Snouck Hurgronje; Mata-Mata di Balik Perang Aceh | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Snouck Hurgronje. Sumber: The Jakarta Post

Snouck Hurgronje; Mata-Mata di Balik Perang Aceh

Ceknricek.com -- Ia merupakan salah satu sosok penting dari kemenangan Belanda atas perang Aceh yang berlangsung selama 31 tahun (1873-1904), dan menewaskan ratusan ribu korban dari kedua belah pihak.

Christian Snouck Hurgronje, alias Abdul Gaffur, seorang orientalis sekaligus mata-mata  yang dalam narasi sejarah Indonesia dikonstruksikan sebagai ‘aktor jahat’ di balik takluknya Aceh pada pemerintah kolonial. Ia meninggal pada 26 Juni 1936, tepat pada tanggal hari ini, 83 tahun silam. 

Anak Pendeta yang Berkhitan

Lahir pada 8 Februari 1857, Snouck Hurgronje adalah anak keempat dari pasangan pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visse. Ia memulai karier akademik dengan belajar teologi di Universitas Leiden pada 1874 dan lulus sebagai doktor di kampus yang sama pada 1880 dengan disertasinya yang terkenal: Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekkah).

Awal mula ketertarikan Snouck terhadap dunia Islam merupakan pengaruh dari kakek buyutnya, Ds.J. Scharp, seorang orator ulung dari Rotterdam yang mempelajari dan menyelesaikan buku pelajaran berbahasa Belanda pertama tentang Islam bagi calon-calon juru pengabar Injil Protestan.

Setelah menyelesaikan kuliahnya di Leiden, ketertarikan Snouck Hurgronje yang besar terhadap kajian Islam membuatnya menghabiskan sebahagian besar waktunya dalam upaya mengkaji Islam, khususnya pada bidang hukum Islam. 

Namun, karena minimnya dukungan dari lingkungan akademis terdekatnya, dimana kajian hukum Islam di Belanda yang sangat menonjol pada abad ke-17 sedang mengalami kemunduran, Snouck Hurgronje mengalihkan perhatian pada wilayah Hijaz sebagai lingkungan akademis berikutnya.

Setahun kemudian, Agustus 1884 Snouck Hurgronje memulai perjalanannya ke Hijaz dengan tujuan pertamanya adalah Jeddah, bersama konsul Belanda J.H. Kruyt, yang memberikan bantuan biaya dan akomodasi bagi perjalanannya tersebut. 

Pada 16 Januari 1885, Snouck melakukan khitan dan ‘menjadi mualaf’ hingga kemudian namanya berubah menjadi  Abd al-Ghaffar al-Laydini (De Dienaar van de Alles Vergevende uit Leiden) yang kalau di-Indonesia-kan menjadi “Abdi Sang Maha Pengasih dan Penyayang dari Leiden.” 

Snouck Hurgronje menyambut Pangeran Saud di Leiden University, 1936. Sumber foto: Wikimedia Commons

Sejak itulah Snouck 'tenggelam' dalam kegiatan pemantauan etnografi terhadap dunia Islam di Mekkah. Dia menjalankan multiperan: sebagai ilmuwan-etnograf, mualaf yang mendalami kehidupan muslim, dan mata-mata untuk kepentingan negara yang mengutusnya.

Diutus Menangani Perang Aceh

Sejak Konferensi Orientalis di Wina, nama Snouck mencuat. Harian Inggris Pall Mall Gazettemenyebutnya “a doughty Dutchman” (orang Belanda bernyali). Namun tawaran jadi guru besar di Universitas Cambridge yang tersohor ditolaknya.

Snouck Hurgronje. Sumber: Brabant Cultureel

Sementara itu, pemerintah kolonial yang sedang kocar-kacir menghadapi perang melawan Aceh mencari strategi baru dalam memecah belah masyarakat serambi Makkah yang dikenal militan tersebut, mereka pun memanggil menyuruh Snouck untuk menaklukan Aceh.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, Snouck memang sedang mengalami masalah dan diusir dari Makkah lantaran fitnah dan rumor serta dilarang untuk kembali ke Makkah pada 1877. Ia pun menerima tawaran tersebut dengan syarat perjalanannya ke Aceh dirahasiakan.

Aceh bagi Snouck memang sangat menarik karena rakyatnya yang fanatik, sangat percaya Islam, dan hampir tidak dikenal dunia. (Pelgrim; Philip Droge; 2017). Akhirnya pada tahun 1889, Snouck bertolak dari Leiden dan menumpang kapal uap SS Peshawur untuk menuju ke Penang sebelum akhirnya menyeberang ke Sumatera.

Sesampainya di Aceh, Snouck pun mempelajari Islam untuk kemudian dari dalam ia menghancurkan Islam dan mengadu domba rakyat Aceh di antara kalangan ulama dengan uleebalang (orang-orang yang berpendidikan/bangsawan) serta memutarbalikkan fakta ajaran agama untuk kepentingan penjajah kolonial Belanda.

Memporak-Porandakan Aceh

Pada tahun 1898, ekpedisi militer Belanda untuk menaklukkan Aceh dimulai di bawah pimpinan Van Heutsz. Dalam ekpedisi tersebut, Snouck dilibatkan secara intensif sebagai penasihat dan konsultan untuk memberikan informasi dan pandangan-pandangan berkaitan dengan strategi dalam menaklukkan perlawanan masyarakat muslim Aceh. 

Perang Aceh. Sumber: Seraamedia

Sebagai penasihat, Snouck sangat berperan dalam memberikan berbagai usulan mengenai perang Aceh. Salah satunya adalah strategi menaklukkan rakyat Aceh dengan membagi golongan masyarakat Islam menjadi tiga kategori pokok berdasarkan lapangan aktivitas.

Yakni Islam sebagai ritual keagamaan murni atau ibadat, Islam sebagai bidang kemasyarakatan, dan Islam dalam bentuk kenegaraan. Terhadap ketiga unsur Islam yang berbeda ini, ia menawarkan tiga pendekatan yang berbeda pula. 

Sebagaimana diungkap Belanda, kepada yang pertama, pemerintah harus berlepas tangan atau tak usah ikut campur di dalamnya. Sedangkan terhadap yang kedua—jika memungkinkan—pemerintah justru harus memfasilitasi, seperti membantu dalam urusan ibadah haji. Tetapi untuk kelompok yang ketiga, pemerintah harus bersikap keras dan tak pandang bulu, (Aqib Sumianto, Politik Islam Hindia Belanda;44-48). 

Secara umum, apa yang dimaksud Snouck adalah keberadaan orang Islam bukanlah ancaman terhadap keberlangsungan pemerintahan kolonial. Maka, toleransi kepada umat Muslim merupakan hal pokok yang harus dipenuhi untuk menjaga rust en orde (ketenteraman dan ketertiban).  

Selain itu, penindasan terhadap mereka bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga tidak perlu. Malahan tidak terhormat bagi negara semacam Belanda, yang menjunjung tinggi asas kebebasan beragama. 

Lewat strategi yang lain, ia menyarankan untuk mendirikan pangkalan militer Belanda di Aceh, serta membangun mesjid dan merperbaiki jalan serta irigasi untuk meraup simpati rakyat Aceh. Van Huetsz pun mengamini usulan Snouck untuk membentuk pasukan masrose yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang menjelajah gunung-gunung seantore Aceh mengejar para gerilyawan Aceh.

Taktik lain yang diberikan Snouck adalah melakukan penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Taktik ini berjalan mulus, seperti pada tahun 1902, Christoffel menculik permaisuri sultan Aceh dan Teuku Putroe di Geulumpang Payong, Pidie.

Akhir Hayat

Berkat aksi dan kegelimangan Van Heutsz menangani perang Aceh dengan dibantu Snouck dengan mengalahkan rakyat Aceh meskipun seluruh wilayahnya tidak bisa dikuasai seluruhnya oleh Belanda. Van Heuts pun diangkat menjadi gubernur jenderal, lain dari itu, Den Haag juga menawarkan posisi gubernur Aceh kepada Snouck. 

Makam Snouck Hurgrone. Sumber: Historia

Namun, karena letih oleh pusaran intrik, Snouck memilih kembali ke Leiden (1906). Ia lebih memilih berhenti bertualang, menjauhi urusan koloni dan menjadi guru besar, lalu rektor, hingga akhir hayatnya (1936).

Snouck meninggal dunia pada 26 Juni 1936 tepat pada tanggal hari ini, 83 tahun yang lalu. Jasadnya disemayamkan di kompleks pemakaman Groenesteeg. Snouck dikebumikan di samping makam ibundanya, Anna Maria de Visser. 



Berita Terkait