Ceknricek.com -- Pada hari itu, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo menyedot perhatian umat Islam Indonesia. Maklum saja, di pesantren yang didirikan Kiai Syamsul Arifin pada 1908 ini, tengah dihelat Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama (NU). Munas itu sejatinya biasa saja. Luar biasanya, yang dibahas dalam Munas adalah mengenai sikap NU atas asas tunggal Pancasila.

Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo. Sumber: Istimewa
Banyak organisasi Islam lain kala itu, menanti keputusan Munas NU: apakah akan menolak atau menerima asas tunggal. Sebelumnya, sikap NU cukup jelas dalam menyikapi P-4 dan aliran kepercayaan. Pada Sidang Umum MPR 1978, Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) yang dipelopori unsur NU, melakukan aksi walk out karena menolak dimasukkannya aliran kepercayaan dalam Garis-garis Besar Halunan Negara (GBHN) serta Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR).
Sebelum munas, sejumlah organisasi massa Islam juga sudah mengirim surat ke NU agar organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu menolak asas tunggal Pancasila. Surat seperti itu antara lain dikirim Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Surat senada juga datang dari para ulama Madura.
Tatkala forum munas sampai pada pembahasan tentang asas tunggal, Kiai Achmad Siddiq langsung diserang oleh mayoritas peserta sidang sub-komisi yang membahas masalah tersebut. Serangan itu datang, begitu Kiai Siddiq mempromosikan tentang perlunya NU menerima asas tunggal. Dari 36 peserta sidang sub-komisi itu, menurut Kacung Marijan dalam Quo Vadis NU? (1992), hanya dua orang yang memberikan dukungan gagasan Kiai Achmad Siddiq.
M. Ali Haidar dalam Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik (1994), mengungkap tokoh-tokoh NU penganjur gagasan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal tidak menduga begitu kerasnya reaksi yang muncul dari peserta Munas.
Mayoritas yang keberatan munas menerima asas tunggal itu mendasarkan pertimbangan syariat dan persoalan praktis karena dianggap terlalu dini. Penolakan peserta munas terhadap gagasan penetapan asas tunggal Pancasila bagi NU umumnya berangkat dari kekhawatiran akan hilangnya identitas Islam, sebab orientasi Islam bagi orgasisasi sosial keagaman seperti NU menjadi jiwa dan denyut napasnya.
Tanpa Islam tidak lagi berarti bagi NU. Bahkan salah seorang peserta menolak inti makalah tentang Pancasila itu dan menuduh sikap menerima Pancasila sebagai tindakan murtad.

Upacara lahir pancasila. Sumber: Istimewa
Argumentasi Kiai Achmad Siddiq untuk mempengaruhi anggota sidang selalu mentah. Kiai Siddiq baru berhasil membujuk mereka setelah mengatakan, penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas telah memperoleh restu dari Kiai As’ad, Kiai Machrus Ali, Kiai Ali Maksum, dan Kiai Masykur.
Maka pada 16 Rabi’ul Awwal 1404 H bertepatan dengan 21 Desember 1983, Munas NU akhirnya menelurkan deklarasi yang intinya menerima asas tunggal Pancasila. Suatu rumusan kompromistis berhasil dituangkan dalam suatu deklarasi:
Pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
Kedua, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut keimanan dalam Islam.
Keputusan Situbondo menyangkut penerimaan asas tunggal dan penarikan NU dari kegiatan politik praktis itu, secara simbolis NU mulai mengalami proses depolititisasi dan deradikalisasi. Setelah itu perpolitikan NU menuju arah baru.
Perubahan besar di tubuh NU ini memberi ruang yang luas bagi tokoh-tokoh muda NU yang dipelopori Abdurrahman Wahid atau Gus Dur untuk memainkan peranannya lebih lincah. Mereka ini disebut “kelompok pembaru”. Kelompok ini, semakin intensif melakukan pendekatan ke pejabat-pejabat negara.
Unifikasi Ideologi
Selanjutnya, mari kita agak mengais sedikit tentang argumen Presiden Soeharto yang berkehendak menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Aminudin dalam Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, mengungkap, semua ini di mulai pada 16 Agustus 1982.
Kala itu, dalam pidato kenegaraannya di hadapan DPR, Presiden Soeharto mengemukakan gagasannya menerapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia. Sebagai kelanjutan dari gagasan unifikasi ideologi itu, pada tahun berikutnya pemerintah mengajukan rancangan undang-undang organisasi sosial dan politik.

Pidato Presiden Soeharto. Sumber: Goodnewsfromindonesia
Nah, selanjutnya, menurut Martin Van Bruinessan dalam Tradisi Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wanaca Baru (1994), rezim Orde Baru memaksa NU mengambil pilihan yang jelas antara oposisi atau akomodasi. Pada awal dekade 1980-an itu, berkali-kali Soeharto mengulangi tema pembicaraan yang sama, kesetiaan kepada ideologi-ideologi lain selain Pancasila sama dengan tindakan subversi.
Segera setelah draft penerapan asas tunggal itu terpublikasikan, muncul reaksi yang beragam di tengah masyarakat. Para pemimpin politik Islam umumnya terpolarisasi dalam menyikapi rencana asas tunggal tersebut. PB HMI menyatakan penolakannya. Abdul Qadir Djailani dalam Musuh-musuh Islam Melakukan Offensif (1987) merinci pokok-pokok pikiran PB HMI tentang RUU organisasi politik dan kemasyarakatan yang disampaikan kepada DPR-RI antara lain sebagai berikut:
“Pancasila sebagai satu-satunya asas hanya dibenarkan dalam konteks kehidupan bernegara. Hal ini sesuai dengan pengertian Pancasila yang sebenarnya sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam kehidupan bermasyarakat, sesuai dengan fitrah kebhinekaan masyarakat Indonesia yang menganut berbagai agama, maka dasar-dasar kehidupan masyarakat yang beragam tersebut tidak dapat dihilangkan dengan cara apa pun. Ini berarti masyarakat baik secara individu maupun berkelompok, hak-hak warga negara untuk menetapkan dan melaksanakan kehidupan berdasarkan agamanya masing-masing harus mendapat perlindungan hukum.”
Pancasila tidak akan dan tidak boleh dianggap sebagai pengganti agama-agama yang ada. Bagian penjelasan dari RUU menyebutkan, “asas tunggal tidak akan mengakibatkan Pancasila menjadi sebuah agama atau agama tidak akan di-Pancasilakan”.
Sikap Muhammadiyah
Sementara itu, Muhammadiyah bersikap menunggu hingga RUU parpol dan ormas itu diputuskan menjadi undang-undang. Din Syamsudin, dalam Muhammadiyah dan Rekayasa Politik Orde Baru (1990), menjelaskan pandangan politik Muhammadiyah atas persoalan asas tunggal adalah mengusulkan diberikannya penegasan bahwa “Pancasila bukan agama dan agama tidak di Pancasilakan” dalam UU keormasan itu.

Din Syamsudin. Sumber: Detik.com
Selanjutnya Miftah H. Yusufpati dalam Membangun Citra Islam (2007) menjelaskan, Muhammadiyah semakin mantap ketika ada jaminan dari Presiden Soeharto bahwa Pancasila bukan agama dan agama tidak akan dipancasilakan. Maklumat ini disampaikan Soeharto dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1985. Dengan maklumatnya ini, Soeharto telah melakukan rasionalisasi terhadap ideolog negara (rationalization of state ideology) sehingga mampu mencairkan ketegangan konseptual yang bersumber dari kekhawatiran adanya mitos pensejajaran antara agama dan Pancasila.
Kemudian Muhammadiyah dalam Muktamar pada Desember 1985 secara resmi menerima Pancasila sebagai asas organisasi tanpa disertai gejolak yang berarti. Lancarnya penerimaan asas tunggal di Muhammadiyah, menurut Din Syamsuddin, dimungkinkan karena peranan kelompok pembabaharuan di Muhammadiyah yang dimotori oleh Amien Rais.
Amien Rais memiliki kesamaan pandangan dengan Dawam Rahardjo yang melihat Islam di atas ideologi. Yang dimaksudkan adalah meletakkan Islam dan Pancasila pada tempatnya, yakni yang satu (Islam) berada dalam kategori wahyu dari Tuhan dan yang lain (Pancasila) dalam kategori ideologi ciptaan manusia sehingga memiliki kedudukan berbeda. Oleh karena itu, umat Islam bisa saja dengan mudah menerima Pancasila sebagai ideologi bermasyarakat dan bernegara.
DPR akhirnya mengesahkan UU No. 3/1985 yang menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas Parpol. Dari sini tertutuplah peluang untuk menjadikan Islam sebagai asas parpol, apalagi untuk diperjuangkan sebagai dasar negara.
Hanya saja, UU yang kontroversial ini akhirnya dicabut pada 2013. "Asas tunggal sudah tidak ada, kita hapus. Kita ingin redaksi direvisi UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas memang asas yang sama dengan UU Parpol," kata Ketua Pansus Revisi UU Ormas, Abdul Malik Haramain, 5 April 2013.
UU Parpol mengatur asas dasar Pancasila dan UUD 1945 dan diperbolehkan memasukkan asas lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Jadi, tidak ada lagi klausul asas tunggal Pancasila.