Ceknricek.com -- Tak banyak pemimpin dan tokoh Islam yang mampu melakukan kerja keras di bidang pendidikan, menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturahim, serta berjihad dengan indah melalui jalan dakwah untuk mengajak masyarakat ke jalan benar, lurus, dan lempang sebagaimana yang telah dilakukan sosok Mahaguru dari Tanah Bugis, Abdurrahman Ambo Dalle.
Kalimat itu dikutip dari buku Anregurutta Ambo Dalle: Mahaguru dari Bumi Bugis karya HM Nasruddin Anshoriy Ch. Keteladanan ini pula yang dilakukan Ambo Dalle dalam menebarkan Islam dan kasih sayang kepada umat Islam di Sulawesi Selatan dan murid-muridnya.
Ulama kharismatik itu mengayuh sepedanya sejauh 35 kilometer demi mengajar murid-muridnya dan menemui umatnya untuk berdakwah. Ambo Dalle menunjukkan keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan melayani umat.
Untuk mengenang jasa dan perjuangannya, berikut perjalanan hidup Ambo Dalle, Sang Ulama Pembaharu dari Tanah Bugis.
Maha Guru dari Bumi Bugis.
Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa Ujung Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang. Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi.
Kedua orang tuanya memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Quran.
Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Bersekolah di Volk School (Sekolah Rakyat) pada pagi hari dan belajar mengaji pada sore dan malam harinya. Dalam dunia permainan anak-anak, Ambo dale adalah seorang penggiraing bola handal sehingga digelari “Si Rusa.”
Selama Belajar, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Al Quran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikih, melainkan juga mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS dan pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar.
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Ambo Dale segera berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut.
Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah. Di antaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf.
Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi).
Keberuntungan Dalam Belajar
Suatu ketika, AGH. Muhammad As’ad yang biasa disapa oleh masyarakat Bugis dengan Anregurutta Puang Aji Sade, menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak saat itu ia diangkat menjadi asisten. Sehingga pada tahun 1935, ia berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama pada para syeikh di Mekkah.
Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AGH. Muhammad As’ad, ia mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan.
Dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan AGH. As’ad dan ulama lainnya. Ambo Dalle bahkan kemudian diserahi tugas memimpin lembaga itu. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah), menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.
Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M. Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Maka ketika H.M.Yusuf Andi Dagong ini diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, ia pun lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang: pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M. As’ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso.
Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama. Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang.
Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta HM.As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle.
Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu.