Melindungi Organisasi dan Anggota
Ceknricek.com-- Sesuai konstitusi PWI, DK dalam cabang “yudikatif” memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi. Dan hanya DK saja yang memiliki kewenangan ini. Tiada satupun lembaga lain, baik di dalam internal organisasi, apalagi di luar organisasi. Kenapa begitu?
Ketentuan ini lahir bukan untuk membiarkan DK lahir menjadi “super bodi,” melainkan justru untuk menjaga ketertiban organisasi sekaligus melindungi organisasi.
Kewenangan menjatuhkan sanksi hanya ada pada DK, ke dalam menjadi jelas, hanya DK yang memiliki dan berhak menjatuhkan sanksi. Dengan begitu ada kepastian hukum, dan ketertiban: hanya DK yang boleh menjatuhkan sanksi. Hanya DK yang memiliki kewenangan yudisial. Di luar DK tidak punya otoritas lain yang boleh menjatuhkan sanksi.
Kejelasan ini membuat tak akan ada adu atau perebutan kewenangan dalam menjatuhkan sanksi. Tak ada multi tafsir. Hasilnya ada tertib dan efektifitas organisasi.
Foto: Istimewa
Keluar ketentuan ini “mengunci” adanya kemungkinan pihak luar organisasi yang boleh menilai warga organisasi telah melanggar ketentuan-ketentuan di PWI. Ini melindungi organisasi dan anggota dari kemungkinan campur tangan pihak luar manapun. Melindungi PWI dari intervensi pihak luar mana pun untuk menilai, apalagi menjatuhkan sanksi kepada anggota organisasi.
Walhasil pihak manapun yang ingin mempergunakan cakarnya menghukum warga organisasi, sudah ditutup. Disinilah tujuan makna perlindungan dari adanya ketetapan DK satu-satunya yang berhak menjatuhkan sanksi
Tegasnya, ketentuan yang mengatur hanya DK yang berhak menilai dan menjatuhkan sanksi tak lain untuk melindungi organisasi dan warganya dari penilaian pihak manapun yang mungkin dapat menghilangkan independensi organisasi.
Ruang Lingkup Sanksi
Persoalan selanjutnya, siapakah subjek yang dapat terkena sanksi DK? PWI merupakan organisasi wartawan. Anggota dan pengurusnya haruslah wartawan. Mereka yang bukan lagi wartawan tidak dapat menjadi anggota dan pengurus PWI, kecuali ditempatkan sebagai “anggota kehormatan” sebagai simbol kehormatan saja, tetapi tak memiliki kewenangan apapun.
Berangkat dari sana, subjek yang dapat terkena wewenang DK adalah semua yang berprofesi wartawan yang tergabung dalam organisasi PWI. Dalam hal ini, tidak dibedakan antara pemangku profesi wartawan yang menjadi anggota dan pemangku profesi wartawan yang menjabat sebagai pengurus. Baik anggota maupun pengurus sama-sama profesinya wartawan. Jadi, tak ada pembedaan.
Lebih dari itu, tidak tanggung-tanggung, sanksi pun dapat dijatuhkan pula kepada ketua DK sendiri sekalipun.
Kalau ada pengaduan atau usulan untuk memeriksa ketua DK, maka DK sebagai lembaga harus patuh memeriksa ketua DK sendiri.
Foto: Istimewa
Dalam terjadi hal semacam ini, ketua DK tidak boleh ikut memeriksa kasusnya sendiri. Dengan kata lain, ketua DK yang diperiksa wajib non aktif dalam kasus yang dialaminya.
Seandainya dia tidak terbukti melakukan yang dilaporkan, dia bebas kembali sebagai ketua DK yang dapat menjalankan kewenangannya. Sebaliknya jika dia dijatuhkan sanksi, dia harus mengundurkan diri dari posisinya. Selain sudah tidak kredibel lagi, juga telah mengkhianati amanah kongres.
Hal yang sama dapat terjadi pada sekretaris DK. Juga terhadap ketua umum, sekjen dan ketua bidang. Pada semuanya.Tentu dalam menjatuhkan keputusannya DK perlu sangat berhati-hati, terutama jika menyangkut para petinggi organisasi. Harus ada wisdom dalam mengambil keputusan dan mempertimbangkan kemungkinan “menggoncangkan” keajegan ,stabilitas serta baik buruknya PWI ke depan.
Menjaga Marwah Organisasi
Sebagai organisasi wartawan, PWI sudah selangkah lebih maju dibanding organisasi wartawan lainnya. PWI sudah memiliki KPW. Tak ada satupun organisasi wartawan Indonesia yang mempunyai KPW selain PWI!
KPW mengatur agar wartawan menghormati nilai-nilai sosial dan norma-norma hukum yang ada di masyarakat. PD-PRT lebih mengatur soal organisasi PWI. Sedangkan KEJ ruang lingkupnya terbatas pada mekanisme dan terutama pada karya-karya jurnalistik. Jika ada perilaku wartawan yang menyimpang, belum diatur disana Nah KPW inilah yang mengadopsinya.
Misal ada wartawan melakukan pemerkosaan. Tak ada aturannya di PD-PRT, atau KEJ. Padahal jelas itu perbuatan yang sangat tercela. Disinilah KPW berperan. Tindakan seperti itu diatur dan dikenakan sanksi berdasarkan KPW.
KPW menjaga harkat dan martabat profesi wartawan, khususnya yang tergabung dalam PWI. KPW merupakan perwujudan dalam menggiring dan mengawasi perilaku wartawan agar tetap menjaga harkat dan martabat profesi wartawan tersebut. Supaya para wartawan senantiasa ingat tak boleh melakukan tindakan-tindakan tercela.
Walaupun perilakunya mungkin tidak berhubungan langsung dengan profesi wartawan, namun tetap tak dapat dilepaskan diri pemangku profesinya. Seorang wartawan yang melakukan pembunuhan, mungkin berada di luar profesinya sebagai wartawan, tapi tetap menyebabkan profesi wartawan terusik, bahkan mungkin ternoda. Oleh sebab itu perilaku semacam ini perlu diatur. KPW menampung soal-soal semacam ini.
Tentu perilaku wartawan juga terkait dengan tugas-tugas kewartawanannya. Misal sekarang kita melihat banyak wartawan yang suka mengintimidasi dan berlaku kasar kepada narasumber. Atau memakai alat-alat kerja yang mengganggu ketertiban umum. Disinilah perlunya adanya KPW.
Dengan kata lain, KPW memang penting, dan karenanya tidak dapat “dilenyapkan, ” apalagi jika alasannya traumatis terkena aturan-aturan KPW.
Sejak kongres di Solo KPW sudah dibahas baik di sidang komisi maupun di pleno. Sebagai ketua komisi yang membahas KPW, saya sendiri yang melaporkan kepada pimpinan sidang di kongres Solo. Dan saya bersaksi KPW telah disahkan di kongres Solo. Sudah diketok. Hanya dengan catatan “diharmonisasikan” lagi terutama bahasanya.
Itulah wujud demokrasi dalam tatanan wadah PWI. Itu pulalah sebab ketika sebagai tim pembahas PD-PRT, KEJ dan KPW wartawan kami “ngotot” tetap mempertahankan sistem cek and balance ini, meski tetap ada anggota tim yang bersikap sebaliknya.
Bersyukurnya filosofi semacam ini tidak diubah dalam kongres Bandung. Rupanya kali ini di Kongres Bandung, telah mempertahankan adanya KPW. Juga keseimbangan demokrasi dalam pilar-pilar organisasi. Hanya penyempurnaan-penyempurnaan redaksional saja perubahannya. Selebihnya kongres tetap mempertahankan filosofi organisasi.
Terlepas dari keberhasilan proses hasil pemilihan ketua umum yang berlangsung demokratis dan menegangkan, tak dapat dilupakan keberhasilan perjuangan mempertahankan pilar-pilar kukuh filosofi demokrasi di PWI. Upaya tersebut merupakan sebuah keberhasilan lain dari kongres.
Siapapun ketua umumnya, siapapun ketua DK-nya, apalah artinya tanpa nilai-nilai demokrasi? -Selesai-
Wina Armada Sukardi, pakar hukum dan etika pers.
Editor: Ariful Hakim