Ceknricek.com--Sebuah berita di media online (https://www.instagram.com/p/DltpCKtShUI/?igsh=dHdlZ3hvcj-QweXUx) yang mengejutkan banyak pihak, khususnya yang terkait penyelenggaraan Pendidikan Spesialis. Dalam berita itu ada pernyataan dari Inspektorat Jendral kemenkes, drg. Murti Utami yang menyatakan bahwa Kemenkes telah mengirimkan surat rekomendasi kepada 3 perguruan tinggi untuk menghentikan sementara waktu program studi mereka (Senin, 21/4, di Kantor Kemenkes). Pertama adalah Prodi Anestesi di RS Kariadi, kedua Prodi Penyakit di RSU Kandou, dan terakhir Prodi Anestesi di RS Hasan Sadikin.
Sampai saat ini, berdasarkan atas UU Dikti No. 12/2012, Universitas dalam hal ini Fakultas Kedokteran adalah tuan rumah dan pemilik sah dari semua program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang ada, termasuk ke tiga prodi dimaksud, dan secara administratif membawahi semua peserta didik PPDS. Surat Dirjen Yankes No. TK. 02.02/D/44137/2024, tg 14/8/2024 tentang Pemberhentian Program Anestesi Undip di RS Dr.Kariadi patut dipertanyakan. Demikian pula yang terjadi setahun lalu dengan Instruksi Menkes (IMK) No. HK.02.01/Menkes/1512/2023 tentang bullying. Keputusan menghentikan tiga program studi, masing-masing dengan lebih dari 80 orang peserta didik, selain melampaui kewenangannya, jelas berdampak jauh lebih buruk daripada masalah yang hendak diatasi.
Menteri kita yang satu ini terus saja berulah menebar Hoaks dan Fitnah lewat berbagai narasi terkait dokter, profesi dokter, sains medis, dan terakhir juga tentang Pendidikan Profesi Dokter Spesialis. Jejak digital narasi busuk sang menkes muncul di detikHealth, Minggu 29 Jan 2023, dengan menyalahkan IDI sebagai ‘biang kerok’ kurangnya produksi dokter, dan kegagalan distribusi dokter (Rapat Kerja BGS dengan Komisi IX DPR RI, Selasa 24 Januari 2023), padahal semua itu adalah wajah buruk dari kegagalan tugas menkes untuk membuat perencanaan dan pemetaan terkait kebutuhan dokter di Indonesia. Pernyataan menkes bahwa pemerintah tidak memiliki kewenangan dalam mendistribusikan dokter adalah bohong/ hoaks/ fitnah. Berdasarkan UU No. 36/2014 tentang Nakes, pasal 13 dan 25, distribusi dokter berada di tangan pemerintah pusat dan Pemda, bukan IDI.
Dalam unggahan TikTok @drtonysetiobudi sekitar Mei 2023, berjudul ‘Pemerasan terselubung di dunia kedokteran’, menkes mempertanyakan mengapa harus ada STR dan SIP, kenapa tidak disatukan saja, kenapa perlu di revalidasi setiap 5 tahun. Bahkan menkes ‘menuduh’ adanya pemerasan terselubung terkait jumlah dana yang besar dalam pengurusan STR (6 juta per 5 tahun untuk seorang spesialis, dikalikan 75 ribu orang, jumlahnya 450M).
Ini hoaks yang nyata, karena biaya pengurusan STR hanya 300 ribu setiap lima tahun, dan masuk ke kas negara sebagai PNBP. Tapi sebagai anggota perhimpunan Spesialis Bedah Saraf, juga beberapa perhimpunan spesialis lain, ada kewajiban iuran bulanan sebesar 100 ribu, atau 1,2 juta setahun, jumlahnya jadi 6 juta setiap 5 tahun. Besaran iuran adalah urusan internal organisasi kami, dan menkes tidak punya hak untuk masuk ke ranah ini. Terpisahnya STR dan SIP serta revalidasi setiap 5 tahun adalah perintah UU 29-2004, bukan kehendak IDI, apalagi pengurus IDI.
Semua tuduhan di atas adalah fitnah keji, yang tidak pernah diklarifikasi, dan ditujukan untuk merusak marwah dan kepercayaan masyarakat kepada dokter Indonesia. Dokter Indonesia tidak mungkin mengkhianati para pendahulunya yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa ini sejak masa Sumpah Pemuda 1908, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga saat menghadapi Pandemi Covid-19 dengan korban mati ribuan dokter dan nakes lain.
Penghentian Prodi Anestesi Undip terkait Kematian Dr ARL, menkes ambil alih secara paksa tugas Polisi, Jaksa, dan sekaligus menjadi Hakim
Terkait dengan meninggalnya dr. Aulia Risma Lestari (ARL), peserta didik PPDS Anestesi FK Undip, pada tgl 13/8/2024, menkes langsung merespon cepat dengan Surat No. TK. 02.02/D/44137/2024, tg 14/8/2024 yang ditanda-tangani dan dibawa langsung oleh dirjen Yankes, tentang Pemberhentian Program Anestesi Undip di RS Dr.Kariadi, sehubungan dengan dugaan terjadinya perundungan, yang menyebabkan terjadinya bunuh diri pada salah satu peserta didik PPDS. Tuduhan bahwa Dr. ARL mati karena bunuh diri sudah dinyatakan menkes sejak awal peristiwa ini, padahal sampai detik ini belum ada bukti dari pernyataan polisi maupun persidangan yang bahkan hingga saat ini belum dimulai.
Bunuh diri adalah sebuah kejadian kematian yang tidak wajar, dan Kepolisian adalah pihak yang paling bertanggung-jawab untuk melakukan penyelidikan dan dari fakta-fakta yang ada tentang sebab kematian dan keterkaitannya dengan peristiwa bullying. Sampai dengan hari Jum’at 16/8/2024 Kapolrestabes Semarang menyatakan tidak ada bukti terkait perundungan dalam kematian dr. ARL. (https://youtu.be/8vwS3bkVfvo?si=WWAEMhH8ociykbet), dan sebelumnya hari Kamis tgl 15/8/2024 dari pihak keluarga, melalui pengacaranya membantah bahwa kematian dr. Aulia disebabkan oleh bunuh diri (https://www.detik.com/jateng/berita/d-7494074/keluarga-bantah-mahasiswi-kedokteran-undip-tewas-bunuh-diri). Bahkan terakhir, Kepolisian menyatakan bahwa sebab kematian dr.Aulia adalah pemakaian obat anti nyeri/ pelemas otot dengan dosis berlebih (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240817173502-20-1134313/polisi-sebut-over-dosis-obat-suntik-di-kematian-dokter-muda-ppds-undip).
Masyarakat luas mesti tahu bahwa sejak awal kasus ini terjadi, bahkan sebelum dimulainya penyelidikan oleh kepolisian, menkes secara sefihak telah mengambil alih peran sebagai polisi, sebagai Jaksa, dan sekaligus juga sebagai Hakim yang menjatuhkan hukuman. Hukuman yang dijatuhkan, selain menghentikan kegiatan pembelajaran Prodi Anestesi Undip di RS Kariadi, juga tindakan intimidasi berupa pemberhentian tanpa alasan (mulai Rabu 28/8/2024), aktifitas Dekan FK Undip selaku dokter pemberi layanan bidang Bedah Onkologi di RS Kariadi (menghentikan pelayanan medis spesialistik tanpa alasan). Bahkan dalam proses tindak lanjut peristiwa ini, terkuak adanya konflik kepentingan menkes, karena keluarga dr. ARL ternyata didampingi oleh penasehat hukum (Misyal Achmad, SH) yang sekaligus juga anggota Dewan Pengawas salah satu RS Kemenkes di Makassar, berdasarkan atas Kepmenkes No. HK.01.07/Menkes/574/2024.
Kebijakan menkes bikin PPDS stres sampai ingin bunuh diri, tapi Prodi dan Universitas di-Framing Buruk, lalu dimana letak tanggung-jawab menkes?
Meski dari pihak Undip, melalui Siaran Pers No. 647/UN7.A/TU/VIII/2024 tg 15/8/2024 telah membantah adanya perundungan, tetap saja bahwa surat menkes No. TK.02.02/D/44137/2024 adalah sebuah Framing Buruk dan Tuduhan tanpa bukti kepada Institusi Universitas Diponegoro. Dr. ARL adalah penerima beasiswa Tunjangan Belajar (Tubel) Kemenkes melalui RSUD Kardinah, Tegal. Terkait dengan Tubel ini, calon PPDS mendaftar melalui RSUD untuk bidang spesialis yang dibutuhkan oleh RSUD tsb. Bisa jadi pilihan bidang tidak sesuai dengan passion/ keinginan peserta didik, melainkan mengikuti bidang yang paling dibutuhkan oleh RSUD. Saat mendaftar, ybs mesti membuat pernyataan a.l. Tidak akan mundur dari program, dan bila mengundurkan diri akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan (SE No. HK.02.02/F/1845/2024).
Sanksi terkait Tubel ini termuat dalam Permenkes No.37-2022 tentang Bantuan Biaya Pendidikan Kedokteran dan Fellowship. Pada pasal 55 ayat 2, tertulis sanksi bagi yang mundur atau tidak menyelesaikan pendidikan diharuskan mengembalikan biaya pendidikan sebesar 5x (Lima Kali) jumlah biaya yang telah dikeluarkan selama masa pendidikan bagi peserta program dokter spesialis, dan 10x (Sepuluh Kali) bagi peserta program dokter Subspesialis. Terlihat di sini menkes menganggap para penerima beasiswa/ tubel ini seolah telah menyerahkan hak hidupnya kepada kemenkes sehingga mereka tidak punya pilihan selain menyelesaikan PPDS nya atau membayar denda sebesar 5-10 kali biaya yang sudah mereka terima.
Bagi mereka yang terpaksa tidak dapat menyelesaikan studi, maka pilihannya adalah mundur tapi harus bayar denda bak hutang pada rentenir/ lintah darat, atau mati agar bebas dari sanksi bayar ‘pinjaman’ dengan bunga 500-1000% (sesuai Permenkes 37-2022). Coba bandingkan dengan beasiswa LPDP yang tidak mewajibkan pengembalian bagi yang mundur karena sakit, dan bagi yang gagal studi hanya mengembalikan sesuai jumlah yang sudah diterima tanpa ada tambahan bunga sepeserpun (https://tinyuri.com/PengunduranDiriLPDP).
Bagi penerima tubel kemenkes, kewajiban mengembalikan dana 5-10 kali lipat bila studi tidak selesai, bisa jadi merupakan beban berat dan penyebab utama stres yang kemudian mendorong keinginan untuk mengakhiri hidup. Almarhumah dr. ARL, saat akhir semester 2, pernah menyampaikan kepada dosennya terkait keinginan untuk mengundurkan diri dari program PPDS, tetapi hal ini ditolak oleh sang ibunda karena kewajiban pengembalian Tubel yang jumlahnya sekitar 400 juta rupiah. Kenginan untuk mundur ini menyeruak lagi saat akhir semester 4, terkait dengan sakit yang dideritanya sehingga mengganggu mobilitasnya. Lagi-lagi keinginan mundur ini tidak disetujui oleh sang ibu, karena beban pengembalian denda Tubel yang semakin tinggi, mendekati 750 juta rupiah, Astaghfirullahaladzim.
Beban Kerja PPDS berlebih adalah akibat langsung kebijakan menkes, mengapa mesti cari Kambing Hitam?
Di satu sisi, menkes menganggap para PPDS/ Residen jam kerja nya berlebih, hingga rentan untuk dieksploitasi dan banyak yang mengalami stress, tapi disaat yang sama kemenkes menjadikan RS Kemenkes bak BUMN Kesehatan sebagai sumber revenue pemerintah (seperti Pemda menjadikan RSUD sebagai sumber PAD). Tuntutan menkes agar penghasilan RS Vertikal semakin meningkat, telah memaksa RS untuk menambah jam kerja dan jumlah layanan, tanpa diikuti penambahan jumlah dokter spesialis, perawat, dan nakes lain.
Fakta membuktikan bahwa Kamar Bedah dan Farmasi RS adalah sumber pemasukan terbesar bagi Rumah Sakit. Perintah sang Juragan agar RSV meningkatkan revenue ini, di RS Dr Kariadi, direalisasikan dalam bentuk Surat Edaran (SE) No. HK.02.03/1.1/7206/2021, tanggal 21 September 2021, tentang Jam Pelayanan Tindakan Operasi Elektif/ Terprogram dan Emergensi di Instalasi Bedah RS Dr. Kariadi. Dengan SE ini, jam operasional kamar bedah berubah menjadi 24 jam dengan 3 (tiga) shift Perawat Kamar Bedah (sebelumnya hanya 2 shift). Jika sebelumnya operasi di luar jam kerja hanya untuk kasus emergensi/ gawat darurat, maka dengan SE ini tidak ada lagi batas antara jam kerja dengan di luar jam kerja.
Dokter Spesialis Anestesi bertugas mengelola tindakan bius dan mendampingi semua dokter yang melakukan pembedahan (Spesialis Bedah, Bedah Saraf, Bedah Tulang, Bedah Jantung, Bedah Onkologi, Bedah Digestif, Bedah Anak, Obstetri dan Ginekologi, Mata, dan THT). Di RS Kariadi, ada 16 Kamar Bedah Terprogram, 2 Kamar Bedah Emergensi, dan 4 Kamar Bedah Day Surgery (operasi yang tanpa rawat inap), jadi total ada 22 Kamar Bedah dengan total 120-140 tindakan operasi setiap hari. Belum lagi tanggung-jawab mengawasi lebih dari 40 pasien ICU, menerima pasien UGD dengan kegawatan tinggi (Label Merah), pasien anak yang perlu foto MRI, serta pasien- pasien yang akan menjalani terapi Radiasi (Radioterapi). Padahal jumlah dokter spesialis anestesi di RS Kariadi cuma ada 18 orang saat itu, jadi jelas tidak masuk akal bila ke 12—140 tindakan operasi tersebut bisa terlaksana tanpa peran dokter PPDS.
Hampir semua RS Pendidikan adalah RS Kemenkes, yang secara hirarki langsung berada di bawah Dirjen Yankes. Jadi, beban kerja para PPDS selama mengikuti proses magang/ pendidikan amat tergantung pada banyaknya pasien yang dirawat di RS tersebut. Sebagaimana di RS Kariadi, membuka layanan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu ini pasti akan berimbas langsung pada bertambahnya eksploitasi para PPDS terkait jam kerja dan beban kerjanya. Pernyataan banyak dirut RSV yang mengatakan bahwa RSV bisa beroperasi tanpa ada tenaga kerja gratis alias budak PPDS adalah omong kosong alias hoaks.
Akibatnya, PPDS Anestesi sama sekali tidak punya waktu untuk meninggalkan pasien yang sedang diawasinya, di kamar bedah maupun di ruang pemulihan, sekedar untuk makanpun susah, apalagi beristirahat, apalagi dengan operasional kamar bedah 24 jam. Di RS Kariadi. Setidaknya, situasi ini diduga kuat punya andil terhadap beban Fisik dan Psikis yang dialami oleh para PPDS bidang spesialis yang terkait dengan Kamar Bedah, dan kematian dr. ARL adalah Collateral Damage dari sistem kerja RS Kemenkes yang semakin Tidak Manusiawi, demi mengejar tuntutan sang Juragan untuk berburu Cuan semata. Orientasi mengejar Cuan dengan menjadikan orang sakit sebagai obyek bisnis ini terpampang nyata pada Instruksi Direktur Tatakelola Nakes, Ditjen Yankes, kepada seluruh Direktur Utama RS Kemenkes No. TK.04.01/D.IV/795/2024 tentang Pengukuran Produktivitas Dokter Spesialis dan Utilisasi Alat Kesehatan.
Dari uraian beberapa bukti tersebut di atas, mulai dari Permenkes No.37-2022 tentang pengembalian biaya Tubel dengan denda 500-1000 % yang jauh lebih jahat dan lebih kejam dari rentenir/ pinjol, Surat Edaran (SE) Dirut RS Kariadi No. HK.02.03/1.1/7206/2021 tentang jam operasional Kamar Bedah menjadi 24 jam, sampai pada Instruksi Direktur Tatakelola Nakes No. TK.04.01/D.IV/795/2024 tentang Pengukuran Produktivitas Dokter Spesialis dan Utilisasi Alat Kesehatan, semuanya memiliki andil atas hilangnya nilai Moral dan Etika Profesi di RS Kemenkes yang sekaligus juga RS Pendidikan bagi semua PPDS. Sekecil apapun, hilangnya nilai moral dan Etika Profesi ini memiliki peran atas terjadinya berbagai pelanggaran Etika dan Disiplin Profesi sampai Tindak Kriminal/ Kekerasan Seks yang marak terjadi di lingkungan RS Kemenkes.
Penutupan tiga Prodi Spesialis di Undip, Unsrat, dan Unpad, upaya menkes untuk tampil bak Pahlawan, padahal dia patut diduga punya Andil sebagai Aktor Intelektual di balik semua yang terjadi.
Kekerasan fisik yang berbuntut kematian taruna/ peserta didik juga pernah terjadi, bahkan berulang di STPDN atau AKPOL, serta Sekolah Tinggi Perhubungan Laut, dan tidak diikuti oleh Penutupan Institusi Pendidikan tersebut. Adanya Korupsi yang dilakukan oleh pejabat setingkat Menteri terjadi di banyak Kementerian termasuk kemenkes. Kejadian ini, bahkan setelah terbukti dan pelakunya dihukumpun, tidak diikuti dengan Penutupan Kementerian terkait. Bisa jadi upaya menkes menutup ketiga prodi spesialis di Undip, Unsrat, dan Unpad tersebut adalah usaha untuk menyalahkan model Pendidikan PPDS yang berjalan saat ini, membebankan tanggungjawab pada Kampus/ Universitas sebagai pemilik Prodi, dan secara populis mengambil kesempatan untuk pencitraan diri sebagai sosok pahlawan pembawa perubahan, padahal sesungguhnya selaku menkes, dia sendirilah yang menjadi aktor intelektual/ tersangka utama yang harusnya paling bertanggungjawab, sehingga layak untuk dicopot dari jabatannya selaku menkes.
Semua narasi menkes yang bersifat tuduhan terkait IDI (pemerasan dalam pengurusan STR maupun SKP), maupun terkait bullying (pemalakan peserta didik oleh seniornya dan/ atau dosennya) yang tidak pernah di klarifikasi kebenarannya, sebenarnya bisa digolongkan dalam bentuk bullying verbal (https://perundungan.kemkes.go.id) (lampiran Instruksi Menteri Kesehatan No. HK.02.01-Menkes/1512/2023 Bab II No. 2: tindakan mempermalukan, merendahkan, mencela/ mengejek, dan Atas dasar lampiran IMK tersebut di atas, semua narasi menkes yang bersifat tuduhan terkait IDI (pemerasan dalam pengurusan STR maupun SKP), penerimaan peserta didik atas dasar ‘darah biru’ dan hubungan keluarga (KKN), serta tuduhan tanpa bukti pada institusi Undip terkait kematian dr. Aulia, yang tidak pernah di klarifikasi kebenarannya, adalah bentuk bullying verbal. Dari sudut pandang tupoksi menkes, ini menggambarkan sikap dan tindakan yang tidak professional, tidak berdasarkan atas meritokrasi dan logical thinking, muncul dari pikiran sesat (logical fallacy) dan sikap tidak adil (like and dislike), jauh dari budaya ilmiah, dan layak disebut sebagai bentuk Premanisme Birokrasi.
Ketika tragedi dijadikan panggung untuk pencitraan diri dibalik kegagalan pencapaian target-target pembangunan kesehatan bagi rakyat banyak (laporan Menteri PPN/ Ketua Bappenas tentang kegagalan capaian target RPJMN Kesehatan 2020-2024), ketika pengadaan teknologi kesehatan canggih (Cath lab, PET Scan, Laboratorium Genomik) dijadikan topeng untuk menutupi angka Kusta yang masih nomor 3 di dunia, angka TBC yang masih nomor 2 setelah India, dan angka Scabies yang sukses berada di peringkat pertama dunia, dan Data Antrean Rawat Inap di RS Kemenkes per Desember 2024 mencapai lebih dari 1000-2000 pasien (dengan waktu tunggu bisa sampai 15 bulan), maka demi masa depan pembangunan kesehatan bangsa menuju Indonesia Emas 2045, tidak ada lagi posisi atau jabatan apapun yang layak di amanatkan kepada sang Juragan.
#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Spesialis (30 tahun), Guru Besar FK Undip
Editor: Ariful Hakim