Ceknricek.com -- "Bagaimana masyarakat bisa patuh kepada perintah kami kalau kepercayaan sudah tidak ada? Bagaimana menjaga marwah institusi dalam menjaga kepercayaan publik itu? Kalau masalah suksesi, enggak terlalu pentinglah." -- demikian sepenggal tanggapan Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo, Kabareskrim Polri, saat Majalah Tempo mengkonfirmasi soal kabar miring yang mengaitkan, pengungkapan kasus Djoko Tjandra sebagai 'kendaraan' suksesi Kapolri mendatang (pejabat sekarang, Jenderal Idham Azis, memang akan pensiun awal tahun depan).
+++
Majalah Tempo minggu ini menurunkan laporan utama dengan judul 'Nyanyian Pelindung Joker'. Mereka memberitakan hasil penulusuran yang membuat mual para pembayar pajak di republik ini. Apalagi yang sehari-hari bersusah payah mengais rezeki halal. Uang ratusan juta hingga ratusan miliar, demikian recehnya. Berpindah ke sejumlah pihak yang ditengarai memuluskan niat Djoko Tjandra untuk memenangkan upaya peninjauan kembali atas kasus yang menyebabkannya buron selama ini.
Berita tersebut tersaji lewat 4 tulisan. Mengungkap dugaan permainan kotor sejumlah aparat penegak hukum Indonesia dalam telikung-menelikung berbagai celah yang berserakan pada konstruksi hukum dan birokrasi pemerintahan kita. Memang bukan jenis cerita yang baru kali ini terjadi. Sejak Suharto dan Orde Baru bubar, korupsi, kolusi, dan nepotisme justru berlangsung semakin marak dan menjadi-jadi. Meski ketiga kebiadaban itu, secara konstitusional, telah ditegaskan sebagai musuh utama bangsa. Berikut dengan tekad ingin memberantasnya.
Tapi alih-alih memperkuat upaya dan kerja keras yang memang tak mudah itu, kepemimpinan Joko Widodo pada periode kedua ini justru cenderung melemahkannya. Penolakan masyarakat terhadap proses seleksi pimpinan KPK yang berkuasa sekarang, hingga proses revisi undang-undangnya yang amat sangat kontroversial, telah tercatat sebagai bagian dari sejarah kelam bangsa kita saat Joko Widodo memulai periode kedua kepemimpinannya.
Saya tak tertarik mengulas liputan tentang kebobrokan sejumlah aparat yang hidup maupun kesejahteraan diri dan keluarganya, dibiayai dari keringat rakyat. Tapi malah tanpa ragu dan malu, justru mengkhianati.
Hal yang jauh lebih menarik, justru soal pemborosan uang negara untuk membiayai penyewaan ruang kerja salah satu lembaga yang dibentuk pasca Reformasi 1998 kemarin. Lebih hebatnya lagi, dikeluarkan dari kas yang dikelola pemerintahan Joko Widodo kemarin.
+++
Kita tahu, SKK Migas yang sebelumnya pernah jadi ladang subur tindak korupsi itu, juga berkantor di Gedung Mulia yang kepemilikannya terkait dengan Djoko Tjandra. Siapapun yang pernah bertandang ke sana, pasti merasakan sentuhan kemewahannya. Layanan yang diberikan gedung tersebut, memang setara dengan Hotel Mulia di kawasan Senayan.
Sejumlah bisnis properti Djoko Tjandra di Tanah Air, memang tetap berlangsung aman sentosa. Rekan-rekan yang bekerja di SKK Migas, hanya tersenyum simpul ketika saya pernah menanyakannya beberapa tahun silam. Mengapa seperti tak ada keberpihakan terhadap saudara sekandung yang telah dilecehkan buronan itu? Begitu sulitkah mencari gedung lain sehingga harus menempati milik pengusaha yang melarikan diri ke luar negeri ketika dinyatakan bersalah oleh Negara?
Baca juga: ICW Duga Mutasi Jamintel Kejagung Terkait dengan Kasus Djoko Tjandra
Saya tak tahu soal lembaga atau badan usaha milik negara lain yang dengan sukarela sekaligus bersukacita, telah menggelontorkan anggaran kepada bisnis-bisnis Djoko Tjandra dan kawan-kawan. Padahal, berulang kali mengemuka wacana pemiskinan ataupun pengucilan bagi koruptor di negeri ini. Seandainya belum dimungkinkan secara hukum, sekedar keberpihakan organisasi maupun badan-badan usaha milik negara untuk tak 'bersahabat' dengan mereka pun, mestinya cukup menghibur kekecewaan hati. Sesuatu yang amat mungkin dan sangat mudah dilakukan. Tanpa harus melanggar hukum. Semua bergantung pada kepemimpinan. Bahasa Inggrisnya, leadership.
+++
Lalu dari pemberitaan Majalah Tempo minggu ini, terungkap pula adanya sewa-menyewa yang dilakukan lembaga OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dengan PT Sanggarcipta Kreasitama. Salah satu perusahaan Djoko Tjandra yang menaungi gedung perkantoran mewah Mulai 1 dan 2 di Jakarta. Katanya, yang bersangkutan meminta tolong Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, petinggi kepolisian yang kini telah menjadi tersangka. Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri itu, dituduh menerbitkan surat jalan dan keterangan bebas Covid-19 palsu untuk Djoko Tjandra.
Transaksi yang sempat dibayarkan meski kemudian digugat kembali tersebut, berdasarkan hasil audit BPK tahun 2017, menyebabkan negara (via OJK) merugi Rp 636 miliar. Jauh lebih besar dibandingkan hak tagih Rp 546 miliar yang diklaim Djoko Tjandra di Bank Bali dan sudah dinyatakan dirampas Negara saat Mahkamah Agung memutuskan PK tanggal 12 Juni 2009 lalu itu.
Baca juga: Djoko Tjandra Jalani Isolasi Mandiri dan Mapenaling di Lapas Salemba
OJK kemudian memang tak menempati gedung yang sewanya sudah dibayar untuk 3 tahun tersebut (2018-2021). Pasalnya, pemerintah enggan mengubah ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2014 tentang pungutan yang menjadi hak lembaga tersebut. Lalu mereka ingin meminta kembali pembayaran sewa dan layanan gedung tahun 2018-2021 senilai Rp 469,36 miliar. Karena tak diindahkan, maka dilayangkanlah tuntutan kepada perusahaan yang kepemilikannya terafiliasi dengan Djoko Tjandra itu, ke pengadilan.
Terlepas bahwa cerita tersebut menjadi dalih bermulanya keterlibatan Prasetijo Utomo dalam kasus Djoko Tjandra, hal yang menarik justru kepekaan dan kepedulian pemerintahan Joko Widodo yang begitu mudah mengucurkan anggaran sewa kantor OJK di atas tadi.
Pertama, bagaimana mungkin uang yang begitu besar, demikian mudah mengucur, ketika sumber pemasukan lembaga negara yang akan menggunakannya, belum jelas? Bukankah kemudian perubahan ketentuan PP 11/2014 yang mungkin mendasari kelayakan keuangan OJK tersebut, akhirnya tak disetujui pemerintah?
Kedua, seandainya pun pemerintah berkenan melakukan perubahan sehingga OJK memiliki hak memungut biaya atas kegiatannya, bukankah penerimaan tersebut merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sangat layak dihemat agar dapat digunakan menutupi kekurangan anggaran Negara yang tak tercukupi dari pajak yang dikumpulkan?
Ketiga, sewa kantor ratusan miliar rupiah itu, besar sekali. Berapa puluh ribu meter persegi kah yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan OJK? Begitu naifkah Sri Mulyani maupun Joko Widodo dalam memahami peluang mengubah biaya yang perlu mereka belanjakan tersebut, menjadi asset negara?
Keempat, untuk apa sebetulnya berbagai anak maupun cucu perusahaan yang didirikan dan bergerak di bidang pengelolaan properti oleh berbagai Badan Usaha Milik Negara?
+++
Lembaga pemerintah sejatinya tak berdosa. Institusi itu tak mungkin dan tak mampu berbuat salah dan melakukan segala hal yang tak senonoh. Karena kita sebagai bangsa memang menciptakan, menghadirkan, dan mengembangkannya untuk kemaslahatan semua.
Biang kerok masalahnya adalah para manusia yang diamanahkan di sana. Mulai dari pemimpin tertinggi hingga yang paling rendah. Merekalah yang sangat bisa memperbaiki. Seperti yang dikatakan Listyo di awal tulisan ini.
Persoalannya, apakah semua itu sekedar retorika dan mulut manis semata, atau dari ketulusan lubuk hati yang terdalam? Hanya Tuhan, setan, dan diri mereka masing-masing yang mengetahui.
Fakta di atas, sudah berbicara terlalu banyak, bukan?
Mardhani, Jilal
25 Agustus 2020
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.