Bachtiar Siagian, Pelopor Film Indonesia yang Dilupakan | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Birokreasi

Bachtiar Siagian, Pelopor Film Indonesia yang Dilupakan


Ceknricek.com - Bahctiar Siagian pernah menjadi saingan terberat Usmar Ismail (Bapak Perfilm-an Indonesia) dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1960. Film garapannya yang menceritakan epos gerilyawan Indonesia yang berjuang di sebuah desa, kaki Gunung Sinabung, Tanah Karo itu berhasil menyabet 4 nominasi FFI. Sayang, film berjudul Turang, seperti sengaja dilenyapkan hingga sekarang.

Sutradara kelahiran Binjai, Sumatera Utara 19 Februari 1923  yang pandai memainkan alat musik harmonium itu mengabdikan seluruh hidupnya untuk film.

Ia meninggal pada hari ini, 19 Maret 2002 di Jakarta. Atas jasa-jasanya, pada 2016 Bachtiar Siagian mendapat Anugerah Kebudayaan untuk Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ia dinilai sebagai salah seorang pembaharu dalam penyutradaraan dan penulisan skenario film yang berlandaskan realitas sosial sebagai kekuatan ekspresi.

Sumber: InstitutsejarahsosialIndonesia

Terkesima pada Kesenian

Sejak kecil Bachtiar Siagian sudah gemar pada kesenian, terutama seni musik, sastra dan teater. Kegemaran tersebut dipengaruhi oleh kedua orang tuanya. Ibunya gemar bermain alat musik harmonium, sementara ayahnya gemar membaca syair-syair sambil bernyanyi. Pada waktu itu pembaca-pembaca syair dengan menyanyi sering diundang ke pesta-pesta untuk membaca syair-syair kisah lama, seperti kisah Puteri Hijau atau kisah-kisah Timur Tengah dan Arab.

Siagian kecil juga gemar menonton teater klasik ala opera barat maupun tonil modern, mulai dari Dean’s Opera dari Malaya, Dardanella, tonil Miss Tibu atau rombongan Blauw Wit hingga tonil ‘Bangsawan Kebun’, suatu bentuk opera kuno dengan cerita raja dan jin iprit. Kecintaannya pada keseniaan tersebut terus berlanjut ketika ia ke Medan. Bachtiar acapkali melihat teater modern dengan lakon-lakon terkenal, seperti karya Ibsen sampai Multatuli.

Pertunjukan teater modern yang ditontonnya diorganisasi oleh Belanda-Belanda perkebunan yang tergabung dalam ‘Medansche Tooneel Vereeniging (persatuan toneel Media). Mereka selalu mengadakan pementasan di sebuah societe yang bernama Witte Sociteit.

Sumber: medcom

Pada zaman pendukan Jepang (1942) Bachtiar Siagian sudah mulai menulis lakon. Ia mementaskannya lakon pertamanya berjudul ‘Dr. Darman’ di Belawan, dilanjutan dengan ‘Angin Bekisar’ setelah pecah perang dunia II. Ketika melakukan pertunjukan di Belawan inilah ia ditangkap Kenpeitai Jepang dan dibawa ke Medan, hingga dikerangkeng besi di tengah lapangan.

Sebulan di kerangkeng, ia pun di panggil ke kantor, lalu diangkut  ke kantor Kempetai pusat di dekat Hotel De Boer Medan, bekas kantor Deli Maatschapaj. Bachtiar sempat diintimidasi dengan samurai. Ia akhirnya dibebaskan dengan syarat lewat surat perjanjian bahwa ia tidak akan aktif lagi dalam gerakan politik.

Karya Film

Perkenalan Bachtiar Siagian dengan film berawal ketika ia membuat Kabut Desember  (1955) dan Tjorak Dunia pada tahun yang sama, produksi Garuda Films. Namun, film ‘Kabut Desember’ tak dapat dinikmati penonton Indonesia, lantaran langsung diterbangkan ke Cekoslowakia, Polandia, dan Tiongkok .

Pada 1955, Bachtiar membuat film Daerah Hilang. Film yang berkisah tentang sebuah daerah yang bakal lenyap oleh perumahan elite di Kebayoran Baru, Jakarta itu, ditaksir pemerintah Cekoslowakia. Selain Daerah Hilang, pemerintah Cekoslowakia juga membeli karya Bahctiar lainnya, Turang (1957), sebuah film yang fenomenal pada zamannya. Pemutaran perdananya bahkan dilakukan di Istana Merdeka, disaksikan langsung Presiden Soekarno.

Sumber: InstitutsejarahsosialIndonesia

Sebelum pemerintah Cekoslowakia memboyong dua film Bahctiar itu, mereka sudah menonton 12 film dari berbagai perusahaan film Indonesia yang diputar di negaranya. Namun, akhirnya yang terpilih hanya empat film Indonesia. Dua film lainnya, karya Usmar Ismail, Harimau Tjampa dan 6 Djam di Djokja. Usmar merupakan sutradara yang menonjol di era 1950-an hingga 1960-an, ia pernah mengaku, Bachtiar adalah lawan terberatnya untuk urusan artistik dalam membuat sebuah film.

Film-Film yang Dihilangkan

Setelah geger 1965, hampir semua karya seniman-seniman ‘kiri’ Lekra dimusnahkan, baik sastra, seni rupa hingga film. Begitu juga karya-karya Bachtiar Siagian yang pada waktu itu berposisi sebagai ketua Lembaga Film Indonesia (organisasi payung seniman-seniman perfilman di lingkungan Lekra). Dari belasan judul film yang telah ia buat, hanya satu yang tersisa dan selamat; Violetta (1962) yang dibintangi oleh Fifi Young, Bambang Hermanto, dan Rima Melati. Film tersebut selamat kerena dikoleksi pengusaha bioskop di Bogor yang pada tahun 2000-an menyerahkannya ke Sinematek, Jakarta.

Selain karya-karya Film Bachtiar Siagian, nasib serupa juga dialami Basuki Effendy, Tan Sing Hwat alias Tandu Honggonegoro dan Kotot Sukardi. Ia sempat menerima Satyalancana Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan karena dianggap menjadi perintis pembuatan film anak-anak lewat karyanya, seperti Si Pintjang dan Layang-layangku Putus.

Sumber: genosidapolitik65

Menurut sutradara Garin Nugroho dalam bukunya, Krisis dan Paradoks Film Indonesia (2015), dari semua film yang dihasilkan para sutradara ‘kiri’ itu, hampir tak ditemukan cerita yang benar-benar bernapas komunisme. Baik film karya Bachtiar, Kotot, Bambang Hermanto, maupun Basuki Effendy. Karya mereka yang duduk dalam kepengurusan Sekretariat Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), rata-rata tak banyak beda dengan naskah film karya sutradara lawan-lawannya, seperti Usmar Ismail.

Film Pulang yang disutradarai Basuki Effendy misalnya, mengangkat cerita soal Tamin, mantan serdadu KNIL yang merasa bersalah lantaran tak pernah berjuang untuk Tanah Airnya. Demikian pula film Bachtiar Siagian yang merebut penghargaan film terbaik dalam Festival Film Indonesia pada 1960, Turang. Film ini juga tak mengangkat isu-isu berbau komunis, seperti penindasan buruh dan perebutan lahan petani. Turang berkisah soal perjuangan rakyat di Tanah Karo melawan penjajah Belanda.

Selama rentang 1955 hingga 1964, Bahctiar menghasilkan 13 film cerita. Tragedi 30 September 1965 mengubah alur hidupnya. Ia dibuang ke Pulau Buru hingga 1977. Penulis dalam hal ini mewakili kaum milenial pun mengetahui nama Bachtiar Siagian ketika menyaksikan teater arsip di Taman Ismail Marzuki yang mencoba mereka ulang adegan-adegan di film Turang lewat ingatan-ingatan penontonnya yang masih hidup.



Berita Terkait