Stalin, Man of Contradiction | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Gettyimages

Stalin, Man of Contradiction

Ceknricek.com -- Sekarang sebetulnya kita beruntung. Man of Contradictions yang ditulis Ben Bland dan diterbitkan Penguin Random House Australia  (2020), beredar bebas. Siapapun yang ingin membaca, sangat mudah memperolehnya. Termasuk jika Anda berkenan membaca versi bajakannya.

Kemewahan itu tak diperoleh masyarakat luas ketika Suharto dan Orde Baru berkuasa. Apalagi teknologi digital belum berkembang seperti saat ini. Koran, majalah, dan buku masih dalam bentuk fisik. Tangan kekuasaan begitu mudah bergerak untuk menghalangi terbitan yang memuat aib -- bahkan sekedar kritik konstruktif -- penguasa, keluarga, dan teman-temannya.

Jangankan terbitannya, sekedar resensi pun tak mudah dipublikasikan. Lalu, jaringan kekuasaan saat itu, juga selalu rajin membangun opini yang menjelek-jelekkan koran, majalah, atau buku yang dipandang merugikan mereka. Seperti sekarang, saat itu profesi pendengung (buzzer) kepentingan mereka, juga sudah ada. Tapi bekerja jauh lebih canggih karena tak menggunakan mesin robotik untuk menyebarluaskannya.

Stalin, Man of Contradiction
Sumber: Istimewa

Malam ini, dari koleksi perpustakaan pribadi, setidaknya saya menemukan 3 buku 'terlarang' pada masa Orde Baru berkuasa.

Ada karya Adam Schwarz, 'A Nation in Waiting' yang diterbitkan Allen and Unwin (1994). Sesuai catatan di halaman depan buku tersebut, saya membelinya di Kuala Lumpur. Beberapa bulan setelah terbit.

Saya harus mengakui bahwa sebagian pengetahuan pribadi tentang peran kontroversial para konglomerat keturunan Cina terhadap perekonomian kita saat itu, diperoleh dari bacaan-bacaan tersebut. Jadi, cerita soal oligarki yang disorot berbagai kalangan saat ini, sama sekali bukanlah hal baru.

Gambaran tentang mulai berkembangnya aktivitas politik pada kalangan Muslim di Indonesia, sebagian juga tergambar di sana. Termasuk penanganan sembrono yang dilakukan pemerintah kita, bersama pasukan tentaranya, dalam menangani konflik horisontal di Timor Timur.

Padahal, saat itu saya justru bekerja sebagai eksekutif pada salah satu perusahaan yang tergabung dalam konglomerasi anak Suharto. Buku-buku tersebut malah saya letakkan pada rak buku di kamar kerja. Tapi tak ada satupun yang usil atau mempermasalahkannya.

+++

Tahun 1988, saya sengaja memesan buku yang ditulis Richard Robinson. Judulnya, 'Indonesia: The Rise of Capital', terbitan Allen & Unwin juga (1986).

Nomura-san, salah seorang senior consultant pada perusahaan Jepang tempat saya bekerja saat itu, bermurah hati menyelundupkannya. Jika dilihat pada label harga yang masih melekat di sana ($24.90), buku itu dibelinya pada toko buku bandara yang dia singgahi.

Apa yang tertulis pada buku yang di masanya terlarang tersebut, adalah tentang pemusatan kekuasaan berlebih pada jaringan kekuasaan militer dan birokrasi pemerintahan yang dikuasai Suharto. Hal yang merupakan awal mula berkembangnya kelompok kapitalis di negeri kita. Tentu saja pada kelompok-kelompok pengusaha keturunan Cina yang sebagian besar di antaranya tetap tercatat sebagai warga negara Indonesia terkaya hingga hari ini.

+++

Ada satu buku lagi yang saya temukan malam ini. Ditulis oleh Hamish McDonald. Wartawan the Sidney Morning Herald yang kemudian menjadi koresponden lepas untuk pos Indonesia, bagi sejumlah media di Australia, Amerika, dan Inggris.

Pada buku yang berjudul 'Suharto's Indonesia' itu, Hamish bahkan menulis hal-hal yang berbau gosip. Seperti rumor yang menyebutkan bahwa Suharto adalah salah satu dari anak haram Hamengkubuwono VIII.

Baca juga: Olga Ladyzhenskaya Matematikawan Rusia yang Dibenci Stalin

Pria yang saat buku tersebut diterbitkan (1980) berusia 32 tahun itu -- saya memperolehnya tahun 1989 dari rekan Ishamu Gunji -- bahkan bergosip tentang perkeliruan Suharto membaca gestur tubuh Gough Whitlam. Katanya, Suharto mengira pejabat perdana menteri Australia yang diajaknya tur pribadi ke dalam Gua Semar di Dataran Dieng itu, merestui rencana 'pengambil alihan' Timor Leste sebagai bagian dari negara kita. Perkeliruan tersebut bersangkut paut dengan kehidupan klenik presiden RI kedua yang mempercayai dirinya sebagai titisan Semar.

+++

Memang tak semua informasi yang disampaikan dalam buku-buku tersebut, sepenuhnya disampaikan obyektif. Kadang bumbu yang berlebih juga terselip. Seperti pada karya Hamish McDonald di atas.

Tapi ada benang merah fakta yang terhubung satu dengan lainnya. Yakni penyalahgunaan kekuasaan dalam upaya melanggengkan praktek oligarki di negeri ini.

Jika Anda membaca buku-buku tentang Indonesia, para pemimpin, dan politik kekuasaannya,  selama 40 tahun belakangan, termasuk karya Ben Bland yang sedang heboh sekarang, sesungguhnya  hampir tak ada yang baru. Praktek oligarki itu memang tumbuh subur di bumi pertiwi kita, hingga hari ini.

Bedanya mungkin pada ulasan yang menggambarkan peran pemimpin pada masing-masing zamannya saja. Apakah seseorang yang begitu bergairah dan penuh strategi menjadikannya sebagai agenda pribadi. Atau sosok malu-malu kucing seolah diombang-ambing berbagai kekuatan yang tersebar, untuk mempertahankan agendanya masing-masing.

+++

Tapi yang justru menggelikan, di era keterbukaan sekarang, malah banyak sekali 'relawan' yang saya khawatir tak pernah mengikuti sejarah penyelewengan dan perkeliruan kekuasaan di republik ini -- termasuk tumbuh dan berkembangnya praktik oligarki yang menyebalkan itu -- dengan cepat dan mudah berpendapat negatif.

Bahkan tak sungkan ad hominem.

Lebih menyedihkan lagi karena hari ini, data yang tersedia atas nama UU yang menjamin keterbukaan informasi, justru lebih terang benderang menyajikan bukti-buktinya.

+++

Oh ya, mungkin ada yang belum tahu. Tahun 1987, Kenneth Neill Cameron, pernah mempublikasikan buku dengan judul hampir sama. Yakni, 'Stalin, Man of Contradiction'. Diterbitkan NC Press Limited, Toronto.

Saya belum lengkap membacanya. Jadi tak berani mengulasnya. Termasuk kemungkinan adanya hubungan isi dengan buku yang ditulis Ben Bland kemarin.

BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait