Ceknricek.com -- Mahkamah Agung (MA) membebaskan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsjad Temenggung, dari tuntutan hukum yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini adalah pertama kali bagi KPK kalah dalam sidang pemberantasan korupsi.
MA memutuskan, Syafruddin bersalah dalam kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, namun dia tak bisa dihukum secara pidana karena kasus SKL itu adalah peristiwa perdata. Begitu kesimpulan amar putusan MA No. 1555K/PID.SUS-TPK/2019 pada 10 Juli 2019.

Foto : Merdeka
Keputusan MA ini menganulir putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 24 September 2018 yang menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan atas diri Syafrudin.
Lolosnya Syafruddin dari jeratan KPK adalah bagian dari nasib baik bagi diri insinyur program Studi Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1983 ini. Soalnya, kasus BLBI hanyalah salah satu saja dari beberapa kasus yang sempat menjeratnya.
Selalu Lolos
Selepas menjabat BPPN, Syafruddin juga tersandung sejumlah kasus. Pada 2006, Kejaksaan Agung menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam penjualan aset Pabrik Gula Rajawali III di Gorontalo. Kasus ini melibatkan Nyono Soetjipto, Komisaris PT Rajawalli III. Syafruddin dijerat dalam kapasitasnya sebagai Kepala BPPN. Pabrik gula yang merupakan aset negara dan dikuasakan kepada BPPN dijual dengan harga Rp84 miliar. Padahal, nilainya ditaksir ratusan miliar.
Akan tetapi, kasus yang diusut Korps Adhyaksa itu dihentikan di tengah jalan karena penyidik menganggap tak adanya bukti yang cukup. Pada 21 Juni 2007, penyidik menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3). Jaksa Agung ketika itu, Hendarman Supandji, menyetujui usulan penghentian perkara tersebut.

Foto : MediaIndonesia
Syafruddin juga terseret kasus penjualan dua kapal tanker raksasa (very large crude carrier atau VLCC) yang melibatkan Laksamana Sukardi. Pada kasus ini, Laksamana Sukardi selaku Komisaris PT Pertamina ditetapkan sebagai tersangka.
Kejagung memeriksa Syafruddin terkait persetujuan Dewan Komisaris soal penjualan kapal VLCC. Namun, lagi-lagi Gedung Bundar menghentikan penyidikan kasus itu. Alasannya karena Kejagung tak menemukan unsur kerugian negara setelah menggelar ekspose dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Tak hanya berhenti di sini. Pada medio September 2016, Syafruddin juga ditetapkan Kejagung sebagai tersangka kasus dugaan pembelian hak tagih PT Adyaesta Ciptatama (AC) oleh PT Victoria Securities International Corporation (VSIC) dari BPPN pada 2003. Sampai sekarang, kasus ini tidak jelas juntrungannya.
Kerugian Negara
Syafruddin diangkat menjadi Kepala BPPN pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Kala itu, masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tengah memanas. BPPN sendiri dibentuk pada awal 1998.
Pada akhir Desember 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Inpres tersebut jadi landasan pemerintah untuk mengeluarkan jaminan kepastian hukum kepada para debitur BLBI yang telah melunasi kewajiban atau menindak secara hukum mereka yang tak melaksanakan kewajibannya.
Berkat Inpres itu juga BPPN bisa menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Syafruddin hanya dua tahun memimpin BPPN karena Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN. Praktis tugas pria yang meraih gelar doktor di Universitas Cornell, New York, itu berakhir.
Pada periode akhir kepemimpinan Syafruddin, BPPN mengeluarkan SKL kepada debitur BLBI, salah satunya ke Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Kisah ini bermula BDNI menerima kucuran fulus BLBI sekitar Rp27,4 triliun. Namun, bank ini hanya menebus dengan menyerahkan PT Dipasena yang terjual Rp2,3 triliun dan GT Petrochem serta GT Tire terjual Rp1,83 triliun.

Foto : Tribunnews
Pada Mei 2002, terjadi perubahan proses litigasi terhadap kewajiban obligor BLBI, Sjamsul. Kewajiban pembayaran itu menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset Sjamsul sebesar Rp4,8 triliun.
Usulan perubahan itu disampaikan Syafruddin kepada Komite Sektor Keuangan (KKSK). Namun, Sjamsul hanya mengembalikan Rp1,1 triliun. BPPN tidak menyelesaikan seluruh proses dari total pengembalian yang harus dilakukan konglomerat itu. Belum selesai semua urusan, Syafruddin malah mengeluarkan SKL untuk Sjamsul pada April 2004. Jadi ada kewajiban obligor setidaknya Rp3,7 triliun yang belum ditagih.
Kasus BLBI adalah kasus 20 tahun silam yang tak tersentuh hukum padahal kerugian negara triliunan rupiah. Pada Akhir April 2017, KPK menaikkan status perkara BLBI ke penyidikan setelah bertahun-tahun berkutat di tahap penyelidikan. Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka.
KPK menjerat Syafruddin dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab UU Hukum Pidana.
Kebijakan dan Pelaksanaan
Kala itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berharap dengan ditanganinya kasus ini para obligor BLBI segera membayar utang-utangnya. “Masih ada sejumlah obligor yang belum memenuhi kewajiban utangnya,” ujar Menteri Sri. Lalu, Sri berjanji siap memberikan dokumen para obligor tengil itu.
Duit yang ditilap konglomerat hitam tersebut tidaklah kecil. Dalam kasus pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim saja ditaksir masih menunggak Rp3,7 triliun. Itu pun belum termasuk bunganya. “Ini harus dikejar. Hal itu disertai dengan bunganya karena kejadian ini kan 20 tahun yang lalu,” ujar Sri, kala itu.

Foto : Wartaekonomi
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih menyimpan semua data piutang obligor terkait kasus BLBI. Semua data tersebut, kata Sri, boleh digunakan penegak hukum untuk membantu mengejar para obligor nakal. “Data mencakup jumlah dan status piutang para obligor dan dokumen lain,” katanya dengan menambahkan bahwa sejatinya data-data itu sudah pernah diserahkan ke kejaksaan, kepolisian, sampai KPK sejak pemerintahan sebelumnya.
Wajar saja jika Menteri Sri menyambut baik kemajuan penanganan kasus ini. Tadinya, pemerintah berharap penetapan Syafruddin oleh KPK sebagai tersangka bisa menjadi pintu masuk untuk memulangkan duit yang masih dikuasai para obligor nakal.
Kala itu, Presiden Joko Widodo juga mengingatkan bahwa hal yang disidik KPK dalam perkara BLBI bukanlah kebijakan (SKL) yang dikeluarkan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri lewat Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002. Sebaliknya, hal yang disidik KPK berkaitan dengan pelaksanaan SKL yang melibatkan obligor-obligor nakal.
“Bedakan mana kebijakan dan mana pelaksanaan. Keputusan presiden, peraturan presiden, dan instruksi presiden adalah kebijakan, bukan pelaksanaan. Kebijakan dikeluarkan untuk menyelesaikan persoalan yang ada kala itu. Detailnya tanyakan ke KPK,” ujar Presiden Joko Widodo.

Foto : Kompas
Kerja KPK tidak sia-sia. Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 September 2018 menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan atas diri Syafrudin. Hakim menganggap Syafruddin memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehingga merugikan negara Rp4,58 triliun. Selaku Kepala BPPN, ia dianggap melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
Upaya banding Syafruddin ke MA membuyarkan semuanya. Kini, banyak pihak menduga-duga bebasnya Syafruddin bakal menjadi jalan buntu bagi KPK untuk mengusut kasus BLBI lainnya, salah satunya dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Harapan Sri Mulyani agar para obligor nakal segera membayar utangnya menjadi kandas.