Abdul Moeis, Sastrawan Sekaligus Pahlawan Nasional Pertama Indonesia | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Ilustrasi: Alfiardy/Ceknricek.com

Abdul Moeis, Sastrawan Sekaligus Pahlawan Nasional Pertama Indonesia

Ceknricek.com -- Jika ada yang mendengar nama Abdul Moeis, mungkin kita akan teringat salah satu novelnya yang terkenal di era Balai Pustaka, "Salah Asuhan". 

Namun, buku tragis tersebut bukan satu-satunya karya Abdul Moeis. Sebab, selain sebagai seorang sastrawan yang menghasilkan banyak karya, ia juga berprofesi sebagai penerjemah ulung sekaligus wartawan dan pejuang di zamannya. 

Di masa tuanya, di umur 75 tahun, dua bulan setelah ia meninggal dunia tepat pada tanggal hari ini, 17 Juni 1959. Ia ditetapkan pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. 

Dari sinilah untuk kali pertama penetapan pahlawan nasional diberikan oleh Presiden pertama RI, Sukarno, yang kelak kemudian akan menjadi tradisi penetapan terhadap orang-orang yang berjasa bagi bangsa Indonesia.

Kiprah Abdul Moeis

Abdoel Moeis lahir pada 3 Juli 1883 di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh. Setelah lulus sekolah dasar yang diperuntukkan bagi komunitas Eropa (ELS), Abdoel Moeis masuk sekolah dokter Jawa (STOVIA) namun keluar karena sakit. 

Foto Abdoel Moeis (Abdul Muis). Sumber: Doc. Pahlawan Center

Meskipun hanya berijazah ujian ambtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuannya dalam berbahasa Belanda melebihi rata-rata orang Belanda.

Dari sinilah dan berkat bantuan J.H. Abendanon, direktur departemen pendidikan dan agama, dia akhirnya bekerja di departemen tersebut sebagai jurutulis. Hanya dua tahun bekerja, dia pindah ke Bank Rakyat. 

Tak tahan melihat penyelewengan para pejabat bank, dia berhenti dan bergabung dengan Abdul Rivai, pemimpin Bintang Hindia, sebuah majalah progresif terbitan Amsterdam (1901-1908).

Sumber: Historia

Karena pada 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Moeis akhirnya pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan itu ditekuninya selama 5 tahun, sebelum ia diberhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada 1912.

Ia kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar harian Belanda yang terbit di Bandung, sebagai korektor. Dalam tempo 3 bulan ia diangkat menjadi hoofdcorrector (korektor kepala) karena mempunyai kemampuan berbahasa Belandanya yang baik.

Masuk Dunia Politik

Pada 1913 Abdul Moeis keluar dari De Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuk ke Serikat Islam (SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, ia dipercaya memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung.

Sumber: Panjimas

Pada tahun itu, atas insiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Moeis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda.

Pada zaman pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Moeis berjuang memimpin Serikat Islam. Pada 1917, ia dipercaya sebagai utusan SI ke negeri Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar.

Di Belanda dia membicarakan masalah pertahanan bagi Indonesia sehubungan dengan terjadinya Perang Dunia I. Selain itu, ia mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda agar di Indonesia didirikan sekolah teknik. Beberapa tahun kemudian di Bandung berdiri Technische Hooge School (sekarang Institut Teknologi Bandung atau ITB).

Pada 1918, sekembalinya dari Belanda, Abdul Moeis pindah bekerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun yang sama ia diangkat menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).

Perjuangan Abdul Moeis ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Bersama dengan tokoh lainnya, dia terus berjuang menentang penjajah Belanda. Pada 1922, misalnya, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalam PPPB (Perkumpulan Pegawai Pegadaian Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta.

Mendirikan Surat Kabar

Setahun kemudian, ia memimpin sebuah gerakan memprotes aturan landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat. Protes tersebut berhasil. Landrentestelsel pun urung diberlakukan.

Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangan.

Oleh pemerintah Belanda, tindakan Abdul Moeis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Pada 1926, Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dari wilayah luar Jawa dan Madura. Akibatnya, selama lebih kurang 13 tahun (1926-1939) ia tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa.

“Setelah ada larangan itu, Abdoel Moeis kemudian tinggal sebagai petani di Garut tahun 1924,” tulis Maman Mahayana dalam Akar Melayu. “Dia mengawali penulisan novelnya awal tahun 1927 saat dia sudah meninggalkan kegiatan politiknya dalam Serikat Islam selama lebih dari satu dasawarsa (1912-1924).”

Meskipun begitu, tidak berarti Abdul Moeis berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.

Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Moeis tetap aktif di dunia politik. Pada 1926, Serikat Islam mencalonkan dia dan terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Enam tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia.

Karena sudah merasa tua, pada 1944 Abdul Moeis berhenti bekerja. Namun, pada era setelah proklamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.

Karya dan Kematian

Karya perdana Abdoel Moeis berjudul "Salah Asuhan" diterbitkan Balai Pustaka pada 1928. Novel ini diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Asrul Sani pada 1972, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Tiongkok dan Jepang. 

Sumber: Tokopedia

Pada 1933, dia menerbitkan novel keduanya, "Pertemuan Jodo", dan menerjemahkan beberapa novel seperti "Don Kisot de la Mancha" karya Cervantes, "Tom Sawyer Anak Amerika" karya Mark Twain, dan "Sebatang Kara" karya Hector Malot. Baru pada 1950 dia menerbitkan novel "Surapati", dan tiga tahun kemudian novel "Robert Anak Surapati".

Sumber: Wikipedia

Abdoel Moeis meninggal pada 17 Juni 1959 di Bandung. Pada tahun itu juga dia diangkat menjadi pahlawan nasional. “Tidak ada alasan jelas mengapa Abdoel Moeis dipilih sebagai pahlawan nasional yang pertama,” tulis Klaus H. Schreiner, “Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional,” dalam Outward Appearances, karya Henk Schulte Nordholt.

Terlepas dari itu semua, menurut Maman, betapa pun "Salah Asuhan" telah membuat nama Abdoel Moeis begitu populer, aktivitasnya sendiri sebagian besar dicurahkan dalam bidang kewartawanan dan politik. 

“Bahkan pengangkatannya sebagai pahlawan nasional bukanlah karena jasanya di bidang kewartawanan dan kesusastraan, melainkan dalam politik, yaitu dianggap telah berjasa dalam pergerakan kebangsaan ketika dia menjadi anggota Serikat Islam,” ungkap Maman dikutip dari Historia.



Berita Terkait