Catatan untuk Pemerintah #4 (selesai)
Ceknricek.com--Ini merupakan kelanjutan sekaligus penutup dari 3 tulisan sebelumnya, yang memuat catatan saya pribadi kepada pemerintah. Seluruh catatan tersebut saya tuangkan berdasar fakta-fakta lapangan yang dialami dan disaksikan sendiri.
Jika sejak judulnya saya menujukan khusus kepada pemerintah, lebih karena hal-hal yang digaris bawahi, memang terkait dengan kewenangan kekuasaan dan tanggung jawab yang dimiliki lembaga eksekutif itu. Walau tentu saja saya tak bermaksud menafikan peran dan inisiatif yang dapat dan perlu dilakukan berbagai pihak lain. Seperti misalnya para pengelola rumah sakit dan fasilitas kesehatan, tenaga medis, serta masyarakat luas pada umumnya. Sebab, penanggulangan musibah ini, memang membutuhkan kerjasama dan dukungan kita semua.
Namun demikian, kita tentunya tak bisa menampik jika kemampuan, kepiawaian, serta kesungguhan pemerintah dalam mengorkestrasi kewenangan dan tanggung jawabnya, sebagai hal yang saat ini paling strategis dan mutlak dibutuhkan.
+++
Pada ketiga catatan yang lalu, telah diuraikan betapa kedodorannya instansi-instansi yang berwenang -- termasuk satuan-satuan tugas khusus yang dibentuk -- menyiapkan hingga menyelenggarakan hal-hal mendasar yang dibutuhkan.
Padahal, di negara kita, secara resmi pandemi ini telah berlangsung selama lebih dari 10 bulan.
Kita tentu dapat memaklumi jika sejak awal, Indonesia kewalahan memenuhi standar kebutuhan test yang perlu dilakukan. Sebab, untuk mengadakannya memang bukan hal yang mudah. Tak semata tentang perlengkapan laboratoriumnya. Tapi juga tenaga kerja pendukung yang tentunya membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus. Belum lagi faktor wilayah geografi kita. Sebab Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga tantangan dan persoalannya menjadi semakin rumit dan kompleks.
Begitu pula fasilitas perawatan (treatment) yang perlu disediakan. Baik untuk mengisolasi yang tertular agar tak memperluas penyebarannya. Maupun untuk penanganan menyembuhkan mereka.
Bayangan kondisi darurat seperti yang sedang kita hadapi saat ini, yakni ketika fasilitas berbagai rumah sakit di sejumlah daerah kewalahan -- bahkan tak mampu -- menampung pasien yang membutuhkan, sesungguhnya telah menjadi kekhawatiran sejak awal mula pandemi.
Kemampuan memenuhi kedua hal itu, test dan treatment, merupakan salah satu alasan yang mengawali perdebatan tentang prioritas kebijakan yang dilakukan. Singkatnya, antara menyelamatkan perekonomian yang kekacau-balauannya telah menjadi keniscayaan. Dengan upaya menyelamatkan masyarakat dari kemungkinan penularan yang tak terkendali.
Kita memang tak pernah menggunakan kebijakan karantina wilayah yang sudah memiliki undang-undang sebagai dasar hukumnya. Tapi justru mengembangkan pendekatan baru yang disebut PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dengan tata cara yang sentralistis. Padahal, sifat dan karakter penyebaran virus yang sudah umum dimaklumi, membutuhkan langkah-langkah penanggulangan yang cepat, taktis, juga strategis. Sesuai dengan kondisi dan situasi yang memang berbeda-beda antara satu daerah dengan lainnya.
Dengan kata lain, desentralisasi kewenangan dan tanggung-jawab penanggulangan, sesungguhnya sangat layak dipertimbangkan sebagai dasar kebijakan strategis yang digunakan. Tapi karena sejumlah faktor yang sesungguhnya berada di luar konteks tuntutan penanggulangan pandemi itu sendiri, kita justru memilih jalan lain. Yakni PSBB yang cenderung terpusat, lamban, dan terbata-bata.
Faktanya, peningkatan jumlah kasus dan angka kematian di seluruh wilayah Indonesia, dari hari ke hari, memang cenderung terus melonjak.
+++
Hal yang patut disayangkan, pemerintah Indonesia nyatanya juga tak mampu mengembangkan sistem penelusuran memadai. Salah satu upaya strategis dan dapat diandalkan untuk mengurangi, atau setidaknya mencegah penularan yang lebih luas.
Jika mempertimbangkan rentang waktu lebih dari 10 bulan yang telah dilalui, secara teknis ketidak mampuan itu sesungguhnya sangat tak pantas. Karena pada tingkat kerumitan paling sederhana pun -- sebagaimana tergambar dari pengalaman langsung yang telah dijabarkan pada ketiga tulisan sebelumnya -- nyatanya mereka belum mampu.
Sumberdaya yang dimiliki Indonesia saat ini -- mulai dari teknologi, infrastruktur, hingga manusia -- sesungguhnya sudah memadai.
Walaupun mungkin belum pada kondisi yang ideal.
Tapi untuk tingkat kerumitan paling sederhana yang disebutkan di atas tadi, sumberdaya bangsa kita sesungguhnya sangat mampu melakukan.
Bukankah perkembangan pemanfaatan kemajuan teknologi pada industri perbankan, seperti BCA dan Mandiri, atau perusahaan rintisan yang menggunakan alas teknologi seperti Gojek, Bukalapak, Tokopedia, dan lain-lain. sudah lebih dari cukup untuk membuktikan anggapan tadi?
+++
Semua itu sangat layak menyebabkan kita semua melakukan introspeksi diri. Tentang semangat bergotong royong dan bahu membahu ketika harus menghadapi persoalan bangsa yang menjadi kepentingan kita bersama. Seperti dalam hal menghadapi pandemi ini.
Meski prihatin, pada akhirnya saya dapat memaklumi, jika kedua rumah sakit yang saya kunjungi saat mencurigai diri tertular virus corona tanggal 22 Desember 2020 lalu, tak mampu memberikan tingkat pelayanan seperti yang saya bayangkan. Yakni yang terkait pada upaya bahu membahu menanggulangi pandemi ini.
Tentu perlu pencermatan yang lebih menyeluruh untuk menyimpulkan akar permasalahannya. Tapi beberapa hipotesa layak diketengahkan. Seperti misalnya soal pemahaman mendasar tentang tugas pokok dan fungsi sejati pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Hal yang implikasinya terhadap kebersamaan dan semangat bergotong-royong saat menghadapi kepentingan bangsa, bisa berbanding terbalik. Yakni ketika pandangan dan keyakinan yang berkembang, melihatnya sebagai sebentuk kekuasaan yang feodalistik.
+++
Sehari setelah acara syukuran sederhana untuk memperingati lahirnya Granat tanggal 28 Oktober tahun lalu, saya mendapat kabar jika beberapa rekan sejawat tertular virus corona. Beberapa hari kemudian, salah seorang di antara sahabat-sahabat kami itu, meninggal dunia.
Saya bersyukur, sebagian besar dari sedikit undangan yang hadir malam itu, tak tertular. Termasuk saya sendiri, tuan rumah Henry Yosodiningrat yang juga ketua umum organisasi kami, rekan-rekan pendiri lain (Hana Wijaya dan Tony Sunanto), Ketua BNN (Heru Winarko), dan beberapa pengurus DPP (di antaranya Alex Sukamto, bung Robby, Dian Pisesha).
Tapi ketika kabar tersebut diterima, saya langsung teringat, pesan yang beredar di grup whatsapp organisasi itu, sehari sebelumnya. Sebagian rekan-rekan yang dinyatakan telah tertular, baru menanda tangani nota kesepahaman (MoU) dengan Garuda Indonesia. Saya memang tak ikut menghadirinya.
Saya kebetulan berteman baik dengan pucuk pimpinan maskapai Garuda Indonesia. Maka saya mengirimkan pesan kepada ybs,
"Aya, Togar Sianipar, GRANAT, akhir minggu kemarin positif Covid. Sebelum kami syukuran, gua tau dia, HY, dan beberapa kawan tanda tangan MoU dg lu/Garuda. Saat acara sukuran, pak Togar sudah tidak fit. Gua ga tahu, selama di Garuda kalian bersentuhan atau tidak. Jika ragu, swab test lah. Selain pak Togar, ada beberapa teman lain yang positif. Kelihatannya mereka yg mengadakan webinar sebelum MoU Garuda."
+++
Saya lakukan hal itu agar pucuk pimpinan Garuda Indonesia sekarang yang kebetulan teman sekelas ketika tahun pertama kuliah itu, mawas terhadap dirinya.
Begitu pula yang saya harapkan, kepada setiap orang yang melakukan kontak dengan saya. Sejak beberapa hari sebelum merasakan gejala pertama ketika tertular kemarin. Jika saya menulis serinci mungkin catatan harian kegiatan yang dilakukan, saat menyampaikan pemberitahuan terbuka berjudul 'Maaf Saya Tertular', maksudnya agar yang pernah berhubungan dengan saya, mengetahuinya dan berhati-hati.
Tapi saya pun sebetulnya berharap, rekan-rekan yang hari ini memiliki kewenangan di lembaga-lembaga terkait, melakukan hal serupa. Bahkan jauh lebih luas.
+++
Saya terbiasa memperhatikan hal-hal kecil untuk memastikan kesempurnaan suatu sistem. Apalagi jika terkait dengan kewenangan yang sedang diamanahkan.
Sehari setelah catatan pertama kemarin dipublikasikan, pengelola RS Puri Cinere yang kemarin saya kunjungi, menghubungi. Mereka menyampaikan ikhtiarnya untuk menyempurnakan sistem pelayanan. Dilandasi semangat dan keinginan agar hal yang saya alami tak berulang. Meski saya telah menekankan, bahwa catatan mengenai pelayanan yang dialami, tak sepenuhnya tanggung jawab mereka. Di sana ada tugas dan kewenangan pemerintah yang tidak dilakukan semestinya. Yakni terkait dengan kebijakan dan prosedur yang menjadi acuan rumahsakit-rumahsakit kita. Tentang protokol yang perlu diterapkan ketika menghadapi pasien terduga covid-19. Juga agar proses bahu-membahu dengan layanan kesehatan lain yang terkait, dapat berlangsung.
Saya kagum dan sangat memghormati pemikiran yang mereka sampaikan. Untuk mengupayakannya meski kebijakan dan prosedur dari lembaga yang berwenang belum mencakup hingga ke sana.
Begitu pula harapan saya terhadap pengelolaan penerbangan yang menggunakan tagline kampanye, 'because you are matter', tersebut.
Bukankah Citilink adalah bagian dari keluarga besar Garuda Indonesia?
Jika e-HAC belum mampu memberi tahu penumpang yang duduk di sekitar saya untuk mawas diri -- karena ternyata positif virus corona -- bagaimana kira-kira mereka akan mengejewantahkan motto yang sungguh keren itu?
"The devil is in the details. But small is beautiful", kata 'tuanguru' EF Schumacher.