Oleh : Zainal Bintang
Ceknricek.com - Puncak gelegar reformasi 21 Mei 1998 yang berhasil melengserkan presiden Soeharto dari kursi kekuasannya yang telah digenggamnya selama 32 tahun sudah memasuki usia 20 tahun. Pada peringatan dua dekade atau dua puluh tahun reformasi hari – hari ini , ternyata masih saja memunculkan kekecewaan dan ketidakpuasan sebagian kalangan di masyarakat. Agaknya realisasi enam “amanat reformasi” dinilai belum maksimal.
Enam “amanat reformasi” itu, adalah supermasi hukum, pemberantasan KKN, mengadili Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwi fungsi TNI/Polri dan pemberian otonomi daerah seluas – luasnya.
Dapat dicatat bahwa ada dua instrumen fungsional pembuka ruang kebebasan yang diberikan oleh reformasi yang berkategori anugerah. Yaitu kebebasan mendirikan parpol baru dan kebebasan membuat penerbitan pers.
Keduanya secara politis sangat strategis untuk mendorong kemajuan bangsa ke depan. Keduanya sangat pas sebagai sarana artikulasi aspirasi masyarakat dalam konteks proses demokratisasi. Sesuatu yang sangat mustahil di era rezim totaliter Orba (Orde Baru) yang mengontrol kebebasan berpendapat sangat ketat.
Instrumen yang dimaksud adalah adanya kebebasan anggota masyarakat sipil mendirikan partai politik sekaligus kebebasan mendirikan penerbitan pers. Kedua instrumen ini merupakan “tombak kembar” untuk membangun demokrasi. Karena keduanya ditugasi menjadi penyerap dan penyampai aspirasi masyarakat.
Selama dua dekade refromasi, kebahagiaan apakah yang telah dipetik oleh masyarakat dengan hadirnya kedua instrumen corong artikulasi aspirasi itu? Yang terbaca, nampaknya malah ada dua “musibah” dibalik anugerah itu.
Pertama, kebebasan berekspresi melalui media pers. Di era Soeharto hanya 250 SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Ketika reformasi melompat menjadi ribuan penerbitan bermunculan.
Namun kebebasan yang diperoleh pers itu belakangan ini justru mengalami eskalasi yang sangat excessive akibat kemajuan dunia informasi dan teknologi alias IT. Bahkan melahirkan turunan “anak ajaib” yang bernama medsos (media sosial).
“Anak ajaib” yang ternyata nakal ini mengidap penyakit hyperaktif. Sangat gemar menyebar ketegangan dan fitnah kemana – mana. Makanan kesukaannya ternyata Hoaks. Melalui perangkat gawai yang sangat murah dengan harga terjangkau jagat politik menjadi hiruk pikuk.
Kedua, peningkatan jumlah parpol (partai politik) yang bertumbuh pesat. Secara agresif menginvasi ruang publik. Sifatnya yang infiltrating tak kenal batas operasi dengan bebas menerjang keteduhan daerah pedalaman. Pada pemilu 1999 terdapat 48 parpol peserta pemilu hasil reformasi. Di era Orba hanya dua parpol, yaitu PPP dan PDI ditambah organisasi kekaryaan yang disebut Golkar.
Godaan kekuasaan yang kemudahannya dibuka oleh reformasi melalui amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999, 2000, 2001 dan 2002), serta disusul kemudahan yang diberikan peraturan perundang – undangan dibawahnya, - yaitu sistem pemilihan langsung, - melahirkan petualang politik sampai ke daerah – daerah yang baru mekar sekalipun.
Petualang politik itu menjadi “pemborong” suara rakyat. Menggunakan pengepul berlabel tim sukses yang masuk kampung keluar kampung menjaring suara sebagai tiket yang dapat mengantarnya jadi politisi. Sebuah anak tangga awal sebelum bertarung menuju kursi gubernur, bupati dan walikota atau wakilnya. Analoginya di tingkat pusat (nasional) malah jauh lebih agresif dan lebih masif.
“Tombak kembar” paduan kebebasan pers dan parpol yang seharusnya menjadi mercusuar pemandu masyarakat dari kegelapan (buta) politik menuju tataran melek politik, justru malah kebablasan fungsi menjadi pemantik anarki. Pembakar amarah dan pemupuk dendam yang memproduksi konflik horisontal berkepanjangan.
Godaan akan kekuasaan yang demikian kuatnya, telah merangsang nafsu pribadi setiap orang. Mereka terhipnotis. Berlomba – lomba jadi politisi. Berselancar di tanah becek ketidak jelasan aturan main. Mereka memainkan politik uang yang sumbernya abu – abu sambil melabrak tatanan budaya dan etika.
Segala cara ditempuh, segala taktik dilakoni dan segala mantra ditelan untuk satu tujuan : menjadi politisi, menjadi penguasa. Atas nama kekuasaan : permainan kotor merebak, aturan dilabrak, etika diobrak abrik.
Harmoni kehidupan masyarakat yang berbasis musyawarah kekeluargan gotong royong porak poranda diterjang badai aneh reformasi. Terutama di daerah pedalaman pada ribuan dusun nun jauh disana. Permusuhan dan bunuh – bunuhan sesama rumpun keluarga tak terhindarkan.
Sistem pemilihan langsung calon pemimpin di semua tingkatan itulah yang menjadi
candu yang menggerayangi jiwa sebagian masyarakat. Gumpalan ambisi yang ambisius bermutasi menjadi nafsu politik.
Hal mana memaksa mereka berperilaku radikal untuk mencapai tujuan : Prinsip the end justifies the means (tujuan menghalalkan segala cara) menjadi wirid siang malam, gentayangan bersama roh Machiavelli menghina akal sehat : Lonceng kematian moralitas politik berdentang kencang karenanya.
Radikalisasi menjadi model dan modal bermain politik praktis. Menjangkiti jiwa pendukung dan tim sukses para kandidat.
Radikalisasi dalam artinya yang bebas, adalah merampas kesantunan dan memaksakan kehendak. Melalui jalan kekerasan sekalipun. Radikalisasi inilah yang melahirkan turunan : intoleransi, politik identitas, kekerasan dan bahkan terorisme.
Sesungguhnya dapat dikatakan, kumpulan seluruh elemen destruktif itulah kini yang menjadi “pekerjaan rumah” besar Jokowi.
Beban reformasi itu seakan memberati pundak presiden ketujuh Indonesia itu.
Namun Jokowi sepertinya terlihat mencoba tetap berdiri tegar ditengah kegaduhan dan puting beliung politik yang menerpa pemerintahannya. Bahkan ingin menggantinya!
“Hanya Tuhan dan rakyatlah yang mampu mengganti presiden dalam pemilihan
presiden 2019”, kata Jokowi di depan ribuan relawannya di Bogor, awal Februari yang lalu.
*Zainal Bintang, wartawan senior dan anggota dewan pakar Partai Golkar