Batu Bara, Tergantung China | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Market.bisnis.com

Batu Bara, Tergantung China

Ceknricek.com -- Soal harga batu bara, lihatlah ke China. Negeri Tirai Bambu ini adalah pengendali harga emas hitam tersebut. Maklum saja, China adalah produsen sekaligus konsumen batu bara terbesar dunia. Banyak pihak memprediksi, pada 2020 harga batu bara tak akan banyak berubah dibanding tahun 2019. Batu bara masih hitam dan muram.

Rata-rata harga batubara acuan atau HBA sepanjang tahun 2019 hanya mencapai US$77,92 per ton. Angka ini  lebih rendah dibanding rerata HBA pada 2018 yang mencapai US$98,96 juta ton. Bahkan, rerata HBA pada 2017 masih lebih tinggi, yakni US$85,91 per ton.

Hingga 27 Desember 2019, realisasi produksi batu bara Indonesia telah mencapai 565,81 juta ton atau 115,54% dari target. Realisasi tersebut juga melebihi target yang telah direvisi pada pertengahan tahun 2019 sebanyak 530 juta ton sekaligus melewati realisasi produksi 2018 sebanyak 557,77 juta ton.

Batu Bara, Tergantung China
Sumber: APBI ICMA

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, kepada Bisnis, memprediksi produksi mencapai 600 juta ton pada tahun lalu. Menurutnya, perusahaan batu bara memiliki kontrak dengan pembeli sehingga komitmen produksi tetap dijalankan di tengah rendahnya harga. Adapun, permintaan batu bara asal Indonesia di luar negeri tak mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun lalu, tetapi mengalami peningkatkan permintaan sekitar 3% hingga 4% dari tahun lalu. "Tetap saja permintaan naik, oversupply terjadi," ucap Hendra.

Fundamental Belum Baik

Pada Kamis (2/1/2020), harga batu bara berjangka ICE Newcastle menguat 1,23% ke level US$69,9/ton. Sejak awal September hingga awal tahun 2020, harga batu bara kontrak berjangka bergerak sideways di rentang US$ 66 - US$ 72 per ton.

Harga batu bara saat ini memang belum bisa dikatakan mencerminkan kondisi fundamental yang membaik. Apalagi dalam bulan terakhir tahun 2019, ketika China memberlakukan pembatasan impor batu bara karena telah mengimpor batu bara dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibanding tahun 2018.

Fundamental yang belum baik tercermin dari beberapa indikator. Pertama indeks Capesize yang turun 304 poin ke level 1.646 atau merupakan yang terendah sejak 31 Mei 2019.

Batu Bara, Tergantung China
Sumber: Gcaptain

Indeks Capesize merupakan indeks yang mengukur pengiriman komoditas seperti bijih besi dan batu bara menggunakan kapal tanker dengan kapasitas 170.000-180.000 ton. Rata-rata pendapatan harian Capesize pun turun US$2.361 ke US$11.976.

Kinerja impor dari beberapa negara dengan konsumsi batu bara terbesar di Asia juga masih bisa dibilang belum menunjukkan fundamental yang baik.

Berdasarkan data Refinitiv, impor batubara China bulanan pada Desember 5,7 juta ton lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara persediaan batu bara di pelabuhan utama China bagian utara yaitu Caofeidian, Qinhuangdao dan Jingtang berada di posisi 14,3 juta ton per 27 Desember lalu. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 16,67 juta ton.

Beralih ke Jepang dan Korea. Impor batu bara Negeri Sakura dan Negeri Ginseng sejak awal Desember 2019 tercatat masing-masing 14,8 juta ton dan 10,3 juta ton. Jumlah tersebut lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2018. Impor batubara Jepang mencapai 14,9 juta ton dan Korea Selatan mencapai 10,3 juta ton.

Batu Bara, Tergantung China
Sumber: Liputan6

Sedangkan impor batubara India di bulan Desember 2019 mencapai 14,5 juta ton, menurun dibanding tahun lalu yang mencapai 16,1 juta ton. Total persediaan batu bara di berbagai pembangkit listrik di India naik menjadi 31,5 juta ton atau setara dengan 18 hari penggunaan.

Saat ini India sebagai negara dengan konsumsi batu bara terbesar kedua setelah China tengah bergulat dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan adanya instalasi fasilitas pengendali polusi sulfur oksida.

Dari 11 pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu bara, baru satu yang memiliki fasilitas pengendali polutan tersebut. Sementara sisanya belum. Jika tidak segera melakukan instalasi fasilitas tersebut, maka pemerintah India tak segan untuk menutup unit operasi pembangkit listrik. Pengetatan kebijakan yang pro lingkungan di India menjadi faktor lain yang juga memberatkan harga batu bara di akhir tahun ini. 

Batu Bara China

Lalu bagaimana prediksi harga batu bara pada tahun ini? Analis Mirae Asset Sekuritas, Andy Wibowo, memprediksi harga batubara global US$70 per ton pada 2020, lebih rendah 17,6% dari prediksi sebelumnya. Sedangkan pada 2021, harga batu bara diprediksi US$75 per ton, lebih rendah 16,7% dari prediksi sebelumnya.

Prediksi ini dengan mempertimbangkan pertumbuhan produksi batubara China di tengah upaya pengendalian impor oleh Negeri Tirai Bambu tersebut. “Mengingat strategi tindakan penyeimbangan China yang akan terus berjalan dalam waktu dekat,” kata Andy dalam riset tertulisnya, akhir Oktober 2019.

Andy memperkirakan produksi batu bara China mencapai 3,47 miliar pada 2020, naik 8% secara tahunan. Sedangkan pada 2021, diperkirakan 3,78 miliar ton, naik 9% secara tahunan.

Batu Bara, Tergantung China
Sumber: Antara

Baca Juga: China Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita

Seiring pertumbuhan tersebut, permintaan batu bara dari China diprediksi hanya akan tumbuh tipis. Permintaan batu bara China diperkirakan mencapai 4,07 miliar ton pada 2020, naik 2% secara tahunan, dan sebesar 4,11 miliar ton pada 2020 atau naik 1% secara tahunan. 

Meski begitu, Andy meyakini sebagai produsen terbesar batu bara dunia China akan mengelola produksi dan mengeluarkan kebijakan untuk mempertahankan harga batu bara global pada tingkat yang wajar dalam jangka menengah panjang. Ditambah lagi, investasi baru negeri itu untuk meningkatkan kapasitas produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi telah mencapai 51,5 juta Kwh. “Ini mengindikasikan bahwa permintaan batubara China tetap ada,” katanya. 

Di sisi lain, Andy memprediksi pemerintah akan memperpanjang kebijakan domestic market obligation (DMO) dan mempertahankan batas atas harga batu bara untuk listrik. Kebijakan ini kemungkinan diambil untuk menjaga laju inflasi yang ditargetkan 3,1% tahun depan. Pemerintah diprediksi akan mempertahankan batasan harga batu bara untuk listrik di level US$70 per ton.

Batu Bara, Tergantung China
Sumber: Reuters

Adapun dari sisi ekspor, ekspor batu bara Indonesia ke China bakal terdorong seiring telah disepakatinya kerja sama perdagangan batubara antara Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) dengan China National Coal Association (CNCA).

Kerja sama ini akan terjalin selama tiga tahun ke depan. Tujuannya, membuka jalur komunikasi yang lebih intens terkait perdagangan batu bara. Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir mengatakan melalui kerja sama ini juga ada kepastian produksi batu bara dari Indonesia menjadi prioritas di pasar China. Pasalnya Indonesia punya banyak pesaing dalam menjual batu bara, salah satunya Australia. "Jadi kalau batubara kalori yang ingin kami jual coba tolong diprioritaskan. Ini penting dari sisi ekspor," kata Pandu, beberapa waktu lalu.

Sumber Daya Energi Baru

Berbeda dengan Andy, Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk., Arviyan Arifin,  memperkirakan harga batu bara akan meroket pada 2020 didorong sentimen damai perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Pulihnya industri di China dan AS akan mengerek harga batu bara karena naiknya permintaan. “Suplai batu bara diprediksi mulai berkurang, menyusul banyaknya tambang skala menengah kecil yang tumbang,” ujarnya. 

Batu Bara, Tergantung China
Sumber: Tempo

Menurut data Contract For Difference (CFD), harga batu bara dunia menurun secara signifikan sejak awal tahun 2019 hingga akhir Oktober 2019 dengan tingkat penurunan lebih dari 30%. Penurunan harga ini terjadi karena beberapa faktor, baik sisi permintaan maupun penawaran batu bara.

Di sisi permintaan, terdapat penurunan permintaan batu bara dari pasar Eropa karena semakin meningkatnya sumber daya energi baru dan terbarukan sekaligus karena tingginya biaya karbon. Negara-negara Eropa terus mengubah pembangkit energinya berdasarkan gas untuk menggantikan energi yang berasal dari batu bara.

Sementara itu, permintaan dari pasar IndoPasifik cenderung beragam seperti adanya peningkatan permintaan di Asia, akibat peningkatan kapasitas thermal di Malaysia dan Vietnam. Di sisi lain, China sedang mengalami perlambatan pertumbuhan sektor manufaktur.

Dengan demikian, stabilisasi harga batu bara di pasar Indo-Pasifik tidak lagi dapat berharap dari gejolak permintaan jangka pendek.

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait