Ceknricek.com -- Rencana Presiden Jokowi memindahkan ibu kota keluar dari Jakarta mengundang pro dan kontra. Sejumlah risiko akan dihadapi jika keinginan itu tetap dipaksakan. Apa saja?
Ini kali Presiden Joko Widodo sangat serius. Ia bersama sejumlah menteri meninjau beberapa daerah di Kalimantan untuk menjadi calon lokasi ibu kota baru. Ada dua lokasi yang menjadi kandidat dari ibu kota baru, yaitu kawasan Bukit Soeharto, Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur dan di wilayah Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah.

Bukit Soeharto. Sumber: wikipedia
Pemerintah pun sudah menghitung berapa besar dana yang dibutuhkan untuk kepentingan itu. Dengan luas pusat pemerintahan 2.000 hektar dan luas kota keseluruhan 40.000 hektar, pemerintah telah menganggarkan sebesar US$33 miliar atau setara Rp446 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun infrastruktur dasar kota dan berbagai kelengkapannya.
Persoalannya adalah, tidak segampang itu memindahkan ibu kota. Di sisi lain, akan banyak dampak yang ditimbulkan jika rencana ini direalisasikan. Menengok kondisi saat ini, ekonom Indef, Bhima Yudhistira mengingatkan, anggaran pemerintah dari APBN cukup berat untuk menyangga biaya pindah ibu kota. Total biaya yang disampaikan Bappenas Rp466 triliun itu belum memasukkan pembengkakan yang terjadi akibat spekulasi tanah.

Gunung Mas. Sumber: Peta lokal
Biaya pembebasan lahan mahal karena ulah spekulan tanah. Menurut dia, tidak semua tanah akan disediakan oleh tanah negara, karena skala kebutuhan yang cukup besar, kontur tanah dsb.
Biaya lain juga bisa muncul, misalnya, force major karena krisis harus dimasukkan dalam budget. Kasus Putrajaya Malaysia saat dibangun ibu kota sempat bengkak dananya karena krisis finansial 1998. Konsekuensi dari mahalnya biaya itu akan menambah defisit APBN dan utang pemerintah. “Jadi untuk saat ini tidak feasible secara ekonomi,” ujar Bhima.
Swasta dan BUMN mungkin tertarik mendanai pembangunan properti untuk rumah Aparatur Sipil Negara (ASN) tapi untuk biaya membangun gedung kementerian, karena sifatnya bukan komersial, sulit dicari pendanaan dari swasta.
Sejauh ini porsi investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur hanya 7% (World Bank Infrasap). BUMN pun harus menghitung untung rugi dan jangka waktu pengembalian modalnya. Jika terlalu lama returnya dan BUMN terpaksa utang akan menyebabkan financial distress atau tekanan keuangan.
Lagi pula, perpindahan ibu kota juga tidak menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta. Jumlah kendaraan dinas yang berkurang tidak signifikan dibanding kendaraan pribadi dari swasta dan rumah tangga. Total kendaraan pribadi di Jakarta 17 juta unit sementara kendaraan dinas 140 ribu unit. Apakah berpindahnya para PNS kementerian keluar Jakarta signifikan mengurangi kemacetan? Jawabannya tidak sama sekali.
Selanjutnya, perpindahan ibu kota akan menimbulkan inflasi karena arus urbanisasi ke tempat baru akan menaikkan harga kebutuhan pokok. Ketimpangan di ibu kota baru juga makin melebar sebagai imbas pendatang--lebih mampu secara ekonomi--dengan penduduk lokal yang miskin.
“Kalau mau pindah ibu kota perlu dipikirkan nasib warga lokal jangan hanya jadi penonton saja. Ketimpangan yang tinggi bisa menciptakan kriminalitas. Bahkan lebih buruk dari Jakarta,” kata Bhima lagi.

Sumber: Wikipedia
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mewacanakan Jonggol sebagai tempat baru, pengganti Jakarta. Namun, pilihan tersebut akan memperkuat struktur kekuasaan Jawa-sentris yang ingin Jokowi ubah, dengan semangat menyebarkan pertumbuhan lima persen saat ini secara lebih luas.
Saat ini, Pulau Jawa menghasilkan hampir 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan merupakan rumah bagi hampir 60 persen dari 260 juta penduduknya.
Soal pilihan di Kalimantan boleh jadi bagus. Hanya saja, di sini juga memiliki risiko penenggelaman tanah. Lahan gambut akan sangat tidak optimal menyangga bangunan tinggi bertingkat serta menampung dua juta pegawai negeri. Kota itu juga terlalu dekat dengan risiko kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan yang mengisi udara setiap tahun.
Mengejar Gelar
Soal pindah ke mana, itu sudah pasti tergantung selera pengambil keputusan. Di mana pun itu mengandung plus dan minus. Hal yang lebih penting lagi, Indonesia harus belajar dari negara-negara lain yang sudah memindahkan ibu kota. Contohnya, termasuk Malaysia, yang pada pertengahan tahun 1990-an menggeser banyak lembaga pemerintah pusat dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, dan Myanmar yang pada tahun 2006 memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyitaw.
Putrajaya jelas tidak memiliki keindahan, drama, budaya, dan semangat inovatif kota metropolitan seperti yang dimiliki Kuala Lumpur. Naypyitaw yang sunyi dan menyedihkan bahkan lebih buruk. Siapa pun yang pernah mengunjungi Naypyitaw, akan tahu betul bahwa ibu kota baru tersebut hanya memenuhi sedikit sekali tujuan praktis, selain memamerkan kekuatan rezim kuasi-militer. Para pegawai pemerintah bekerja di kota tersebut, tetapi banyak yang memilih untuk pergi begitu pekerjaan selesai. Mereka meninggalkan jalan-jalan dan gedung-gedung perkantoran yang sepi.
Ibu kota baru Malaysia, Putrajaya, juga begitu. Dua puluh tahun sejak dibuka, orang-orang masih enggan tinggal di sana, meskipun letaknya hanya 25 kilometer dari ibu kota lama Kuala Lumpur.
Ibu kota baru Brasil, Brasilia, tak jauh beda. Tidak adanya kehidupan perkotaan membuat penduduk pada akhir pekan berbondong-bondong pergi ke Rio de Janeiro dan Sao Paulo untuk bersenang-senang. Pada kasus Naypyitaw di Myanmar atau Astana di Kazakhstan kepentingan nasional tidak pernah terpenuhi. Perpindahan ibu kota hanya mengejar kemewahan berupa gedung tertinggi, jembatan terpanjang, dan segala hal lain yang menyandang gelar “terbesar”
Jakarta Tenggelam
Jokowi beralasan pemindahan ibu kota didorong oleh Jakarta yang semakin tenggelam. Ibu kota yang sekarang rawan banjir, sudah begitu polusi merajalela, kekurangan perumahan, dan kekurangan sanitasi, diperburuk oleh populasi Jakarta yang yang telah membengkak menjadi 30 juta jiwa.
Sumber: Setgab
Lalu lintas Jakarta macet dan kejam. Kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai hingga US$7 miliar per tahun. Jalur angkutan cepat massal yang baru (MRT) sudah kewalahan dalam melayani komuter. Tambahkan risiko gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan ancaman nyata lainnya, dan Jokowi memiliki banyak alasan untuk mendiversifikasi pusat ekonominya.
Mestinya, untuk menjadikan Jakarta sebagai ibu kota yang layak, pemerintah harus mencari solusi untuk mengatasi masalah kota ini. Bukan malah mencari penggantinya. Ibu kota terbaik di dunia pasti akan berurusan dengan masalah klasik seperti polusi, kemacetan, dan meningkatnya angka kejahatan.
Paris telah dicap sebagai kota paling indah di dunia, tetapi juga terkenal karena kualitas udara yang buruk dan kemacetan lalu lintas yang tak ada habisnya. Meski begitu, baik Presiden Emmanuel Macron maupun para pendahulunya tidak pernah berpikir untuk memindahkan ibu kota.
Sebagai gantinya, Wali Kota Sosialis Paris Anne Hidalgo telah meningkatkan upaya mengurangi kemacetan dan mengekang polusi, dengan melarang kendaraan memasuki Kota Cahaya tersebut.
Beijing dikenal sebagian besar karena kabut asap dan kemacetan kronis, yang membuat--bahkan perjalanan singkat--dapat memakan waktu dua jam. “Jika Anda berpikir lalu lintas di Jakarta buruk, tunggulah sampai Anda terjebak di salah satu jalan raya yang selalu macet di Beijing,” tulis M. Taufiqurrahman dalam tulisannya berjudul “Goodbye Jakarta, hello jungle: The madness of moving Indonesia’s capital” di The Nation 10 Mei lalu.
Namun, pemerintah China telah memilih untuk mengambil langkah-langkah yang bertujuan meredakan masalah lalu lintas dan polusi, alih-alih memajukan gagasan untuk pindah ke ibu kota baru.
Lalu ada juga dalih lain. Jakarta telah tenggelam 25 sentimeter per tahun. Angka ini lumayan cepat. Analis memperkirakan Jakarta akan tenggelam sampai 95% pada tahun 2050.
Tetapi jangan salah, banyak kota pesisir di dunia juga mengalami hal yang sama. Mexico City tenggelam paling cepat, 30 sentimeter per tahun. Bangkok tenggelam hingga dua sentimeter per tahun dari ketinggian 1,5 meter di atas permukaan laut.
Faktor umum dalam penenggelaman kota adalah eksploitasi air tanah. Namun, regulasi tegas dapat menghentikan atau setidaknya secara dramatis memperlambat laju tenggelamnya kota.
Menempatkan Seni
Ada yang berpendapat, jika Jokowi melakukan dengan baik rencananya itu, Indonesia dapat menerima manfaat pertumbuhan dan bahkan menjadi kekuatan Kelompok Tujuh pada tahun 2030. Namun, jika Indonesia menjalankan rencana ambisius ini dengan buruk, investor asing akan memindahkan modalnya ke tempat lain.
William Pesek dalam tulisannya berjudul “Farewell Jakarta?” di Nikkei Asia Reviews menyarankan, agar Jokowi bisa berbuat lebih baik dengan menempatkan seni pada awal perpindahan. Pusat konvensi dapat mencakup gedung opera, ruang konser, dan museum. Ibu kota baru itu bisa menjadi jawaban Asia untuk Bilbao--sebuah kota di provinsi Spanyol yang diramaikan oleh Museum Guggenheim--yang kemudian menjadi tujuan wisata.
Yang lebih penting lagi adalah universitas dan institusi pendidikan lain untuk menarik kaum muda, dan zona perusahaan khusus yang dapat mendorong sebagian orang untuk menjadi wirausaha. Mengikutsertakan sektor swasta juga merupakan hal-hal yang perlu dilakukan--tidak hanya untuk uangnya, tetapi untuk inovasi yang dapat ditambahkannya.
Selanjutnya untuk memastikan bahwa ibu kota baru menguntungkan seluruh Indonesia, infrastruktur sangat penting. Meningkatkan jalan, bandara, dan komunikasi sangat penting. Tetapi begitu juga ekonomi

Gunung Mas. Sumber: tribunne
“Ketika crane konstruksi bekerja membangun kota metropolis baru Jokowi, ia harus menciptakan arena yang lebih transparan untuk meningkatkan inovasi dan merayu investasi,” tulis Pesek.
Salah satu upayanya bisa dengan meningkatkan peringkat Transparency International Indonesia. Saat ini Indonesia berada di urutan 89 dari 180 negara. Walau peringkat tersebut menandai peningkatan besar dari 107 pada tahun 2014, namun investor luar negeri memiliki banyak pilihan. China, sebagai perbandingan, berada pada peringkat ke-87.
Indonesia juga harus meningkatkan tingkat kemudahannya dalam berbisnis. Bank Dunia menetapkan Indonesia di peringkat 73, empat angka di bawah Vietnam, 27 angka di bawah China, dan 46 angka di belakang Thailand.

Sumber: penatimor
Jokowi juga harus meningkatkan investasi dalam sumber daya manusia untuk memperkuat tenaga kerja. Indonesia menghadirkan paradoks. Menurut UNICEF, sekitar 40% populasi Indonesia di era Jokowi hidup dengan uang kurang dari US$2 (kurang dari Rp30.000) sehari. Namun, Indonesia memproduksi teknologi “unicorn” lebih cepat dari Jepang
Jika dilakukan dengan baik, memindahkan ibu kota masuk akal. Namun Jokowi juga harus ingat tentang modal asing. Jika pemerintahannya membangun sistem yang lebih terbuka, efisien, dan kurang terpusat, investor luar negeri akan datang--dan membantu Indonesia mencapai G-7 pada tahun 2030. Di mana ibu kota Indonesia nantinya tidak begitu penting ketimbang alasan mengapa ibu kota itu dipindahkan.