Yang Remuk Gara-gara Tarif Pesawat Mahal | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Illustrator: Kiki/Ceknricek.com

Yang Remuk Gara-gara Tarif Pesawat Mahal

Ceknricek.com -- Tarif tiket pesawat mahal menggerus bisnis yang terkait pariwisata. Bisnis hotel lesu darah. Begitu juga bisnis agen perjalanan khususnya biro perjalanan daerah. Penurunan okupansi industri hotel yang sangat drastis menyebabkan hotel-hotel 'gulung tikar'. 

"Hampir di semua daerah ada hotel-hotel yang gulung tikar. Ini daerahnya yang tidak punya destinasi wisata," tutur Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, Rabu (24/4).

Okupansi hotel menurun drastis pada periode Januari-April 2019 sejalan dengan melambungnya harga tiket pesawat.  Biasanya, dalam periode yang merupakan periode musim sepi wisatawan (low season) itu hanya terjadi penurunan okupansi hotel sebesar 10%. Namun, pada low season kali ini penurunan okupansi hotel meningkat dua kali lipat. “Pada Januari-April okupansi turun antara 20-40%,” ujarnya.

Untuk hotel berbintang, Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani, bilang sawi mawon. Mahalnya harga tiket pesawat sangat menyakitkan bagi bisnis hotel berbintang. Soalnya bisnis penginapan berbintang juga terganggu dengan hadirnya akomodasi lain, seperti homestay, apartemen, vila, maupun indekos eksklusif. Sudah begitu, kondisi bisnis hotel juga diwarnai oversupply kamar. Tiap tahun, ada penambahan kamar hotel baru.

Over Suplai Kamar

Menurut Hariyadi, tahun ini akan ada penambahan kamar hotel sebanyak 25.000 unit di seluruh Indonesia. Sementara, tahun lalu 28.000 kamar. Total kamar hotel bintang yang ada di Indonesia kini sudah menembus 325.000 unit. “Sebagian besar kamar baru berada di DKI Jakarta, Jawa, dan Bali,” jelasnya.

Khusus Bali, Colliers International mencatat, tahun ini Pulau Dewata akan mendapat tambahan 1.764 unit kamar hotel baru dari berbagai bintang. Hotel itu akan rampung pada kuartal III-2019.

Sementara, pada kuartal I-2019 ada dua hotel bintang lima yang sudah mulai beroperasi, yaitu Hyatt Regency Bali di Sanur sebanyak 363 kamar dan The Apurva Kempinski Bali di Nusa Dua sebanyak 475 kamar. Tambahan pasok dari kuartal pertama tahun ini membuat total pasok kamar hotel yang ada di Bali menjadi sebanyak 59.285 unit kamar.

Ferry Salanto, Senior Associate Director Collierss International Indonesia, menambahkan, berdasarkan data dari STR Global--perusahaan yang bergerak dalam bidang riset perhotelan--tingkat okupansi di Jakarta pada Februari 2019 hanya sebesar 57,8%. Angka tersebut turun jika dibandingkan pada Februari 2018 yang mencapai 59,2%.

Di Bali, sepanjang Februari 2019 tingkat okupansi hotel turun dari 67,2%, menjadi 64%. “Tiket (penerbangan) domestik itu memengaruhi wisatawan domestik karena bagaimana pun wisatawan domestik menjadi penggerak utama wisata di Bali,” simpul Ferry.

Harga tiket dari Jakarta ke Bali yang awalnya berkisar antara Rp450.000–575.000 kini naik hingga menyentuh Rp1,2–1,5 juta. Harga tersebut belum termasuk biaya bagasi.

Hal serupa juga terjadi di Makassar. Ketua BPD PHRI Sulawesi Selatan--yang sekaligus General Manager (GM) Hotel Claro Makassar--Anggiat Sinaga mengungkap rerata okupansi hotel di Makassar pada Januari 2019 hanya 37%, turun dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu yang masih bisa tembus 48%. Penyebabnya sama: harga tiket pesawat Jakarta ke Makassar yang kelewat mahal.

Sementara di Gorontalo, Ketua PHRI provinsi itu Hidayat Mopili mengatakan, penurunan okupansi hotel mulai sangat terasa pada 1,5 bulan pertama tahun ini. Di daerahnya, penurunan okupansi pada periode tersebut mencapai 30–40% dari okupansi pada akhir tahun lalu.

Penurunan okupansi hunian kamar hotel diprediksi akan terus terjadi hingga Kuartal II–2019. Soalnya, pada periode tersebut masyarakat lebih dominan menggunakan uangnya untuk keperluan Ramadan, Idulfitri, hingga tahun ajaran baru sekolah.

Pengaruhi UMKM

Hariyadi yang juga Presiden Direktur Hotel Sahid Jaya International Tbk itu menjelaskan, problem tiket pesawat yang mahal dan kebijakan bagasi berbayar tak hanya berdampak pada sektor perhotelan. Para penjual oleh-oleh dan pelaku industri ekonomi kreatif lainnya juga turut terpukul.

Pelancong yang kerap kali membawa buah tangan seusai mereka dinas atau berplesir kali ini berpikir dua kali untuk membawa dan menaruhnya di bagasi pesawat. “Ini (akan memengaruhi) pertumbuhan ekonomi daerah. Jadi, masalah ini sangat serius. Ketika maskapai menaikkan tiket pesawat pada awal tahun, dampaknya sangat terasa di mana-mana,” katanya.

Ketua PHRI DKI Jakarta Krishandi menambahkan, hotel-hotel di Ibu Kota babak belur akibat tiket pesawat yang mahal dan bagasi berbayar. “Bintang lima punya tamu yang pasti tiap pekan datang. Namun, tamu-tamu itu mulai mengurangi kedatangan karena tiket pesawat mahal. Ini harus segera dicarikan solusinya,” ucapnya.

Menurutnya, masyarakat saat ini lebih memilih berwisata secara ekonomis dengan memanfaatkan berbagai promo yang diberikan guna mengompensasi mahalnya harga tiket pesawat. Akibatnya, minat mereka untuk menginap di hotel berbintang pun turun. Anggiat juga menyebut hal yang sama. 

“Ini daerah dibuat susah gerak. UMKM juga susah gerak karena wisatawan dari Makassar juga bawa oleh-oleh. Tentu sekarang mereka mikir untuk bawa oleh-oleh karena pasti kena (tarif) bagasi dan bayar Rp600.000,” ujarnya.

Bisnis agen wisata tak kalah menderita. Pendiri dan CEO TX Travel, Anton Thedy, mengatakan penjualan paket wisata anjlok sebesar 20-40% setelah harga jual paket wisata naik sekitar 40-60% menyusul kenaikan harga tiket pesawat. “Kenaikan tiket pesawat justru terjadi di rute-rute domestik. Jadi, hanya paket-paket wisata domestik yang terkena imbas,” katanya.

Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Titus Indrajaya mengungkapkan beberapa biro perjalanan daerah mulai gulung tikar, meski ia belum dapat memastikan angkanya. "Saya baru dari Kalimantan Timur, mereka rekomendasikan untuk penutupan. Kalau travel agent tutup ada lah," ujarnya. 

Kondisi ini disebabkan mayoritas bisnis utama biro perjalanan adalah penjualan tiket termasuk tiket pesawat. Dari total 7 ribu anggota Asita, sebanyak 60% atau 4.200 menjual tiket. 

Ia menambahkan biro perjalanan harus memutar otak untuk keberlangsungan bisnisnya. Beberapa diantara mereka memutuskan untuk merambah lini bisnis lainnya. Bahkan, sejak Januari 2019, Asita telah menerima pengajuan pengunduran diri dari keanggota Asita dari sekitar 5% atau 350 biro perjalanan.

Menteri Pariwisata Arief Yahya sebelumnya juga menyampaikan keluhan serupa. Ia menyatakan kenaikan harga tiket pesawat domestik membuat kunjungan wisatawan domestik pada periode Januari-Maret 2019 turun rata-rata 30%.

Ia menyebut para pemilik hotel mengencangkan ikat pinggang dan memutar otak agar bisnis mereka tetap hidup. PHRI mengklaim, karut marut tarif tiket dan bagasi maskapai membuat tingkat hunian kamar hotel bintang melorot 15%.

Ketua Umum CEO Business Forum (CBF) Indonesia, Jahja B Soenarjo, mencontohkan banyak pengusaha di sektor pariwisata yang mengandalkan kunjungan wisatawan lokal harus mengalami penurunan omzet karena konsumen memutuskan untuk menunda liburan. “Saat ini, biaya berwisata melonjak dan orang akan berpikir dua sampai tiga kali bila ingin berlibur jauh-jauh,” katanya.

Menurut dia, harga tiket pesawat ke Indonesia timur lebih mahal dari Jakarta-Tokyo. Padahal, CBF Indonesia kini tengah berupaya menggarap pertumbuhan ekonomi di kawasan Timur Indonesia.

Beberapa pemain waralaba anggota CBF Indonesia sedang mengembangkan kawasan timur seperti jaringan kuliner Bakmi Naga yang melakukan ekspansi hingga ke Merauke. Kemudian Royal Garden Spa juga membuka gerai ke-53 di Maluku Utara. “Mereka sedang berekspansi menggarap peluang hingga kawasan Timur terganjal oleh biaya transportasi. Survei saja sudah mahal,” ujarnya.

Memilih Plesir ke Luar Negeri

Lantaran tarif maskapai penerbangan Indonesia yang mahal itu pula, wisatawan domestik memilih plesir ke luar negeri. Soalnya, harga tiket penerbangan ke luar negeri lebih murah jika dibandingkan dengan tiket penerbangan domestik. 

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, jumlah kunjungan wisatawan domestik merosot hingga 30% sejak naiknya harga tiket pesawat. Boleh jadi, ini karena wisatawan domestik lebih memilih untuk melakukan perjalanan wisata ke luar negeri dibanding harus merogoh kantong lebih dalam untuk berwisata di negara sendiri.

Hanya saja, anggota Ombudsman RI sekaligus pengamat penerbangan Alvin Lie menganggap tidak tepat bila harga tiket pesawat disalahkan sebagai penyebab anjloknya kunjungan wisatawan. Survey Bandara Award 2018 pada 105 bandara di Indonesia menyebutkan persentase penumpang yang menggunakan pesawat untuk wisata hanya 10%. Tujuan menggunakan pesawat didominasi oleh perjalanan dinas (42%), kemudian mengunjungi keluarga (32%), bisnis (12%) dan lainnya (4%). “Penumpang pesawat bertujuan wisata sangat kecil porsinya,” ujarnya.

Namun, data BPS menyebut sektor pariwisata terpengaruh oleh harga tiket pesawat. Pada Januari–Februari 2019, BPS mencatat jumlah penumpang pesawat domestik turun sebanyak 15,38% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Bhima Yudhistira, juga mengatakan sebelum adanya aturan bagasi berbayar, rerata okupansi hotel berbintang satu per Desember 2018 hanya 44% yang artinya 56% kamar tidak terisi. Adapun, okupansi hotel bintang lima menghadapi perlambatan efek tertahannya konsumsi masyarakat menengah ke atas.

Untuk itu, menurut Bhima, pemerintah harus mempunyai solusi guna mengatasi permasalahan tarif tiket yang mahal dan bagasi berbayar. Terlebih, sepanjang tahun lalu, pemerintah gagal merealisasikan 17 juta wisman ke Indonesia. “Wisatawan domestik ini sangat sensitif terhadap kenaikan harga meski sedikit. Kalau harga (tiket pesawat) naik, minat mereka untuk bepergian akan turun,” katanya.



Berita Terkait