Surat Terbuka kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Surat Terbuka kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto

Jangan Korbankan Kesehatan Rakyat di tangan menteri yang Cuma Merasa Bisa dan Merasa Kompeten tapi Rapornya Jeblog dan Programnya berujung pada Beli Alat Super Mahal

Ceknricek.com--Menteri adalah sebuah jabatan politik yang berperan penting dalam menentukan arah kebijakan publik terkait program kerja kementerian terkait. Sebagai bagian dari pemerintahan, tugas pokok kementerian kesehatan adalah merealisasikan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yaitu “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin…….serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya, pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Tugas lain yang juga telah diratifikasi oleh negara adalah Deklarasi Universal HAM pasal 25 yang berbunyi “setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya”.

Sebagaimana tugas Kemendikbud-Ristek untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui Pendidikan, Kemenkes adalah kepanjangan tangan negara untuk memenuhi janji kemerdekaan tersebut di atas. Tugas tersebut selain sebagai kewajiban konstitusi, sekaligus juga hak dari seluruh rakyat negeri ini di kota maupun di desa, yang harus dipenuhi dengan biaya negara. Landasan berfikir yang menjadi dasar dari semua kebijakan kesehatan sudah seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan lain yang seolah-olah mengatasnamakan rakyat banyak, tapi di balik itu ada kepentingan bisnis mencari untung dengan orang sakit sebagai objeknya. Kebijakan kesehatan yang salah dan menimbulkan kontroversi paling sering disebabkan oleh landasan berpikir yang sesat atau Logical Fallacy seorang Menteri Kesehatan.

Semua orang tahu akan rekam jejak menkes saat ini sebagai seorang bankir yang kebijakannya seolah menolong nasabah padahal berburu rente. Mari kita bersama telaah berdasarkan data dan fakta beberapa program yang gagal tercapai atau yang salah sasaran yang berpotensi membahayakan masa depan negeri tercinta ini. Diantara penyebabnya adalah tidak adanya kompetensi dan pemahaman komprehensif terkait persoalan kesehatan yang spesifik, dan kekuasaan yang anti-kolaborasi dan sering menegasikan peran ilmuwan bidang kesehatan serta masyarakat profesi sebagai stakeholder utama program-program kesehatan rakyat.

Rapor Jeblok yang beresiko menggagalkan harapan Indonesia Emas tahun 2045

Pertengahan tahun lalu, kita semua sempat terhenyak dan terkaget-kaget oleh pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI (Senin, 5 Juni 2023), bahwa 9 dari 10 target Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 2020-2024) Bidang Kesehatan terancam tidak tercapai alias gagal (https://katadata.co.id/yuliawaty/berita/647dba44ad349). Hanya 1 dari 10 alias 10% dari indikator kesehatan yang mencapai target, yaitu berkurangnya jumlah dewasa obesitas, padahal di saat yang sama data BPS 2022 menyebut adanya kenaikan jumlah penduduk miskin sebesar 10,16% dari tahun sebelumnya (http://www.bps.go.id>2023/01/16). Bisa jadi turunnya jumlah dewasa obesitas tersebut lebih disebabkan oleh bertambahnya dewasa yang menjadi kurus akibat kemiskinan.

Yang paling menakutkan terkait cita-cita Indonesia Emas tahun 2045 adalah masih tingginya angka Balita Stunting ( 21,6%, padahal targetnya 14% ), serta capaian Imunisasi Dasar Lengkap pada bayi dan anak ( hanya 63,17%, padahal targetnya 90% ). Balita anak bangsa yang stunting dengan imunisasi dasar yang tidak lengkap ini, pada tahun 2045 akan berusia sekitar 22-27 tahun, para pemuda dengan kualitas fisik dan mental/ intelegensia yang patut dipertanyakan. Hal ini bisa berimbas pada harapan akan menggagalkan terjadinya Bonus Demografi, bahkan sebaliknya Bencana Demografi-lah yang akan kita dapatkan. Di tahun 2023, dengan anggaran yang begitu besar, menkes cuma bisa menurunkan angka stunting ini sebesar 0,1% menjadi 21,5% (https://dinkes.papua.go.id). Karena peran Kemenkes sebagai leading sector dalam program penurunan stunting ini, maka leadership menkes-nya patut dipertanyakan.

Dari data Bappenas, indikator lain yang gagal terpenuhi antara lain eliminasi Malaria yang baru mencapai 372 dari target 405 Kabupaten/ Kota, eliminasi Kusta hanya mencakup 403 dari target 514 Kabupaten/ Kota, insidensi TBC yang masih di angka 354 dari target 297/ 100 ribu populasi, persentase balita wasting (bertubuh kurus) masih 7,7% dari target 7%, dan angka perokok anak yang masih 9,1% dari target turun sampai 8,7%.

Gagalnya Program Pembangunan Fasyankes dan Pemenuhan SDM Standar untuk Fasyankes

Indikator berikutnya yang gagal terpenuhi targetnya adalah terkait fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes). Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 3 jelas disebutkan kewajiban negara untuk menyediakan Fasyankes yang berkualitas. Kementerian Kesehatan adalah kepanjangan tangan negara yang paling bertanggung jawab atas terpenuhinya kewajiban ini. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)/ Puskesmas yang terakreditasi hanya mencapai angka 56,4% dari target 100%, dan pemenuhan tenaga kesehatan di Puskesmas sesuai standar yang hanya mencapai 56,07% dari target sebanyak 83% puskesmas.

Selain UU 44-2009 tentang RS, kita tidak pernah punya UU tentang fasilitas pelayanan kesehatan. Pengaturan puskesmas hanya termuat dalam Permenkes No. 43-2019, sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No. 36-2009 tentang Kesehatan. Terkait dengan pemenuhan tenaga kesehatan di Puskesmas, dari total 10.292 ada 3285 (31,6%) yang tidak punya dokter gigi (https://databoks.katadata.co.id).

Padahal tersedia 2500 lulusan dokter gigi baru setiap tahun, dan dari total 42.000 dokter gigi umum, baru sekitar 30% saja yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah (https://pdgi.or.id). Jelas terlihat di sini adanya mismatch dan persoalan sebenarnya lebih pada distribusi SDM dokter, dokter gigi, dan Nakes lainnya, bukan pada produksinya.

Terkait maldistribusi dokter, dokter gigi, dan nakes ini,  menkes cuma bisa menuduh organisasi profesi (IDI, PDGI, PPNI) yang tidak memberikan rekomendasi ijin praktek, atau karena STR yang harus di revalidasi setiap 5 tahun. Sehingga sebagai solusi, dengan UU 17/2023 rekomendasi ini ditiadakan dan STR dibuat seumur hidup. Kalau saja jajaran ASN di Kemenkes diperbolehkan bicara terbuka apa adanya, tanpa rasa takut/ diancam, merekalah yang paling tahu mengapa ke 3285 puskesmas tersebut tidak terisi oleh dokter gigi, jangan-jangan para dokter gigi tersebut mesti cabut gigi di kursi rotan, serta pakai alat-alat yang tidak standar.

Kegagalan Menkes terkait Persoalan Distribusi Dokter dan Nakes di Daerah

Ratusan tenaga kesehatan dipecat usai demo menuntut kenaikan gaji, demikian headline berita di DetikHealth, hari Jum’at 12 April 2024, tepat hari kedua setelah hari raya Idul Fitri 1445 H lalu (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7289630/ratusan-nakes-di-ntt-dipecat-usai-demo-kemenkes-buka-suara). Aksi unjuk rasa sekitar 300 nakes tersebut dilakukan di Kantor Bupati Manggarai, NTT, untuk menuntut perpanjangan Surat perintah Kerja (SPK) dan meminta kenaikan gaji agar setara Upah Minimum Kabupaten (UMK).

Yang paling menyedihkan terkait peristiwa ini bukanlah soal pemecatan tersebut tapi komentar sang menteri yang selalu mengumbar janji untuk memperbaiki kesejahteraan tenaga kesehatan.

“Ini merupakan kewenangan daerah terkait pengangkatan nakes karena tergantung kebutuhan, prioritas, dan ketersediaan anggaran,“ demikian kata kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes.

Jelas ini adalah upaya untuk mengelak dari tanggung jawab seorang menkes yang sebelumnya dengan penuh kesombongan mengusung sebuah UU Kesehatan yang menghapuskan kewajiban negara untuk menyediakan anggaran wajib kesehatan (Mandatory Spending Kesehatan atau MSK) minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD sebagaimana Tap MPR No 10-2001 yang dijabarkan dalam UU No 9-2009 pasal 171, ayat 1-2.

Peristiwa pemecatan hampir 300 nakes di NTT tersebut tentu bukan hal yang tiba-tiba dan yang pertama kali terjadi. Awal Januari tahun lalu, RSUD Chasan Boesoirie di Ternate, Maluku Utara tidak bisa memenuhi hak Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama 15 bulan untuk 700 Nakes ASN, 200 Nakes Non-ASN, serta 20 dokter kontrak (https://indotimur.com/kesehatan/).

Awal Juli 2023 lalu, Dokter Spesialis dan Nakes di RSUD Namlea, Pulau Buru menyatakan mogok kerja karena TPP nya tidak dibayarkan selama 11 bulan (https://trans7/official/redaksi). Tidak berapa lama kemudian menyusul demo para dokter spesialis RSUD Jayapura, RSUD Abepura, dan RSJ Abepura terkait penerimaan TPP yang tidak sesuai dengan Pergub (https://www.kompas.tv/regional/438591).

Dua minggu sebelumnya, demo serupa terjadi di RSUD Sele Be Solu, Kota Sorong, karena insentif yang tidak dibayarkan selama 5 bulan. Mogok kerja para dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi juga terjadi awal September 2023 di RSUD Soe di Kabupaten Timor Tengah Selatan, lagi-lagi karena Tunjangan Kelangkaan Profesi yang tidak dibayarkan selama 6 bulan. Ternyata persoalan serupa ternyata juga terjadi di propinsi Aceh, di RSUD Subulussalam awal bulan September ini (https://linear.co.id/sejumlah-dokter-spesialis-di-rsud-subulussalam-mogok-kerja/).

Di Kab. Pasaman Barat  dilaporkan bahwa sejak tahun 2019 tidak ada lagi TPP maupun insentif kelangkaan profesi. Di RSUD Soe, Kab. Timor Tengah Selatan, insentif Covid bulan Januari sampai Juli 2022 tidak pernah dibayarkan, demikian pula di Jambi sejak Juni 2021 dengan pelbagai alasan. Bahkan di Manokwari, TPP atau insentif untuk Nakes telah ditiadakan sama sekali oleh Bupati. Sedangkan di Kab. Pesisir Selatan besaran TPP untuk dokter umum di Puskesmas cuma sebesar Rp.170 ribu, betapa malang dan mengenaskan nasibmu, oh nakes di negeri ini (Semua informasi di alinea ini didapat dari zoom meeting Kang Hadi Conscience/ KHC 4 Sept. 2023 (https://www.youtube.com/live/UOLSpp3CAXc?si=903oCvwiOvO67akB).

Persoalan tentang nakes yang dipaksa bekerja rodi, dengan hak kesejahteraan yang cenderung diabaikan adalah sebuah ‘Fenomena Gunung Es’. Dengan otonomi daerah seharusnya Pemerintah Daerah juga secara tanggung renteng punya tanggung jawab terkait kesejahteraan dan karir Nakes di daerah, tapi faktanya Pemda dan bahkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan, pembahasan, bahkan sampai pengesahan UU 17/2023 (kesaksian dari Melki Laka Lena, wakil Ketua Komisi IX, dalam sidang Uji Formil UU 17/2023 di Mahkamah Konstitusi, 11/1/2024).

Jadi kesimpulannya, Pemda tidak boleh disalahkan terkait persoalan distribusi dan kesejahteraan dokter dan nakes di daerah, karena tidak satupun pasal atau ayat dalam UU 17/2023 mengatur perubahan otonomi daerah tentang kesejahteraan dan jenjang karir dokter dan nakes di daerah. Jadi menkes adalah orang yang paling bertanggung-jawab terkait kegagalan upaya distribusi dokter, dokter gigi, dan nakes di pelbagai daerah di negeri ini. Jawaban menkes lewat Ka Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik terkait kasus pemecatan 300 Nakes di Manggarai, menggambarkan sebuah Stupid Leadership di Kemenkes yang dalam Budaya Jawa layak disebut sebagai ‘Tinggal Glanggang Colong Playu’, lawan dari Sikap Ksatria.

Dengan UU 17-2023, Kesehatan dijadikan Objek Bisnis Negara terhadap Rakyatnya

Di satu sisi, kehadiran UU 17-2023 telah  memperkokoh cengkeraman menkes atas tata kelola nakes dari hulu sampai ke hilir dan sekaligus mengeliminasi peran penting OP Kesehatan dalam pemeliharaan kompetensi dan pengawalan etika profesi para nakes. Di sisi lain, dihilangkannya peran/ kehadiran negara dalam bentuk MSK, tapi digelar karpet merah masuknya investasi asing atas nama bisnis layanan kesehatan. Bahkan sebelum lahirnya UU, sudah ada Permenkes 6-2023 tentang TK-WNA yang penuh kontroversi, misal tentang dokter asing yang tidak perlu bisa bahasa Indonesia saat mulai bekerja, dan terkait dokter asing untuk penempatan di daerah 3 T (terdekat, terkaya, dan termodern ?).

Apakah kehadiran RS Asing yang mewah dan canggih seperti RS Aspen di Depok, yang diresmikan oleh Menkes dan Menteri Airlangga Hartarto (Depok.tribunnews.com, 20-6-2023), Sanur Medical International Complex yang mewah di Bali, serta pembangunan sebanyak 30 RS Tiongkok yang perjanjiannya ditandatangani menkes di Chengdu (https://youtu.be/sNYnt_NxdPY) sehari setelah pengesahan UU 17-2023, apakah akan bisa jadi solusi? Benarkah semua RS asing nan mewah tersebut hadir mewakili negara memenuhi kewajiban konstitusional sebagaimana tertulis pada pasal 34 ayat 3 UUD 1945? Jawabnya jelas Tidak, karena dengan UU 17-2023 ini yang sesungguhnya terjadi adalah negara (baca: menkes) tengah berbisnis dengan rakyatnya sendiri, dengan orang sakit sebagai objek bisnisnya.

Semua RS mewah dan modern tersebut dibangun sebagai sarana wisata kesehatan, seperti pernyataan Menteri Airlangga Hartarto dan Erick Tohir. Jadi semua RS mewah tersebut bukan untuk 180 juta peserta BPJS kelas 3 yang memerlukan rawat inap bukan untuk ‘wisata kesehatan’. Rakyat miskin peserta BPJS kelas 3 ini butuh pengobatan penyakitnya, guna bisa bertahan hidup. Mereka tidak butuh ruang perawatan mewah bak hotel berbintang, bahkan dirawat di selasar/ bangsal tanpa penyejuk udara, tanpa kamar mandi dalam-pun mereka bersedia asal tanpa harus menunggu antrian rawat inap selama 6-12 bulan.

Karena Tidak Paham Kompleksitas Masalah, Beli Alat Mahal jadi  Solusi yang Sesat

Menurut Globocan (Global Burden of Cancer) dari WHO, kasus kanker di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 396.914 kasus dengan angka kematian mencapai 234.511 atau 59,08 %. Jenis kanker tersering adalah kanker payudara sebesar 65.858 atau 16,6%, diikuti oleh kanker leher Rahim (serviks) sebanyak 36.633 kasus (9,23%), lalu kanker Paru sebanyak 34.783 kasus (8,76%).

Baru-baru ini Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan dalam sebuah unggahan di media online ( https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7171798/menkes-curhat-sengkarut-polemik-pasien-kanker-di-ri-antreannya-bisa-3-bulan ).

Menkes menyatakan bahwa salah satu masalah terbesar penanganan kanker di Indonesia adalah skrining kanker yang masih tergolong rendah, sehingga banyak pasien yang diketahui mengidap kanker setelah stadium lanjut. Pernyataan ini 100% benar dan tidak salah. Yang tidak nyambung adalah ketika menkes tiba-tiba loncat membicarakan ketersediaan alat PET (Positron Emission Tomography) scan sebagai alat deteksi kanker yang hanya ada 3 dan semuanya di Jakarta. Kelanjutan dari pembicaraan ini sudah bisa ditebak, yaitu rencana pengadaan 13 alat PET scan dalam 2-3 tahun, dan kedepannya akan ada 21 Unit PET scan di Indonesia.

Mari kita bahas persoalan ini secara utuh, berdasarkan sains dan data klinis yang benar dan tentu saja mengikuti saran dan pendapat dari OP para dokter yang memang menangani pengobatan pasien kanker. Kalau bicara tentang skrining dan deteksi dini, tentu harus dimulai dengan edukasi masyarakat dan peran dari Faskes tingkat 1 (faskes primer) dan faskes rujukan sekunder. Contohnya, terkait kanker payudara, ada pemeriksaan payudara sendiri (SADARI), yang kemudian ditindaklanjuti dengan foto Rontgen Mammografi.

Terkait kanker usus besar (Colorectal), pemeriksaan adanya darah samar pada feses (kotoran manusia) bagi usia di atas 40 tahun, yang ditindak lanjuti dengan pemeriksaan ‘meneropong bagian dalam usus besar’ (endoscopy atau colonoscopy) di faskes rujukan sekunder. Faskes tersier (RS rujukan regional/ provinsi dan RS rujukan nasional) bukanlah tempat untuk skrining maupun deteksi dini kanker. 

Logika nya, kalau ada dugaan patah tulang lengan atau tungkai akibat KLL, pasien hanya memerlukan foto Rontgen sederhana yang tersedia di RS terkecil, bahkan di klinik swasta, tanpa harus dirujuk ke RS regional apalagi ke RS vertikal untuk  foto MRI. Lagi-lagi ada logika berpikir sesat (Logical Fallacy) seorang menkes, hingga tiba-tiba berujung pada kebijakan pengadaan 21 Unit PET scan di RS rujukan tersier, untuk deteksi dini kanker. Dalam kapasitas sebagai penentu kebijakan, tampak bahwa menkes tidak punya kompetensi dalam memahami kompleksitas masalah, logika berpikirnya terlalu dangkal, dan hal ini jelas tidak bisa diterima karena pasti akan berujung pada merugikan dan menghamburkan keuangan negara.

Peran PET Scan yang hanya tersedia di Faskes Tersier, bukan untuk deteksi dini tapi lebih pada menilai perluasan dari kanker nya (staging dan grading), yaitu mendeteksi penyebaran sel kanker untuk penentuan stadium dan bentuk terapi yang dibutuhkan. Jadi jelas sekali bahwa PET Scan bukan alat untuk skrining, dan menkes benar-benar terlihat bodoh dan memalukan saat mengaitkan deteksi dini kanker dengan pemeriksaan PET scan yang berbiaya setidaknya 15 juta rupiah dan tidak ditanggung oleh BPJS.

Menurut IROS (Indonesian Radiation Onkology Society) setidaknya 50% pejuang kanker atau sekitar 174 ribu orang memerlukan radioterapi, (https://conferences.iaea.org/event/229/contributions/18620/attachments9747/13610/53-icaro-3-synopsis-pdf ). Menurut IROS, idealnya dibutuhkan 1 unit mesin/alat Radioterapi Eksternal (Teleterapi) untuk setiap 1 juta penduduk. Jadi Indonesia membutuhkan setidaknya 270 unit alat Teleterapi ini. Sampai akhir 2020, di Indonesia cuma ada 80 unit alat ini dengan distribusi yang tidak merata, yang hanya bisa melayani sebanyak 29,82% pasien. Artinya, lebih dari 70% pejuang kanker yang membutuhkan radioterapi belum terlayani hak-hak kesehatannya. Mestinya, terkait tata-kelola Kanker, menkes harus belajar dari para pakar IROS.

Selain itu ada sebuah tulisan ilmiah berjudul “Treatment Delay of Cancer Patient in Indonesia: A Reflection from a National Referral Hospital” yang ditulis oleh S Gondhowiardjo dkk. (Med J.Indonesia, 2021; 30: 129-137). Studi pada pasien kanker yang dirujuk ke Poli Rawat Jalan Departemen Onkologi Radiasi RSCM ini membuktikan bahwa 86% pasien kanker mengalami keterlambatan penanganan, dan sebagian besar keterlambatan terjadi di Rumah Sakit Rujukan.

Keterlambatan dalam memastikan diagnosa jenis kanker antara lain disebabkan oleh waktu tunggu untuk di foto (X ray, CT, dan MRI, bukan PET Scan), waktu tunggu untuk tindakan biopsi (pengambilan sampel jaringan tumor), dan waktu tunggu untuk memperoleh hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA).

Kesimpulan dari berbagai studi dan hasil riset benar-benar terpercaya (reliable), dan bukan sekedar testimoni pasien apalagi kehendak pemilik modal, jelas menggambarkan problematika yang harus diprioritaskan dalam rangka pemenuhan hak-hak kesehatan para pejuang kanker.

Keterlambatan pengobatan pasien kanker jelas tidak ada kaitannya sama-sekali dengan ketersediaan alat PET Scan yang hanya 3 Unit yang semua ada di Jakarta. Alat PET scan, yang setiap unit bernilai sekitar 200 Milyar Rupiah ini, memang harus ditambah, tetapi hak dari 70% lebih pasien kanker untuk memperoleh radioterapi dengan alat Teleterapi yang nilainya kurang dari 25 Milyar Rupiah (bila tanpa mark-up) jelas harus lebih diprioritaskan. Jadi narasi menkes tentang pengadaan alat PET Scan saat bicara tentang skrining kanker di Indonesia merupakan gejala ‘Flight of Idea’, atau ‘Halusinasi’ akibat keinginan membeli alat yang Super Mahal.

Semoga Bapak Prabowo Subianto, selaku Presiden Terpilih menyadari dan benar-benar mempertimbangkan keputusannya dalam memilih menkes yang benar-benar memahami kompleksitas persoalan kesehatan rakyat. Bukan menkes yang cuma merasa tahu dan merasa kompeten, yang cuma bisa bicara tentang transformasi pelayanan kesehatan dan peningkatan kesejahteraan nakes, tapi gagal dalam mencapai target RPJMN Kesehatan 2020-2024. Menkes yang mau dan bisa bertanggung-jawab ketika banyak nakes di daerah berteriak karena hak-hak kemanusiaannya terabaikan. Menkes yang tidak sekedar bicara tentang deteksi dini kanker tapi di otaknya cuma terbayang beli Alat Super Mahal.

Faktanya kanker payudara dan kanker leher rahim masih jadi penyebab tertinggi kematian ibu di Indonesia karena ternyata lebih dari 70% pejuang kanker belum terpenuhi hak kesehatannya memperoleh radioterapi. Semoga Tuhan kabulkan doa dan harapan seluruh dokter dan nakes, serta seluruh rakyat Indonesia, Amin.

#Zainal Muttaqin, Guru Besar FK Universitas Diponegoro, Praktisi Medis Bedah Saraf


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait