Ceknricek.com -- Tahun 1979, saya masuk kuliah di Institut Pertanian Bogor. Di IPB pada tingkat pertama, semua mahasiswa harus masuk Tim Persiapan Bersama atau disebut TPB. Semua mahasiswa baru kuliah bersama sebelum setahun kemudian masuk ke Fakultas atau Jurusan.
Saya masuk Kelompok V pada saat TPB. Ada anak asal Pasuruan yang sama-sama masuk Kelompok V. Orang itu kemudian mengenalkan diri namanya: Toriq Hadad.
Saya menjadi bersahabat karena punya hobi sama, yaitu sepak bola. Toriq sering makan di rumah saya di Bogor. Sesudah makan yang kita bahas, ya sepak bola, bukan urusan sekolah.
Toriq memang hobi sepak bola. Ia selalu bangga ada anak Pasuruan yang masuk tim nasional dan sangat terkenal yaitu Risdianto. Tidak habis dia bercerita tentang Risdianto.Kampus IPB ketika itu masih di Baranangsiang. Lapangan di depan Rektorat itu sangat luas dan rumputnya hijau.
Toriq selalu ngiler melihat mulusnya lapangan di depan Rektorat.
Satu saat karena tidak tahan, sepulang kuliah kita bermain bola di lapangan yang mulus itu. Akhirnya banyak teman-teman mahasiswa lain yang ikut bermain. Karena lapangan dan rumput itu sangat “sakral”, karuan saja Pak Andi Hakim Nasoetion pun marah. Kita pun dikejar oleh Satpam dan bubarlah permainan.
Setelah itu kita berpisah karena kesibukan kuliah masing-masing. Saya baru bertemu lagi Toriq ketika ia bekerja di Tempo dan saya di Kompas.Ternyata nasib menentukan sama. Dia pegang liputan olahraga dan saya pun menjadi wartawan olahraga. Jadilah kita sering bersama di Senayan.
Sekali liputan bersama di Piala Dunia 1994. Tetapi Toriq harus pulang lebih awal karena Tempo dibreidel dan tidak mungkin melanjutkan liputan.
Hanya sesekali kemudian kita sering bertemu dan selalu yang dia ingat masa-masa 1979 di Bogor. Saya kaget, Toriq yang olahragawan ternyata punya penyakit jantung. Apalagi kemudian sampai diby-pass di Melbourne.Setelah itu saya selalu mengingatkan untuk berhati-hati. “By-pass bukan jaminan jantungnya pulih seperti sebelum kena serangan lho Riq,” selalu saya ingatkan Toriq.
Terakhir kita jalan bersama mengikuti Tokyo Motor Show beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19. Karena covid, komunikasi di antara kita hanya dilakukan melalui WA.
Mertua Toriq dulu pernah menjadi wartawan Kompas. Jus Somadipradja malah lebih sering komunikasi dengan Saya. Bahkan satu saat menyuruh anak lelakinya untuk mengirim sesuatu ke rumah saya di Buncit.
Saya sempat mengabari Toriq kalau saya bertemu adik iparnya.
“Adik ipar saya main ke rumah loe Tom,” kata Toriq ketika itu.
Lama tidak berkibar, beberapa hari lalu, Wahyu Muryadi mengabari kalau Toriq dirawat lagi karena jantungnya. Pagi ingin kabarnya lebih menyedihkan, Toriq sudah berpulang.
Selamat jalan Riq. Tunggu di sana, nanti kita main bola lagi. Pasti lapangannya lebih mulus dari Baranangsiang.