Adolf Heuken, "Kamus Berjalan Risalah Jakarta" Telah Tiada | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Adolf Heuken, "Kamus Berjalan Risalah Jakarta" Telah Tiada

Ceknricek.com --“A City Without Buildings a like a man without a memory.”- Adolf Heukeun SJ

Jakarta baru kehilangan salah satu sejarawan yang telah memberi pengetahuan baru terhadap khasanah sejarah yang ‘kadang buram’. Ia adalah Adolf Heuken SJ. Lewat tulisan-tulisannya ia membuat benderang kisah Jakarta yang sebelumnya buram. Adolf Heuken bahkan bisa dikatakan sebagai ‘Kamus Berjalan’ tentang risalah Jakarta.

“Atas nama Pemprov DKI Jakarta, kami menyampaikan turut berbelasungkawa atas berpulangnya Pastor Adolf Heuken SJ. Beliau sepanjang hidupnya lebih lama dicurahkan untuk Indonesia. Dan bagi Jakarta khususnya, beliau telah menjadi jendela bagi dunia untuk mempelajari Jakarta,” kata Anies saat melawat di Kapel Kolese Kanisius, Menteng Jakarta Pusat, Jumat, (26/7).

Foto: Istimewa

Sejarawan sekaligus rohaniawan itu meninggal, Kamis, (25/7) di RS. St. Carolus Jakarta pada usia 90 tahun.

Siapakah sebenarnya Peter Adolf Heuken? Bagaimana kiprah dan pertemuan-nya dengan Jakarta yang justru membuat ia enggan kembali ke negeri leluhurnya, karena sangat mencintai Jakarta? Berikut kisahnya yang dirangkum dari berbagai sumber.

Dari Pilot Sampai Penulis

Jerman 1945. Kurang tiga sampai empat bulan sebelum perang dunia ke II berakhir, Adolf Heuken yang pada waktu itu masih remaja dan bersekolah bersama kakanya dipanggil untuk masuk tentara. Setelah melewati berbagai pemeriksaan ia didapuk untuk masuk Waffen-SS (pasukan elit tentara Jerman). Namun Heuken menolak, ia lebih memilih menjadi pilot.

“Saya tidak mau masuk SS,” ucapanya kepada perwira yang menyuruhnya. “Saya sudah secara sukarela masuk the Luthwafe-angkatan udara.” jawab Heuken dalam perayaan 50 tahun dedikasinya di Jakarta.

Foto: Istimewa

Namun, tindakan sukarela tersebut gagal karena Heuken tidak dapat membedakan warna merah dan hijau. Ia pun mengubah cita-citanya untuk menjadi pastur -setelah kehilangan satu setengah tahun masa pendidikan- paska perang dunia ke II berakhir (1945).

Setelah ditahbiskan sebagai pastor dari Ordo Serikat Jesus (SJ) di Jerman pada 1961, ia ditugaskan untuk berkarya di Yogyakarta sebagai dosen. Tiga tiga tahun di sana, medio 1963 Heuken akhirnya menetap di Jakarta. Tepatnya di Jalan Muhammad Yamin, No. 37 Jakarta.

Awalnya ketika bertugas ia diminta bantu-bantu Pater Beek SJ, menjadi pastor di Paroki Mangga Besar dan mengajar di Atma Jaya. Setelah itu ia menetapkan diri sebagai seorang penulis. “Awalnya menulis buku-buku rohani, tetapi kemudian berkembang ke bidang sejarah Jakarta. ”Jakarta saya cintai sekaligus saya cemasi,” ungkapnya.

Foto: Istimewa

Jatuh Cinta Pada Jakarta

Hampir separuh usia Hauken dedikasikan untuk meneliti tentang sejarah Jakarta. Ia memang sudah tertarik dengan Batavia sejak menjadi dosen di Yogyakarta. Di sanalah ia mulai terkesan dengan buku-buku tentang Batavia sebagai kota lama.

Ketertarikan itu kian memuncak ketika di Jakarta ia menemukan gereja Portugis di dekat Stasiun Jakarta Kota. Ia bingung mengapa ada tempat ibadah Katolik yang dibangun pada 1695 di saat kotanya masih dikuasai oleh Belanda.

“Belanda melarang Katolik saat itu karena mereka Kristen Protestan,” kata Adolf. “Itulah satu-satunya gedung tua di Jakarta yang fungsinya masih sama dari awal dibangun,” ungkapnya.

Karena penugasannya di Jakarta, ia yang ditempatkan di Menteng juga memiliki tempat tersendiri. Ia penasaran mengapa rumah-rumah di sekitar Menteng bergaya Eropa? Lewat hasil penelusuran dan bacaannya inilah kemudian ia menulis buku berjudul Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia pada 2001.

Buku tersebut bukanlah karya pertama Heuken. Ia sebelumnya juga pernah menulis Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta dan Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta I-III. Semua karya tersebut ia tuliskan karena rasa ingin tahu dan penasaran.

Foto: Istimewa

Dalam artikel lain, “Adolf Heuken SJ; kamus Berjalan Kota Jakarta” Hauken yang juga menguasai berbagai bahasa seperti Jerman, Latin , Indonesia, Inggris, Perancis, Belanda dan Portugis itu dalam proses penulisannya membuat satu sampai tiga judul buku dalam satu waktu sekaligus.

Kepiawaiannya dalam menulis tersebut didukung oleh bacaannya yang mungkin mencapai ribuan. Ia memang terkenal sebagai kolektor buku aktif. Buku-buku koleksinya dibaca dan dipakainya untuk melengkapi naskah-naskah yang sedang ia kerjakan.

”Saya menulis buku dalam satu waktu untuk dua tiga judul sekaligus,” kata Heuken. ”Kalau macet, saya stop dulu, bahkan saya tinggalkan sama sekali. No,” ujarnya.

Selama hidupnya, Hauken telah menulis belasan buku. Penerbitannya ia serahkan pada Cipta Loka Caraka (CLC). Sampai awal 2017, Hauken anatara lain telah menulis 10 serial dan 6 ensiklopedia terbitan Cipta Loka Caraka. ”Saya tulis 15 judul buku tentang sejarah Jakarta, dan sekarang masih 20 buku menginspirasi saya untuk menulis sejarah Jakarta,” katanya.

Foto: Istimewa

Karya-karya sejarah Heuken antara lain seperti: Sedjarah Gereja Katolik di Indonesia, Jakarta (1971); Kamus Politik Pembangunan, Yogyakarta (1973); Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta, I-III, Jakarta (1999); Historical Site of Jakarta, Jakarta dan Singapura (2000); Menteng “Kota Taman” Pertama di Indonesia, Jakarta (2001); The Earliest Portuguese Sources for The History of Jakarta, Jakarta (2002); Seri Gedung-Gedung Ibadat yang Tua di Jakarta: Gereja, Masjid, Klenteng, Jakarta (2003); 200 Tahun Gereja Katolik di Jakarta, Jakarta (2007); 150 Tahun Serikat Jesus Berkarya di Indonesia, Jakarta (2009); Kamus Indonesia-Jerman, Jakarta (2012); Atlas Sejarah Jakarta, Jakarta (2014); Sejarah Jakarta Dalam Lukisan dan Foto, Jakarta (2017).



Berita Terkait