Al-Kindi Filsuf Muslim Pertama | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Kajian Pemikiran Islam

Al-Kindi Filsuf Muslim Pertama

Ceknricek.com -- Ia adalah ilmuan dengan pengetahuan luar biasa yang dicap sebagai polyhistor atau polimatik di zamannya. Dalam tradisi filsafat Islam, para ilmuan setelahnya menyebut ia sebagai tokoh filsafat paripetik pertama Islam. Dialah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, yang disebut sebagai filsuf Arab pertama  yang memulai kajian terhadap filsafat serta pemikiran filsuf-filsuf Yunani kuno.

Al-Kindi  Filsuf Muslim Pertama

Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi atau dikenal dengan nama Al-Kindi merupakan keturunan asli Arab, dan karenanya ia disebut sebagai filsuf Arab yang berasal dari suku Kindah. Nasab Al-Kindi bila ditelusuri lebih jauh dapat dilacak hingga pangeran Kindah lama, meskipun nama yang disandangnya masih belum dipastikan apakah berasal dari nama pangeran tersebut atau bukan.

Suku Kindah merupakan suku yang tinggal di bagian Arab Selatan, yang dalam banyak hal jauh lebih maju dibandingkan dengan suku-suku lain dalam peradaban luar. Banyak keluarga Kindah yang juga sudah lama menjadi penduduk Irak (Babilonia). Di sinilah, di kota Kuffah, menurut riwayat, Al-Kindi dilahirkan dari ayah yang seorang gubernur, pada permualan abad ke-9. 

Sumber: Boombastis

Al-Kindi mendapatkan pendidikan di Basrah, kemudian di Baghdad, yang pada masa itu merupakan pusat-pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan Islam. Selama di Baghdad, Al-Kindi sangat menghargai peradaban Persia, kebudayaan Arab kuno, dan pemikiran Islam yang berkembang pada zaman itu, serta filsafat Yunani. Bahkan tanpa ragu ia menyatakan, Kakhtan (nenek moyang orang Arab Selatan) merupakan suadara Yaunan (asal muasal nenek moyang orang Yunani). Dari sinilah ia akhirnya berupaya untuk menghubungkan nilai-nilai Islam dengan filsafat Yunani.

Tentu saja pemikiran Al-Kindi pada waktu itu mendapatkan pertentangan dari ulama-ulama di zamannya, namun Al-Kindi tetap mempertahankan pemikirannya. Baginya, justru dengan filsafat, ajaran keagamaan yang mulanya doktriner, dapat dipahami lebih mudah, dan masuk akal. Dia pun akhirnya memerlihatkan kepada umat Muslim bahwa ilmu filsafat sejalan dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam beragam cara Al-Kindi memang memiliki kaitan dengan para pakar dialektika Mu'tazilah, yakni kelompok yang menjunjung tinggi rasionalitas dan semangatnya yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan.

Sumber: BBC

Boer, di buku sejarah filsafat dalam Islam (2019;138) menuliskan, sangat mungkin untuk meyakini pandangan Al-Kindi bahwa nenek moyang orang Arab Selatan bersaudara dengan nenek moyang orang Yunani, karena di Bagdad, pada masa itu (dinasti Abbasiyah) mereka tidak mengenal konsep kewarganegaraan, dan sangat menghormati orang-orang Yunani kuno.

Karya dan Pemikiran

Berbagai karya Al-Kindi ditulis ketika dia “mendiami” istana pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim pada tahun 218 H (833 M). Ketika itu, dia bertanggungjawab untuk memberi pendidikan privat kepada putra Al-Mu’tashim, yaitu Ahmad ibn Al-Mu’tashim. Dalam riwayat lain, ia disebut sebagai penerjemah karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab, serta merevisi karya-karya terjemahan yang diterjemahkan orang lain, dalam salah satu kasusnya adalah Teologi Aristoteles, yang diselesaikan oleh sejumlah pelayan dan muridnya.

Dalam buku Ibn Nadim yang berjudul “Al-Fihrits” disebutkan, Al-Kindi telah menulis lebih dari 230 buku. Sementara George N. Atiyah mengatakan, Al-Kindi menulis gagasannya tentang berbagai hal hingga mencapai 270 karya, yang kebanyakan pikiran tersebut berupa makalah. Karya-karya filsafat yang ditulis Al-Kindi penuh dengan ketelitian dan kecermatan, khususnya dalam memberikan sejumlah batasan makna istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat.

Selain menulis dalam filsafat, Al-Kindi juga menulis di bidang musik, diantaranya al-Kubra fi al-Ta’lif (Mengenai Harmoni), Tartib an-Nagham al-Dallah ala Taba’i al-Ashkhas al-Aliyah wa Tasyabuhal-Ta’lif (Mengenai Tata Nada yang Menunjukkan Sifat Benda Langit dan Kemiripan Harmoni), dan al-Madkhal ila Sina’at al-Musiqi (Pengantar Seni Musik).

Sumber: BBC

Ada juga al-Iqa (Keselarasan Bunyi), Khabar Ta’lif al-Alhan (Seni Penyusunan Melodi), Sina’at al-Shi’r (Seni Syair), al-Za’ Khabariyyah fi al-Musiqa (Bagian-bagian Pengetahuan Musik), al-Mukhtasar al-Musiqa fi Ta’lif al-Nagham wa Sina’at al-Ud (Ikhtisar Musik Mengenai Komposisi Nada dan Pembuatan Gitar), dan Risalah Fi al-Luhun wa al-Naghmi. Kata 'al-Musiq' dalam beberapa kitab al-Kindi tersebut dipercaya sebagai asal usul dari kata ‘musik’ atau ‘music.’

Sementara itu, Al-Kindi juga menulis beberapa kitab mengenai pengobatan seperti al-A’rad al-Hadithath minal-Balgham wa ‘Illah Mawt al-Fuja’ah (Mengenai Kejang Akibat Lendir dan Penyebab Kematian Mendadak) dan Risalah Fi Ma’rifat Quwa al-Adwiya al-Murakkaba yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, De Medicinarum Compositarum Gradibus Investigandis Libellus (Penyelidikan atas Keampuhan Campuran Obat), sebuah kitab yang membahas dosis obat-obatan.

Dari berbagai karangan tersebut, Al-Kindi sangat dipengaruhi paham eklektisme, yaitu suatu paham pemikiran atau kepercayaan yang tidak memergunakan atau mengikuti metode apa pun yang ada, melainkan mengambil apa yang paling baik dari berbagai buah pikiran para pemikir sebelumnya. Karena itulah, pikiran-pikiran filsafat Al-Kindi banyak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf Yunani, yakni Aristoteles, Plato, dan Pythagoras yang digabungkan satu sama lain.

Menurut Al-Kindi, tidak ada seorang pun yang dapat menjadi filsuf tanpa belajar matematika. Untuk itulah permainan fantastik berupa huruf-huruf dan angka-angka seringkali dapat ditemukan di dalam tulisannya. Ia bahkan menerapkan matematika pada kedokteran dalam teorinya tentang senyawa obat. Lantaran gagasan dan doktrin inilah, Cardan, seorang filsuf Renaisans, memasukkan Al-Kindi sebagai salah satu dari 12 pemikir yang memiliki konsep pemikiran yang paling rumit dan detail.

Tuhan dan Akal

Dalam menjelaskan keberadaan Tuhan, Al-Kindi mendasarkan pada penciptaan alam. Menurutnya, Tuhan adalah hakikat kebenaran pertama (al-haqq al-awwal), yang tidak lain merupakan filsafat yang paling tinggi dan sebab dari semua kebenaran.

“Keteraturan alam inderawi ini tidak mungkin terjadi, kecuali dengan adanya Zat yang tidak terlihat, dan Zat yang tidak terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan ada-Nya. Argumen yang demikian disebut dengan argumen teleologik,” ungkap, Al-Kindi.

Secara sederhana, Al-Kindi sebenarnya ingin menjelaskan bahwa alam semesta adalah karya Tuhan, namun pengaruh Tuhan ditransmisikan melalui banyak agensi perantara segala makhluk yang hidup di dalamnya, serta bagaimana keteraturannya. Dia menjelaskan, tidak mungkin keanekaan wujud alam ini tanpa ada kesatuan, demikian pula sebaliknya, tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan. Inilah nantinya yang akan mewujud dalam sebuah teori kausalitas atau hukum sebab akibat yang meliputi segala hal dan memungkinkan manusia untuk meramalkan masa depan.

Teori Al-Kindi tentang pengetahuan sebenarnya berkaitan dengan dualitas etik dan metafisik, atau pengetahuan inderawi dan pengetahuan spiritual. Menurut teori ini, pengetahuan disampaikan oleh panca indera atau pengetahuan, yang diperoleh oleh akal dan sesuatu di antaranya (fantasi, imajinasi) yang disebut sebagai fakultas pertama. Panca indera dalam hal ini memahami yang partikular, atau bentuk materialnya, namun akal memahami yang universal sekaligus bentuk spiritualnya.

Sumber: Aazon

Dari sinilah kemudian untuk pertama kali muncul doktrin tentang akal, atau ruh, atau pikiran, dan nalar (‘aql) dalam bentuk yang hanya dengan sedikit perubahan dan menduduki sebagian besar pemikiran filsuf muslim di waktu kemudian. Pengaruh Al-Kindi sebagai guru dan pengarang inilah akhirnya banyak dirasakan dalam berbagai bidang, terutama matematika, astrologi, dan kedokteran.

Dari sekian banyak muridnya, yang paling setia dan paling menonjol adalah Ahmad bin Muhammad Al-Tayyib Al- Syarakhsi. Seorang alkimia, astrolog, yang juga melakukan kajian dalam bidang geografi dan sejarah. Selain itu, ada juga Abu Mashar yang memiliki reputasi luar biasa dalam bidang astrologi, yang meskipun dikemudian hari ia menjadi penentang filsafat yang paling fanatik.

Sumber: Harian Sejarah

Tahun kematian Al-Kindi hanya sedikit diketahui sebagaimana riwayat kelahirannya yang simpang siur. Wikipedia menuliskan kematiannya di tahun 873 M, dengan didukung dengan data dari tulisan Boer, yang  menurutnya memang Al-Kindi hidup hinga tahun 870-an M. (wallahualam).



Berita Terkait