Ceknricek.com “Di dunia ini manusia bukan berduyun-duyun lahir dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.” ― (Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam)
Tanggal 28 Februari banyak hal-hal yang tidak bisa dilewatkan untuk kelahiran tokoh-tokoh yang menginspirasi di Indonesia. Selain kelahiran Amir Hamzah sang penyair Sunyi, tanggal itu juga menjadi hari kepergian Kusbini, Sang Buaya Keroncong. Pencipta lagu abadi Padamu Negeri ini mengembuskan nafas terakhir di kediamannya, kawasan Pengok, Yogyakarta. Kusbini wafat pada 28 Februari 1991, pada usia 81 tahun.
Sumber : Kumparan
Lahir 1 Januari 1910 di Desa Kemlagi, Mojokerto, Jawa Timur di masa keroncong abadi (1920-1960) era musik keroncong sedang menyongsong zaman keemasannya akibat pengaruh musik pop Amerika dan dominasi musisi Filipina di lantai dansa hotel-hotel Hindia Belanda. Setelah tamat sekolah di HIS 1914 ia menuju Surabaya untuk menemui kakaknya Koesbandi dan melanjutkan studi di sekolah dagang. Ia memulai karirnya secara ortodidak dan bergabung dengan Jong Indisce Stryken Tokkel Orkest (Jitso), sebuah kumpulan musik keroncong di Surabaya. Nama Kusbini mulai dikenal publik saat RRI menyelenggarakan Pemilihan Bintang Radio dan Lagu Keroncong.
Nina Bobo di Bengawan Solo
Setelah menamatkan pendidikan di sekolah dagang Surabaya Kusbini tidak berniat bekerja di pemerintahan kolonial, ataupun kantor dagang, namun bercita-cita sebagai seniman musik, ia lalu melanjutkan pendidikan musik umum (algemene muziekleer) di sekolah musik “Apollo”. Di fase inilah Koesbini mulai jago menggubah lagu dan menciptakan tembang pertamanya yang berjudul “Keroncong Purbakala” disusul lagu-lagu lain, “Pamulatsih”, “Bintang Senja Kala”, “Keroncong Sarinande”, “Keroncong Moresko’, “Dwi Tunggal”, “Ngumandang Kenang” dan “Nina Bobo” lagu yang tidur di negeri sendiri, namun berkibar di negeri orang.
Karya dan namanya semakin dikenal luas setelah ia mengisi siaran musik di radio Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapij (NIROM) dan Chineese en Inheemse Radio Luisteraars Vereniging Oost Java (CIRVO). Pada 1930-an namanya mulai disejajarkan dengan pemusik-pemusik keroncong populer di Hindia Belanda; Annie Landouw, S Abdoellah dan Gesang(pencipta lagu Bengawan Solo) yang melegenda dan mejadi salah satu lagu pengisi film cinta hebat “In the Mood for Love”(2000) , “Wong Kar Wai” Sutradara Hongkong yang filmnya banyak mempengaruhi sineas Asia hingga Eropa.
Propaganda Lagu Kebangsaan dan Pengabdian
Era pendudukan Belanda berakhir dan invasi tentara Jepang di Hindia Belanda membuat Koesbini bekerja di Radio Militer Hooso Kanri Kyoku dan Pusat Kebudayaan Jepang di bidang musik. Di fase inilah Kusbini banyak bekerja sama dengan Komponis Ismail Marzuki, Cornel Simanjuntak, Sastrawan, Redaktur Balai Pustaka, Sanusi Pane, dan seniman lainnya.

Sumber : Deskgram
Lagu “Bagimu Negeri” lagu yang digagas oleh Bung Karno untuk mengimbangi pengaruh propaganda masif militer Jepang juga diciptakan di era ini oleh Koesbini. Lagu yanfg kelak menuai polemik dengan Raden Joseph Moejo Semedi (yang mengklaim lagu tersebut ciptaanya) dan berpuluh warsa berselang diusik kembali oleh Taufik Ismail karena dianggap musrik. Namun lagu yang mengumandangkan cita-cita nasionalisme ini akan tetap dikumandangkan, khusuk, dan menggetarkan kalbu.
Pasca kemerdekaan Kusbini mendirikan SMINDO (Sekolah Musik Indonesia Yogyakarta milik Pemerintah–yang kemudian menjadi AMI dan ISI Yogyakarta). Selain itu, ia mendirikan SOSI (Sekolah Olah Seni Indonesia) di mana ia memberikan pengajaran keterampilan bermusik kepada para murid, seperti piano dan biola, lalu diasuh dan diteruskan oleh 11 anak-anaknya dari istrinya, Ny. Ngadiyem.
Sebagaimana ucap Pram seorang demi seorang datang, dan seorang demi seorang pergi di dalam pasar malam (Indonesia) yang sunyi, tembang Kusbini akan mengalun meneduhkan kalbu atau kelak dipejam mata sebelum tidur anak-anakmu. (Berbagai sumber)