Catatan Ilham Bintang
Ceknricek.com—Belum ke Medan tanpa ke Ucok Durian. Itu semboyan Ucok Durian di Medan. Presiden Jokowi pun tahun lalu menggunakan tagline tersebut untuk mengungkap kesannya saat bersama keluarga ke markas Ucok Durian di jalan Wahid Hasyim 30-32 Medan.
Rabu (1/8) malam saya ditraktir Ketua PWI Sumatera Utara Herman Shah mencicipi duren si Ucok ini. Bersama wartawan senior Ronny Simon, Edu Thahir, dan Agus Lubis.

Padahal, malam itu kami baru habis menyantap sop kepala kambing di warung Wajir. Malah, masih sedang makan, ketika Herman Shah menyodorkan agenda ke Ucok Durian.
“Abang nggak sah ke Medan kalau tak ke Ucok. Kalau sudah kenyang, foto sama duren saja cukuplah. Yang ada bukti sudah ke sana,” bujuk Herman.
Saya mulai menangkap kunci sukses usaha Ucok Durian ini. Pertama, usaha itu menjadi kebanggaan warganya. Sama kebanggaan warga Medan terhadap klub sepakbola PSMS, dan “ Waspada” surat kabar lagendaris yang berusia 72 tahun milik keluarga Said. Promosi Herman Shah itulah contohnya.
“ Ya, satu dua biji aja bang, syarat aja,” desak Herman. Faktanya, mencicipi lebih dari itu. Saya menghabiskan satu duren utuh. Rasa durennya memang legit dan manis.

Warung Ucok Durian ini mengagumkan. Belum pernah saya melihat tempat penjualan durian yang digarap serius seperti ini. Tempatnya luas. Bisa menampung sekitar 200 pengunjung duduk sekaligus. Semalam, saya saksikan sendiri pelanggan keluar masuk, tiada henti.
Semua meja terisi. Pengunjung dengan kegembiraannya bak sedang mengikuti “upacara bersama”: makan duren bareng-bareng. Seperti nonton bareng final Piala Dunia.
Di bagian teras warungnya tempat tumpukan duren menggunung. Dan, lihatlah Zainal Abidin (51)—si Ucok itu — menjadi petugas QC- quality control.

Ini kunci sukses nomer duanya, sang pengusaha terjun langsung jadi “kuli” di tempat usahanya. Persis orang Jepang pada umumnya.
Dia melayani satu persatu tamu yang mengorder duren. Ada yang mau kering, kuning, pahit, manis dan pelbagai macam lagi. Dan, tentu saja mau yang murah pula.
“Lihat ini,pokoknya duren enak,” kata Ucok sambil membelah sebuah duren. Prakk. Sebentar saja bisa dilihat isinya kuning mengkilap dan kering. Sesuai order.
Pria ini bukanlah orang Sumatera Utara, sebenarnya. Ia orang Minang berasal dari Lubuk Aluang, Pariaman, Sumbar. Ihwal nama Ucok itu mungkin karena perawakannya mirip orang Batak. Dan, Ucok memang panggilan paling akrab bagi pria Batak. Butet sebutan buat wanitanya.
15 juta perhari
Ucok mengaku sehari menjual 3000 buah duren. Yang harganya kisaran 40 -80 ribu.
Wah untung banyak!
“Tiga ribu yang bagus, tapi ada dua ribu yang jelek,“ selaknya. Sambil menunjuk dua golongan durennya
Namun, cepat dia melanjutkan, tidak ada bagian duren yang terbuang. Biarpun jelek. Duaribu jumlah sisa tadi bisa diolah menjadi dodol maupun ice cream.
Tapi, ini yang penting dicatat: Ucok sudah 35 tahun berdagang duren. Dari jualan di kaki lima. Sukses di emperan ia pun pindah ke tempatnya yang luas sekarang. Warnanya didominasi kuning dan hijau. Cahaya lampunya seluas lebih kurang 1000 m2 terang benderang. Semua dindingnya diisi berbagai slogan. Juga pengumuman : tidak melayani penjualan on line. Di dinding lain dipasang berbagai klipping surat kabar yang menulis sukses Ucok Durian. Juga foto- foto dengan pejabat. Ada dengan Presiden SBY, dengan Presiden Jokowi, dan politikus lainnya.

Ucok Durian baru lima tahun di situ.
Di tempat baru ini duren dikelola seperti industri. Ada gudang duren. Ada tim seleksi duren yang layak dijual.
Ada juga penjualan take away. Biasa melayani pembelian orang Jakarta atau daerah lain untuk dibawa pulang naik pesawat. Tinggal bungkus isinya. Dikemas dalam kotak-kotak tupperware dengan berbagai varian harga. Tergantung besar kecilnya.
Ucok Durian tak pernah sepi pengunjung.
Ucok ikon petarung yang penuh perjuangan merebut hidup di kota Medan. Melewati masa-masa sulit saat memulai dari bawah dan berkali-kali jatuh bangun hingga mencapai sukses menjadikan usahanya brand membanggakan warga Medan.
Bisnis Ucok seperti tidak terpengaruh dengan pergerakan dolar yang melambung belakangan ini. Pun dengan kelesuan ekonomi secara nasional. Kalau melihat omzetnya yang terus meningkat meski tak punya cabang dan menjual secara on line. kenal resesi. Setiap hari rata-rata penjualannya Rp.15 juta. Sebulan 400-500 juta. Hitung sendiri berapa kalau setahun.
Protokol PWI
Saya berpuluh kali ke Medan. Tapi Rabu (1/8) siang baru pertama kali ke Ibu Kota Sumut itu dengan menumpang dua moda transportasi : pesawat dan kereta. Dari Bandara Cengkareng - Kuala Namu dengan pesawat Garuda GA 186.
Di Kuala Namu dijemput Irianto, protokol PWI di Bandara. Itu penugasan dari Ketua PWI Sumut Herman Shah, katanya. Bah! Kayaknya baru di bandara Kuala Namu ini ada protokol PWI.
Dari sini sambung ke Medan dengan kereta, diantar oleh Kepala Stasiun Tommy Simatupang. Tommy kemanakan wartawan senior Elman Saragih. Dengan kereta ini dari bandara ke kota Medan bisa dicapai dalam waktu 35 menit.
Herman yang menjemput di stasiun langsung mengajak santap siang kepala ikan kakap di RM Pondok Gurih, Jalan Brigjen Katamso, Medan. Ini juga menjadi salah satu tempat wisata kuliner. Herman sudah mempromosikan ketika mengundang saya ke Medan. Untuk memberi pembekalan kepada 70 wartawan anggota PWI Sumut yang baru.
Kepala ikan dan kepala kambing itu “selling point” nya. Saya terpaksa mengorbankan dua acara lain di dua hari berturut- turut. Satu : Berbicara dalam diskusi group media Matahari di Makassar Rabu. Acara makan siang dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan wartawan pengurus PWI Pusat di Hotel Hyatt, Kamis.
Ikan RM Pondok Gurih ini besar dan benar-benar gurih. Tak salah jika Herman berani pasang badan mempromosikan. “Ini kepala ikan terbaik, katua,” katanya.
Nasinya pun penuh sensasi. Disajikan dengan alas daun pisang. Banyak pula varian lauknya, termasuk “ ranjaunya” : rawit kecil-kecil.
Beruntung kami tidak harus antre. Tiba di sana setelah masa puncak jam makan siang, sehingga antrean sudah mengendor. Kepala ikan kakap besar disajikan dalam mangkuk besar pula. Kemasannya ini saja mengundang selera.
Sop Kepala kambing
Bicara kuliner, Medan memang tempatnya. Setara Makassar. Salah satu kuliner favorit di Medan, Sumatera Utara, sejak dulu kala adalah sop kepala kambing.

Berburu kuliner ini tidak mudah. Rabu (1/8) malam itu tiga tempat yang didatangi, tapi kepala kambing habis. Padahal, baru jam delapan malam. Baru tempat keempat, bisa dapat : di warung sop kambing Wajir, jalan Kolonel Sugiyono (d/h Wajir).
Malam itu kami bersama Bang Ronny Simon, Edu Thahir, Agus Lubis lanjut memburu Duren Ucok.
Inilah Medan, Bung.