkada. Bukan alat negara," ujar pengurus PDIP itu.
Reaksi Istana
Selain PDIP, pihak Istana Kepresiden juga ikut tersengat atas pernyataan dan tudingan tajam SBY. " Siapa pun, para politisi dari partai mana dan siapa pun Anda. Jangan menjadi pengadilan dengan kehendak sendiri. Sabar dan tetap teduh, wahai para tokoh," ujar DR Ali Mochtar Ngabalin, Tenaga Ahli Utama Deputi Bidang Komunikasi Kantor Staf Kepresiden, Minggu (26/6).
Mantan pendukung Prabowo yang kini menyeberang ke kubu Jokowi itu mengajak semua elemen indonesia saling menghargai. Termasuk menghargai aparat yang mengamankan pilkada 2018. Bila semua saling menghargai, maka pilkada dipercaya bakal sukses. Pihak TNI, BIN dan Polri juga ikut merespon tudingan SBY. "Jika memang benar apa yang dikatakan SBY dan kami diberi datanya, kami siap memberikan sanksi tegas kepada anggota yang dianggap tidak netral," kata Kapuspen TNI Mayjen M Sabrar Fadhillah. Dia meminta SBY segera mengirimkan data dimaksud.
Bantahan juga datang dari BIN. Direktur Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Hari Purwanto menyatakan sesuai perintah konstitusi, BIN selama ini bersikap netral dalam pemilu." Tidak ada perintah untuk memihak kepada siapa pun, katanya, seperti dikutip Tribun News, Minggu (24/6). BIN jelas bekerja profesional. Memastikan Pemilu dan Pilkada dapat berjalan lancar. Mulai dari persiapan hingga ditetapkannya pemimpin terpilih."
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Mohammad Iqbal juga menegaskan, polri akan selalu bersikap netral dalam pilkada." Prinsipnya polri netral. Kalau ada aggota yang tidak netral, kita tindak tegas," katanya kepada Liputan6.com, Minggu.
Umumnya reaksi pihak yang dituding dan diingatkan SBY sama: membantah dan meminta data pendukung tuduhan tidak netral itu.
Memang itulah kelemahan pernyataan yang digaungkan pendiri Partai Demokrat itu. Rivalnya menuduh, seperti diutarakan Komarudin Watubun, keluhan dan tudingan SBY itu dimunculkan sepenuhnya untuk kepentingan politik Demokrat. Bukan demi tegaknya netralitas aparatur sipil, militer dan negara.
Apa pun, Effendi Ghazali mengapresiasi pernyataan SBY itu. Memang kurang dilengkapi data.
"Tapi realitas, ada yang benar. Pengangkatan Komjen Pol aktif sebagai penjabat gubernur Jabar, misalnya,kan bermasalah," tukas Effendi. Pakar komunikasi itu menambahkan apa pun dibalik kepentingan SBY dengan pernyataanya, tapi, dia itu tokoh yang berpengalaman. Sepuluh tahun jadi presiden." Dia tahulah bagaimana sepak terjang aparat seperti polri, BIN dan TNI. Baiknya tuduhan itu dijadikan peringatan saja buat tetap menjaga netralitas semua aparat yang terlibat pilkada, " ujar Effendi.a