“Jika kau menolak damai, lalu apa yang kau kejar?
Negeri yang sunyi tanpa tetangga?
Atau hanya puing dan jenazah tanpa rumah?”
Pada pertengahan tahun 2025, dunia kembali terguncang. Ledakan membelah langit Teheran. Rudal siang bolong menghantam Tel Aviv. Alarm perang kembali meraung di Timur Tengah. Namun bukan dentuman yang paling mengguncang nurani, melainkan sebuah kalimat damai yang lahir dari podium diplomatik.
Di New York, dalam sidang Majelis Umum PBB, Ayman Safadi, Menteri Luar Negeri Yordania, berbicara mewakili 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Di hadapan media dunia, ia menyampaikan tawaran yang mengejutkan:
“Kami—57 negara Arab dan Muslim—siap menjamin keamanan Israel. Saat ini juga.
Dengan satu syarat: Israel mengakhiri pendudukan dan mengizinkan lahirnya negara Palestina merdeka dalam batas pra-1967.”
Itu bukan sekadar diplomasi. Itu adalah kontrak masa depan. Sebuah undangan untuk keluar dari siklus perang yang berulang.
Namun justru saat harapan itu muncul, dua negara paling keras kepala: Israel dan Iran, lebih memilih tembakan daripada perundingan. Mengapa?
-000-
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menjawab tawaran itu dengan satu narasi klasik yang telah ia ulang sejak awal kariernya:
“Israel dikelilingi oleh mereka yang ingin menghancurkannya.”
Dalam benaknya, sejarah adalah pisau di tenggorokan. Dari Holocaust hingga Perang 1948, dari intifadah hingga rudal Hizbullah, trauma kolektif Israel menjelma paranoia permanen.
Namun Netanyahu lupa satu hal penting: Sejarah juga bisa menjadi penjara jika kita tak pernah membuka jendela masa depan.
Alih-alih membangun dua negara berdampingan, pemerintahannya terus memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat, mencaplok Yerusalem Timur, dan mempertahankan pengepungan atas Gaza.
Israel ingin Palestina lenyap dari peta, tanpa pernah menyatakannya secara resmi. Tapi jika bukan dua negara, maka apa?
Ayman Safadi pun bertanya di hadapan jurnalis:
“Jika ia menolak dua negara, apa sebenarnya rencana akhir Israel—selain perang, perang, dan perang?”
Pertanyaan itu menggema lebih keras dari sirene peringatan di langit Tel Aviv.
-000-
Di sisi lain medan perang, Iran melihat solusi dua negara sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina. Bagi mereka, Israel bukan sekadar negara musuh—melainkan entitas haram yang tak seharusnya ada.
Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran, dengan tegas menolak solusi damai yang membagi tanah suci:
"Solusi dua negara adalah penipuan. Palestina adalah satu, dari sungai hingga laut.”
Narasi Iran bukan tentang dua negara atau satu negara, melainkan penghapusan total negara Israel. Dukungan pada Hamas, Hizbullah, dan milisi-milisi perlawanan adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk melemahkan entitas Zionis secara bertahap.
Teheran bahkan tak segan mengulang secara terbuka:
“Israel adalah tumor kanker yang harus dimusnahkan.”
Namun kini, setelah dihantam Israel secara terbuka, ketika jaringan nuklirnya lumpuh, ketika rakyatnya bersembunyi dalam stasiun metro, akankah Iran tetap berdiri di garis keras? Atau ia akan memilih diam, membiarkan dua negara lahir asal tidak mengakuinya secara resmi?
-000-
Apa Itu Batas 1967?
Untuk memahami peta konflik ini, kita harus menoleh ke masa sebelum Perang Enam Hari tahun 1967.
Saat itu:
- Tepi Barat dan Yerusalem Timur berada di bawah kekuasaan Yordania.
- Jalur Gaza adalah wilayah Mesir.
- Israel belum menduduki wilayah-wilayah tersebut.
Solusi dua negara berarti:
Israel kembali ke batas-batas itu. Palestina berdiri merdeka di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.
Usulan ini telah didukung oleh:
- PBB
- Uni Eropa
- Liga Arab
- Pemerintah AS (hingga pemerintahan Biden)
- Dan kini: 57 negara Muslim yang menawarkan jaminan keamanan kepada Israel
Semua negara siap mengakui dan hidup berdampingan—kecuali satu: Iran. Ironisnya, tawaran damai datang dari dunia yang dulunya menolak eksistensi Israel. Dan Israel kini justru ragu menerimanya.
-000-
Mengapa Israel Menyerang Iran?
Bagi Israel, Iran adalah ancaman eksistensial yang tak bisa ditoleransi:
- Program nuklir Iran dilihat sebagai ancaman nyata akan senjata pemusnah massal.
- Dukungan Teheran terhadap Hizbullah dan Hamas dianggap bom waktu yang terus berdetak.
- Retorika pemusnahan Israel adalah ancaman ideologis yang tidak bisa dinegosiasikan.
Israel tidak menunggu ancaman itu tumbuh menjadi monster. Ia menyerang lebih dulu. Tapi serangan ini justru membuka pertanyaan yang lebih dalam:
Jika Israel menolak dua negara, dan Iran menolak keberadaan Israel, sampai kapan dunia akan hidup dalam logika kehancuran?
Namun di balik retorika perang, ada ruang diplomasi yang belum sepenuhnya dieksplorasi: mekanisme transisi menuju dua negara. PBB bisa membentuk pasukan penjaga perdamaian multinasional untuk mengawasi demiliterisasi bertahap di Gaza dan Tepi Barat. Sementara Qatar atau Mesir menjadi mediator pembagian kedaulatan Yerusalem.
Data Bank Dunia menunjukkan bahwa biaya pendudukan Israel mencapai 15% APBN-nya—angka yang bisa dialihkan untuk jaminan sosial jika perdamaian tercapai. Dengan kerangka seperti ini, solusi dua negara bukan lagi sekadar wacana, tapi peta jalan konkret yang mengubah kelelahan perang menjadi energi perdamaian.
-000-
Apakah Perang Ini Akan Mengubah Segalanya? Mungkin. Perang bukan jaminan kedamaian. Tapi perang bisa membuat kelelahan. Ketika mayat menumpuk, ketika ekonomi runtuh, bahkan ideologi pun bisa retak. Iran bisa saja tak ikut menandatangani solusi dua negara, tapi mungkin juga tak lagi cukup kuat untuk menggagalkannya.
Israel? Jika tekanan global—terutama dari AS—menguat, dan jika janji perlindungan dari 57 negara Muslim tetap terbuka, mungkin ia akan bertanya:
“Apa sebenarnya yang kita cari? Tembok yang lebih tinggi, atau tetangga yang aman?”
-000-
Dunia kini berdiri di persimpangan sejarah. Jalan pertama: perang tanpa henti, yang hanya meninggalkan puing dan dendam. Jalan kedua: solusi dua negara, yang membuka ruang hidup bagi dua bangsa—yang sama-sama pernah jadi korban sejarah.
Pilihan ini tak mudah. Tapi dalam sunyi sejarah, mungkin sudah waktunya kita bertanya:
“Berapa banyak lagi yang harus mati, sampai kita berani hidup berdampingan?”
Jakarta, 18 Juni 2025
Referensi:
1.Ayman Safadi – Pernyataan 57 Negara Muslim Jamin Keamanan Israel jika Menerima Solusi Dua Negara: https://www.newarab.com/news/israeli-threats-against-jordan-fm-safadi-proposes-peace-deal?utm_source=chatgpt.com
2.Ali Khamenei – Iran Menolak Solusi Dua Negara, Serukan Satu Negara Palestina dari Sungai hingga Laut: Iran lauds arms supply to Palestinians against 'tumor' Israel
Editor: Ariful Hakim