Ceknricek.com -- Bagi Orang Belanda, tanggal 5 Desember selalu dinanti-nantikan untuk merayakan Hari Sinterklas yang setiap jelang Natal akan memasuki cerobong asap rumah mereka bersama Piet Hitam (Zwarte Piet) untuk membagikan hadiah.
Ketika Belanda menjajah Hindia, tradisi ini turut juga dibawa ke negeri jajahan. Namun, hari ini, 62 tahun yang lalu, tepatnya 5 Desember 1957, perayaan itu harus berhenti ketika Presiden Sukarno mengusir orang-orang Belanda dari Indonesia. Peristiwa itu dikenal dengan Sinterklas Hitam.
Amarah Bung Besar
Hingga dekade 1950-an, tradisi perayaan Hari Sinterklas sebenarnya masih dirayakan dengan meriah di Indonesia, dimana Sinterklas dan pembantunya Piet Hitam (Zwarte Piet) akan membagikan hadiah di bawah jendela rumah orang-orang Indo dengan berkeliling kota di pagi hari.
Pemberian hadiah kepada anak-anak di bawah jendela ini, menurut antropolog Frida Amran dikarenakan rumah-rumah di Indonesia tidak memiliki cerobong asap, sehingga anak-anak Belanda dan Indo menaruh sepatu berisi rumput dan cawan minuman kuda Sinterklas di bawah jendela rumah mereka.
Sumber: Istimewa
“Dan pagi-pagi, tanggal 5 Desember, semua anak Belanda, Belgia, dan Indo-Belanda di seluruh dunia bersorak gembira mendapatkan hadiah di sepatu mereka. Dan permen serta cokelat tersebar di antara sisa-sisa rumput yang tak habis dimakan oleh kuda Sinterklas,” ungkap Frieda dilansir dari Historia.
Meski demikan, pada 1957, Sinterklas tidak lagi menyambangi anak-anak di Indonesia. Pasalnya situasi politik di Indonesia sedang memanas akibat gagalnya Indonesia memperoleh dukungan terhadap masalah di Irian Barat dalam pemungutan suara di PBB pada 29 November 1957.
Sumber: Istimewa
Pada waktu itu, Irian Barat masih diduduki Belanda dan mereka enggan meninggalkan wilayah ladang emas tersebut. Atas dasar inilah Bung Besar geram dan menyatakan pada saat itu warga Belanda dinyatakan “berbahaya bagi negara” serta menyerukan pada mereka untuk segera angkat kaki Indonesia.
Presiden Sukarno kemudian menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang ada secara besar-besaran dan mengusir semua orang Belanda dari Indonesia. Selain itu, ia juga melarang perayaan pesta Sinterklas yang dianggap budaya Belanda, meskipun tiga tahun sebelumnya ia pernah menerima kehadiran Sinterklas dari Belanda di Istana Negara.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Pidato Paus Urbanus II Picu Perang Salib I
Hilde Jansenn, dalam Tanah Air Baru, Indonesia, (2016:156) menuliskan, “Hari itu kedutaan dan konsulat ( belanda) ditutup, dan rencana evakuasi dipersiapkan di mana-mana. Bagi orang Belanda di Indobnesia, pesta perayaan Sinterklas sudah hancur”.
Tradisi pertukaran kado, pembagian cokelat dan pernak-pernik lainnya pun menjadi tidak menyenangkan lagi bagi orang Belanda yang masih menetap di Indonesia pada waktu itu dan dikenal dengan nama Zwarte Sinterklas alias Sinterklas Hitam. Sejak saat itulah pesta Sinterklas menghilang dari Indonesia.
Mereka yang Terusir
Setelah ‘kebijakan’ Sinterklas Hitam diserukan oleh Sukarno, orang-orang Belanda mulai merasa cemas untuk tinggal lebih lama di Indonesia, bahkan mereka mulai tidak berani menampakkan diri kala malam. Sejumlah fasilitas umum seperti pertokoan, bioskop, restoran, dan hotel pun menolak memberikan layanan kepada orang Belanda.
Antipati sentimen terhadap Belanda ini bahkan berujung pada serangkaian teror dan aksi vandalisme yang menimpa beberapa rumah dan kediaman orang Belanda.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Sejarah hari Ini: Halloween, Tradisi Memperingati Kematian Hingga Perayaan Pesta Tahunan
“Kampanye dilakukan dengan melakukan demo-demo dan aksi corat-coret dengan cat di tembok-tembok atau poster-poster berisi kebencian terhadap orang Belanda dan hasutan untuk mengusir mereka,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja.
Berdasarkan catatan Oy Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1991:388), sejak awal Desember 1957, Kementrian Kehakiman sudah mempersiapkan rancangan operasi darurat repatriasi warga negara Belanda dalam tiga tahap: pertama, steuntrekkers (golongan tidak memiliki pekerjaan), kedua, middenstanders (kalangan menengah), dan terakhir, vakspecialisten (kalangan tenaga ahli).
Sejak Desember 1957 hingga Agustus 1958, setidaknya keseluruhan orang Belanda yang keluar dari Indonesia mencapai 33.600 orang. Rombongan pertama berangkat dari Jakarta menggunakan pesawat pada 10 Desember 1957, untuk terbang ke Singapura dan kemudian melanjutkan via laut atau udara kembali.
Sementara, sisanya menyusul kemudian dengan menggunakan kapal laut yang berangkat dari Tanjung Priok, Surabaya, dan Semarang dengan menggunakan kapal motor Waterman, Captain Cook, dan Sibajak yang dikirim langsung dari Belanda.
Sumber: Istimewa
Catatan Oey Beng To yang mengutip Keesings Historisch Archief (6-12 Oktober 1958) menyebutkan bahwa pada Agustus 1958, setidaknya masih tersisa 5.000 sampai 6.000 orang Belanda dari kalangan ahli yang tetap tinggal dan bekerja di Indonesia. Rombongan terakhir diberangkatkan pada awal September 1958, menggunakan kapal ke-94 yang menjadi kapal terakhir dalam repatriasi tersebut.
Dari keturunan yang terpaksa meninggalkan Indonesia ini kemudian ada beberapa yang cukup dikenal, seperti keluarga Kapten KNIL, Herman Tielman dan Laurentine Hess, yang kesohor lewat band anak-anak mereka, The Tielman Brothers. Selain itu, terdapat juga penyanyi dendang lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng, Wieteke van Dort. Mereka hingga kini bahkan masih dikenal oleh kalangan anak muda dan sering menyanyikan lagu bernuansa Indonesia.
BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar