Ceknricek.com--Salam keselamatan, curahan rahmat, dan keberkahan bagi kalian semua.
Surat ini ditulis seseorang yang tak kalian kenal dan belum pernah mengunjungi kampung halaman kalian. Dia tinggal di sebuah wilayah sangat jauh seberang samudera, yang mungkin tak pernah kalian dengar nama negerinya: Indonesia.
Dia seorang lelaki sebaya ayah kalian, atau mungkin sedikit lebih tua. Sedang membayangkan dirinya tepekur di depan pusara kalian, yang baru dibuat sehari, sepekan, sebulan terakhir. Masa-masa penuh derita dan bombardir.
Dia ingin menulis banyak hal tentang perasaannya yang hancur lebur setelah mengetahui kisah hidup kalian dari televisi dan kanal informasi lainnya, tentang bagaimana nyawa kalian direnggut paksa dari raga mungil porak-poranda. Kaki hancur, isi perut terburai, kepala pecah seperti buah semangka rekah. Namun tak ditemukannya kata-kata yang tepat untuk menggambarkan lubang hitam lara dalam semesta nestapa kalbunya.
Di atas kesedihannya, lebih bertumpuk-tumpuk lagi penyesalannya karena tak mampu melawan penindasan demi penindasan yang kalian alami dan warisi sejak era ayah-ibu kalian, bahkan kakek-nenek kalian, yang selalu diempas-bantingkan dalam pusaran nakba. Penderitaan berkelanjutan entah sampai kapan.
Dia juga malu dan merasa bersalah kepada kalian karena tak pernah benar-benar berusaha mempertaruhkan nyawanya untuk melawan tamak neokolonialisme dan segregasi etnis dan rasial yang kalian alami dalam penjara terbuka terluas di dunia yang tenggelam dalam telaga pahit air mata: Gaza. Tempat kalian lahir dan wafat dalam usia tak melebihi jumlah jari kedua tangan.
Mungkin, dia juga tipe lelaki egois dan hedonis, yang hanya berpikir untuk keselamatan keluarganya sendiri. Selama anak-anaknya bisa makan dan mendapatkan pendidikan, sudah cukup bagi kehidupannya yang pragmatis. Kemarahannya pada penindasan dan penjajahan adalah kemarahan selemah-lemah iman. Hanya diutarakannya melalui doa-doa yang sering tak benar-benar khusyuk dipanjatkannya akibat tergerus irama sirkadian hidupnya yang tersandera materialisme.
Terkadang dilampiaskannya juga kemarahan pada penindasan dan kekejaman pendudukan yang kalian alami, melalui satu-dua komentar banal di belantara digital. Tetapi semua itu tanpa diiringi tindakan nyata untuk melindungi masa depan kalian, yang sebenarnya adalah masa depan anak-anaknya juga. Generasi kalian sebagai pewaris masa depan bumi yang dihadiahkan Tuhan.
Mungkin juga dia--lelaki seumuran bapak kalian yang menulis surat ini--adalah produk gagal dari generasi yang berlebihan mencintai dunia, kendati kitab suci sudah mewanti-wanti bahwa kehidupan di muka bumi dan seisinya tak lebih dari senda gurau dan permainan belaka yang sering membuat lalai dan abai. Halusinasi nan fana.
Lelaki seumuran ayah kalian itu dan generasi seusianya, hanya bisa ternganga melihat betapa pemberaninya kalian hadapi sakaratul maut dengan senyum bahagia di bibir. Tanpa mengemis minta bantuan dan harapkan pertolongan para hamba. Kalian haqqul yakin bahwa sebaik-baik penolong dan pemberi bantuan adalah Dia Yang Maha Segala, Maha Suci Maha Berkuasa, bukan manusia yang berselubung tipu muslihat dan seribu satu agenda.
Kalian, anak-anak Gaza yang tak pernah temui masa remaja, sejatinya bukanlah para korban melainkan guru-guru kehidupan tanpa kata-kata. Tanpa sekumpulan teori nyinyir dan pidato-pidato kemanusiaan anyir.
Kalian ajarkan kepada kami dengan contoh nyata bagaimana tetap tegakkan kepala meski hujan roket sedang tercurah ke atas tubuh kalian yang belum akil balig sempurna.
Kalian ajarkan bagaimana nyali harus tetap dalam kendali saat memperjuangkan yang hak meski ribuan peluru sedang berlomba cicipi tubuh lembut kalian yang menguar wangi surgawi.
Dalam kehidupan kalian yang singkat dan dicabut paksa oleh syahwat penjajahan laknat, semoga kalian bisa memaafkan penulis surat ini dan generasinya yang takut mati, meski mereka semua tahu bahwa satu saat nanti mereka pasti akan menyusul kalian juga--cepat atau lambat.
Dan kehidupan, seharusnya tak boleh dijalani ala kadarnya di depan pesta pora kezaliman yang tengah merajalela. Perlawanan harus diberikan. Sejelas-jelasnya. Sekuat-kuatnya.
Kalian sudah buktikan dengan gagah berani, sementara kami masih saja sibuk berdebat, saling hunus teori untuk sembunyikan kepengecutan jiwa kami yang kerdil abadi. Di depan kepongahan ultranasionasionalisme dan primordialisme yang tak pernah lindap selama berabad-abad yang tak pernah senyap. Tak pernah lenyap.
Maka, salam keselamatan, curahan rahmat dan keberkahan bagi kalian semua, anak-anak Gaza yang tak pernah memasuki gerbang usia remaja. Selamat menikmati keindahan taman-taman surga yang bisa kalian isi dengan aneka permainan yang tak pernah bisa kalian alami saat masih hidup di taman-taman bumi.
Cibubur, 21.11.23
Editor: Ariful Hakim