Ceknricek.com - Gejolak eksternal akibat perang dagang dan normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) sempat memberikan tekanan terhadap perekonomian Indonesia. Namun, kondisi tersebut menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati tidak membuat perekonomian Indonesia melemah. Terbukti dari perekonomian Indonesia sepanjang 2018 yang menunjukkan peningkatan dibanding sebelumnya.
“Perekonomian nasional tahun 2018 diperkirakan dapat tumbuh sekitar 5,15 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2017 yang tumbuh 5,07 persen,” ungkap Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu, (2/1).
Menurut Menkeu, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi juga berpengaruh menciptakan lapangan kerja, mengurangi tingkat pengangguran, dan menurunkan tingkat kemiskinan serta ketimpangan. Ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menggambarkan pengaruh tersebut.
“Tingkat pengangguran per Agustus 2018 turun menjadi sebesar 5,34 persen dari posisi yang sama tahun 2017 sebesar 5,50 persen. Sementara tingkat kemiskinan Indonesia per Maret 2018 turun menjadi 9,82 persen dari sebelumnya 10,64 persen pada 2017, dan koefisien gini (indikator ketimpangan pendapatan) membaik dari 0,393 pada 2017 menjadi 0,389 pada 2018,” bebernya.
Ia menyampaikan motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2018 adalah sisi konsumsi rumah tangga, investasi, dan konsumsi Pemerintah. Terkait perdagangan ekspor impor, Sri Mulyani menjelaskan ada kaitannya dengan perdagangan global.
“Peningkatan kinerja ekspor dan impor masih terbatas sejalan dengan tren melemahnya perdagangan dunia sebagai dampak meningkatnya tekanan perang dagang,” ujarnya.
Kondisi ekonomi makro yang kondusif dinilainya menopang peningkatan pertumbuhan ekonomi 2018. Hal tersebut terlihat dari pergerakan harga yang masih terkendali.
“Tingkat inflasi yang rendah yaitu 3,13 persen pada tahun 2018 mendukung daya beli dan konsumsi masyarakat,” imbuh Menkeu.
Momentum pertumbuhan ekonomi saat sektor keuangan menghadapi tekanan merupakan tantangan bagi pemerintah ke depannya. Sri Mulyani mengatakan bahwa sinergi yang kuat antara institusi kebijakan moneter dan fiskal harus terus dijaga. Sinergi tersebut telah terbukti mampu menjaga stabilitas perekonomian dengan tetap menjaga momentum membaiknya pertumbuhan ekonomi dan kesehatan fiskal.
“Hal ini terbukti mampu meredakan tekanan khususnya terhadap nilai tukar rupiah yang sempat terdepresiasi ke level terendahnya pada posisi Rp15.200/dollar AS sebagai dampak sentimen negatif faktor global. Sampai dengan akhir tahun, stabilitas nilai tukar rupiah dapat dijaga pada kisaran rata-rata Rp14.247/dollar atau terdepresiasi sekitar 6,9 persen jika dibandingkan dengan posisi akhir nilai tukar rupiah tahun 2017,” papar Sri Mulyani.
Ia membandingkan tingkat depresiasi tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan mata uang negara-negara berkembang lain seperti Argentina, Brazil, dan Turki.
Sri Mulyani juga mengatakan bahwa perekonomian Indonesia mendapatkan persepsi positif di tingkat internasional.
“Sepanjang tahun 2018, setidaknya lima lembaga rating dunia kembali mengkonfirmasi posisi rating investment grade Indonesia. Bahkan, Moody’s menaikkan outlook rating-nya ke posissi stabil pada bulan April 2018,” ucapnya.
Indonesia juga mengalami peningkatan 2 peringkat Global Competitiveness Index. Sebelumnya, di tahun 2017 Indonesia berada di peringkat 47 dari 140 negara, di tahun 2018 naik menjadi 45. Global Competitiveness Index merupakan tingkat kompetitif negara-negara di dunia yang diselenggarakan World Economy Forum.