Ceknricek.com -- Sjahrir, tak ada orang Indonesia yang berani menyangsikan jasa-jasanya untuk negeri ini. Kebolehan sang diplomat ulung sekaligus perdana menteri pertama republik ini di pentas internasional, telah menempatkan Indonesia sebagai negeri jajahan pertama di dunia yang masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB.
Namun patut disayangkan, nasib pejuang kemanusiaan, diplomat ulung, dan demokrat sejati itu berakhir dengan kisah tragis. Entah mengapa banyak kisah orang besar di negeri ini berujung dengan cerita tragis, mengiris hati yang selayaknya tidak mereka dapatkan setelah kebesaran dan keagungan yang telah dipersembahkan untuk Indonesia.

Sjahrir. Sumber: Istimewa
Lihat saja akhir cerita Tan Malaka yang ditembak mati tentara republik. Soekarno yang meninggal dalam kesendirian dan keterasingan. Begitupun dengan Hatta hingga akhir hayatnya tidak mampu membeli sepatu Bally yang sangat diinginkannya. Bayangkan, seorang Wakil Presiden sampai tidak punya uang untuk sekadar beli sepatu bermerek.
Sjahrir yang Disingkirkan
Pertengahan Juli, tepatnya 21 Juli 1965 Sutan Sjahrir berangkat ke Zurich, Swiss untuk berobat setelah mendapat izin dari Presiden Soekarno. Meski diizinkan berobat ke luar negeri dengan biaya ditanggung pemerintah, tapi status Sjahrir tetap sebagai tahanan.

Sumber: Tribun
Beberapa hari sebelumnya Sjahrir memang ditemukan terkapar di kamar mandi Rumah Tahanan Militer (RTM) oleh tapol yang lain. Namun setelah menjalani tindakan medis, ia malah terkena stroke. Karena khawatir akan kondisi kesehatan suaminya, sang Istri, Siti Wahjunah alias Poppy beserta anak-anak turut menyertai Sjahrir terbang ke Zurich.

Sumber: Liputan6
Setelah bertahan selama 8 bulan, nasib sepertinya melengkapi garis-garis tangan sang Bung Kecil. Sjahrir mengembuskan nafas terakhir di negeri orang, pada 9 April 1966, dalam status tahanan politik yang ditetapkan mantan teman seperjuangannya sendiri. Apakah politik itu kejam, menutup mata dan hati hingga tak mengenal kawan lama dan saudara sendiri?

Jenazah Sjahrir saat singgah di Belanda. Sumber: Ngibul
Politik tidak kejam, tapi kekuasaan yang menjadi candu membuatnya menjadi kejam. Kecanduan akan kekuasaan seperti membuat lupa menjejakkan kaki di bumi. Dalam hal ini kasus Soebandrio mungkin dapat dijadikan bukti.
Soebandrio (Wakil Perdana Menteri kabinet Dwikora II) dulunya adalah pengikut Sjahrir. Pada 1945 ia adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sjahrir. Namun demi memenuhi ambisi politik yang ujungnya kekuasaan, Soebandrio menjelma menjadi lawan politik Syahrir.
Inilah ceritanya. Kalender menunjukkan tanggal 18 Agustus 1961 ketika orang-orang besar yang berseberangan dengan Soekarno berkumpul di Bali. Mereka Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Moh. Roem, Sultan Hamid II dan Soebadio Sastrosatomo. Mereka berada di sana atas undangan Anak Agung Gde Agung untuk menghadiri upacara ngabenan ayahnya. Tapi pertemuan ini akhirnya disebut sebagai konspirasi persekongkolan subversif oleh Soebandrio, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sekaligus Kepala Pusat Intelijen.
Bahkan dalam sebuah wawancara dengan wartawan Amerika, Arnold Brackman, Soebandrio menyebut, “tidak ada tempat bagi orang-orang seperti itu”. Laporan-laporan intelijen diolah Soebandrio, dan dituduhlah orang-orang besar itu ingin melawan pemerintah. Selanjutnya, dini hari 16 Januari 1962 Sutan Sjahrir ditangkap. Selanjutnya berturut-turut ditangkap Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastrosatomo dan Sultan Hamid II.
Tokoh-tokoh Masyumi seperti Moh. Roem dan Prawoto Mangkusasmito pun juga ditangkap. Penangkapan mereka mengisyaratkan Soekarno paranoid dan trauma akan kejadian PRRI-Permesta. Pada waktu itu Masyumi dan PSI-lah yang dituduh berada di belakangnya. Apalagi masa itu Soekarno sudah mulai menemukan dirinya menuju ke arah otoritarian yang cenderung diktator. Memanfaatkan kondisi ini, Soebandrio tampaknya tidak menyiakan kesempatan demi ambisi politiknya.

Sjahrir, Soekarno dan Hatta. Sumber: Intisari
Kembali ke Sjahrir. Ia memang kuat. Ketika di penjara Madiun ia pernah mengalami hyper tension yang sangat tinggi. Namun, barangkali karena telah terbiasa hidup dalam penderitaan penjara sejak masa kolonial, hal ini tidak membuatnya kolaps. Padahal menurut dokter jika hal ini terjadi pada orang lain, mungkin Sjahrir telah lama ambruk. Dari penjara Madiun, Sjahrir dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto untuk mendapat perawatan.
Setelah membaik, ia dipindahkan ke penjara di Jalan Keagungan, lalu ke Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo. Di Rumah Tahanan Militer inilah pada suatu malam, Syahrir ditemukan terkapar di kamar mandi akibat serangan stroke. Tentara pun tidak segera memberikan pertolongan medis. Keesokan harinya dia dibawa ke rumah sakit dan dioperasi. Operasi gagal dan Syahrir tidak lagi bisa bicara.

Sjahrir. Sumber: Tempo
Sjahrir di Mata Hatta dan Soedirman
Hatta, sebagai sahabat seperjuangannya ketika Sjahrir dimakamkan, dalam pidato perpisahan di TMP Kalibata menegaskan bahwa Perdana Menteri Termuda di Dunia (mungkin sampai saat ini rekor itu masih di tangan Sjahrir) ini meninggal karena korban tirani.

Sumber: Langgam.id
Sutan Sjahrir yang dalam kalbunya memendam cita-cita besar itu, hidupnya hanya berjuang, menderita, dan berkorban untuk menciptakan, supaya rakyat Indonesia merdeka dari segala tindasan.
Ia meninggal dengan tiada mencapainya. Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam perjuangan Indonesia merdeka, ikut serta membina Indonesia merdeka, tapi ia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka.
Sjahrir sang pejuang kemanusiaan, dipuji dan dicintai bahkan oleh tokoh-tokoh yang berseberangan dengannya. Lihat saja betapa Panglima Besar Sudirman yang termasuk pendukung berat Tan Malaka memuji ‘The Smiling Diplomat’ sebagai pemimpin yang jujur dan bercita-cita luhur.
Padahal, Sudirman dan Tan Malaka adalah termasuk tokoh yang menolak jalur diplomasi melawan Belanda, sementara Sjahrir lebih memilih jalur diplomasi. Tapi Sudirman pada saat-saat terakhirnya berpesan pada Sultan Hamengku Buwono IX, “jangan lupakan Sjahrir. Berjuanglah bersama dia, untuk cita-cita Indonesia”.
Sjahrir sang pemberani, bahkan tetap tertawa terbahak ketika seorang opsir Belanda menodongkan pistol ke wajahnya. Ia tidak pernah takut ditangkap dan dibuang Belanda ke tempat-tempat yang luar biasa mengerikan. Bayangkan bagaimana dia bertahan dalam usia 25 tahun diasingkan Belanda di Nieuw Guinea di tengah hutan belantara, dengan sungai penuh buaya dan nyamuk malaria.
Kenangan Sang Anak
Dihubungi wartawan ceknricek.com, Kamis (25/7), putri Sutan Sjahrir, Siti Rabyah Parvati (Upik Sjahrir) belum memberi tanggapan terkait perjalanan hidup sang ayah. Namun, dalam wawancara terdahulu dengan beberapa media ia mengatakan, tidak memiliki kenangan banyak dengan ayahnya. Yang ia ingat, kebersamaan dengan sang ayah selalu menciptakan suasana yang menyenangkan.

Siti Rabyah Parvati. Sumber: kepompong.co.id
Pada waktu Sjahrir meninggal, Upik baru berusia enam tahun. Seingat dia, setiap kali berkumpul bersama anak-anak, Sjahrir selalu terlihat bahagia. Sjahrir terkesan menikmati kehadiran mereka meski sedang di dalam penjara sekalipun. Satu hal yang baru disadari Upik sekarang, ia tidak begitu mengerti bahwa saat dipenjara sang ayah sebenarnya sedang menderita dan sangat kecewa karena ditahan oleh teman-teman sendiri, yang dulu bersama-sama dengannya mendirikan Republik ini.
Selama Sutan Sjahrir ditahan, Upik mengaku keluarga mereka mengalami banyak kesulitan. Kehidupan mereka susah. Ibunya, Poppy Sjahrir, selalu repot setiap kali akan berkunjung ke penjara karena harus mengurus izin agar bisa menjenguk suaminya. Apalagi, mereka harus naik kereta dari Solo ke Madiun.

Poppy Sjahrir dan Sjahrir. Sumber: Liputan6
Sejak umur dua tahun, Upik sudah merasakan ketidakhadiran ayahnya di tengah keluarga. Namun, Upik masih menyimpan catatan harian Sutan Sjahrir yang diketik di rumah tahanan politik di Madiun pada tanggal 3 Juni 1963.
Dalam catatan yang berjudul manusia “edel” (berbudi luhur) itu Sjahrir menulis, “Kenangan dan pikiranku sebentar-sebentar terus ke rumah, ke anak-anakku, anak-anakku yang kuingin akan lebih bahagia dan lebih baik dari diriku di kemudian hari…”.
Upik selalu mengingat, mereka bersama sebagai satu keluarga justru ketika Sjahrir dirawat di Swiss pada 1965. Namun, momen selama satu tahun itu terjadi ketika ayahnya sudah tidak bisa bicara. Setahun kemudian, Sutan Sjahrir meninggal dalam status tahanan politik.
“Ayah ke Swiss dalam status tahanan politik. Tapi ketika kembali Beliau menjadi Pahlawan Nasional. Dalam masa tahanan politik, Ayah selalu menanyakan mengapa dirinya tidak pernah diadili untuk mengetahui kesalahannya. Pertanyaan serupa juga dititipkan Ayah kepada Ibu,” ujar Upik yang juga ibu dari tiga anak ini.