Beberapa Perjumpaan dengan Djohan Effendi | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Beberapa Perjumpaan dengan Djohan Effendi

Ceknricek.com--"Kamu tahu kan bahwa agama-agama lain, di luar lima agama resmi, tidak boleh tercantum di kartu tanda penduduk (KTP). Kira-kira mengapa menurutmu?"

Ini kata-kata yang kuingat dari Djohan Effendi, di saat aku menanyakan mengapa agama kakekku dari pihak ibu, yakni Kaharingan, tak boleh ditulis di KTP; Sesuatu yang diprotes keras oleh Bue' -- panggilan kakek dalam bahasa Dayak Ngaju. Kakekku, yang memang asli Dayak, menyatakan keberatan saat ada petugas kelurahan atau kecamatan memberi informasi bahwa hanya lima agama resmi yang boleh ditulis di KTP.

Ketika itu, aku mengintip dari balik pintu kamar, setengah mencuri dengar pembicaraan yang berlangsung antara ayahku, Bue', dan petugas yang datang itu. Entah bagaimana akhirnya aku tak paham dan tak jua pernah menanyakan. Saat itu aku masih duduk di sekolah dasar (SD) di Palangkaraya. Tapi semua itu jelas menempel di ingatanku hingga aku berkuliah di Universitas Indonesia, dan mulai banyak berinteraksi dengan orang-orang baik, yang membuka pemahamanku tentang banyak hal, termasuk tentang keagamaan dan pluralitas. Salah satunya, berinteraksi dengan Djohan Effendi.

Pertanyaan "mengapa" di atas dari Pak Djohan atau Bapak -- demikian aku biasa memanggilnya -- membawa kami pada diskusi singkat tentang situasi keagamaan dan spiritualitas di Indonesia. Aku menjadi paham dan punya keberanian mengakui bahwa pada masa Orde Baru telah terjadi kebijakan diskriminatif terhadap agama lain di luar lima agama resmi yang diakui Pemerintah (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha).

Di lain waktu, aku pernah juga menanyakan kepada Bapak mengapa keluarga besar ayahku, yang Muhammadiyah, begitu menjagaku saat kecil untuk tidak banyak berinteraksi dengan kawan-kawan Nahdlatul Ulama (NU). Keluargaku dari pihak ayah memang "berdarah kental" Muhammadiyah. Sepupu nenek merupakan Ketua Muhammadiyah pertama di Kalimantan Tengah. Kakekku mengelola masjid kecil milik Muhammadiyah. Adik perempuan ayahku petinggi Aisyah Kalimantan Tengah dan mengelola taman kanak-kanak Aisyah di Palangkaraya.

"Jika disuruh cium tangan orang NU jangan mau, ya?" Aku protes mengapa tak boleh. Kan orang-orang NU itu juga orang tua. Beberapa guru di sekolahku orang NU. Bukankah semua orang tua harus dihormati termasuk dengan cara cium tangan? Tapi Nini Seput -- panggilan kami untuk nenek dari pihak ayah -- selalu wanti-wanti untuk tak cium tangan pada orang-orang NU.

Aku juga dilarang ikut kegiatan rebana di sekolah saat ada kegiatan muludan. Jika salat subuh juga jangan membaca qunut -- sementara di sekolah aku diwajibkan hafal oleh guru agama dan karena hafalan qunut-ku bagus, nilai agamaku juga terdongkrak.

Yang cukup rumit saat bulan Ramadan. Selalu ada tradisi salat tarawih bersama di keluarga besar kami. Tapi lagi-lagi salatnya harus di masjid atau langgar -- bahasa Banjar untuk musala -- yang sejalan dengan Muhammadiyah. Mujurnya saat itu, kakekku mengelola langgar Muhammadiyah di depan rumahnya di Palangkaraya. Jadi meski rumah kakek tergolong jauh dari rumahku, kami rutin datang untuk tarawih bersama.

Saat keluarga kami pindah dari Palangkaraya ke Jambi, lalu Banjarmasin, keriuhan mencari tempat salat yang pas saat Ramadan menjadi isu tersendiri. Sesekali aku jahil. Dengan alasan tarawih bersama kawan-kawan, aku salat di masjid non-Muhammadiyah. Bagiku rasanya salat di mana pun tetap asyik. Aku tidak terbebani persoalan dua atau empat rakaat. Yang penting bisa ada bersama kawan-kawan.

Ketika aku relatif "lebih mandiri", yakni saat kuliah di Jakarta dan kos berdua dengan kakak, aku menemukan keasyikan baru lainnya untuk soal keagamaan. Tak hanya bergelut dengan keluarga ibu (yang bercampur aduk antara Kaharingan, Katolik, Protestan, dan Islam) dan pihak ayah (yang "asli" kental Muhammadiyah), aku juga menemukan pemahaman-pemahaman baru tentang pandangan dan praktik keagamaan yang beragam. Melalui Paramadina dan Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar, aku mengenal banyak orang hebat, termasuk Djohan Effendi, yang dengan cara sederhana mampu memberikan pemahaman di diriku tentang toleransi, pluralisme, dan penghormatan terhadap agama dan keyakinan yang berbeda.

Djohan Effendi sendiri, seperti sudah dikenal luas, hingga kini merupakan salah satu tokoh penting dalam pembaruan Islam di Indonesia. Ia juga tercatat sebagai salah satu sosok terdepan dalam upaya pengembangan kehidupan keagamaan yang dialogis, harmonis, lentur dan terbuka. Saat ada kawan yang menikah beda agama dan aku menanyakan pendapatnya, Bapak dengan senyum khasnya menjawab, ya tak apa-apa. Semua punya agama kan?

Suatu saat di pengajian Klub Kajian Agama (KKA) Paramadina, yang seingatku rutin diadakan setiap Ramadan, Pak Djohan bercerita tentang agama Baha'i meski sangat singkat. Di lain waktu ia bercerita tentang tokoh Islam asal Banjar yang terkenal, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, yang banyak memasukkan pengaruh ajaran Islam terhadap tata pemerintahan Kerajaan Banjar di masa lampau. Bapak juga pernah bercerita tentang satu lembaga swadaya masyarakat di Banjarmasin, yang menurutnya dikelola bagus oleh anak-anak muda -- dan ternyata mereka juga teman-teman dekatku. Karena perjumpaan-perjumpaan itu, aku merasa cukup akrab dengan Pak Djohan, juga Ibu, dan anak-anaknya, terutama Winda dan Nona. Hingga suatu saat, Pak Djohan mengatakan akan pindah sekeluarga ke Australia. Dan ternyata ia memang pindah ke sana pada pertengahan 1990-an.

Saat aku bersekolah di Melbourne dan ada acara-acara tentang Indonesia baik itu di Universitas Melbourne, Monash, mau pun tempat lainnya, Pak Djohan terkadang datang. Kami biasa duduk di pojok untuk berbincang. Aku juga pernah menginap di rumahnya di Geelong, yang dingin.

Sesekali, Pak Djohan dan keluarga datang ke Indonesia. Terkadang aku masih bertemu Bapak dan Ibu. Satu peristiwa yang masih kuingat jelas adalah perayaan ulang tahun ke-70 beliau tahun 2009. Ada dua kegiatan yang kuhadiri, yakni peringatan di Jakarta (yang dihadiri banyak tokoh penting di Indonesia, termasuk Gus Dur) dan juga peringatan ulang tahun beliau di kantor Banjarmasin Post di Kalimantan Selatan.

Tahun 2015 Ibu Djohan wafat. Bapak kemudian total berada di Australia. Mungkin karena kesehatannya yang makin menurun seiring bertambahnya usia, membuat Pak Djohan tak bisa lagi wara-wiri ke Indonesia. Kabar yang kudapat Bapak juga mengalami stroke. Dan ini membuatku sedih.

Tahun 2017, aku kembali menyambangi Melbourne sekitar tiga minggu. Aku menginap di rumah sahabat lama, Bu Tuti Gunawan. Aku menghubungi anak Pak Djohan dan membuat janji untuk mengunjungi Bapak.

Maka di suatu hari yang sejuk di bulan Mei 2017, aku kembali melihat Bapak di Geelong, di negara bagian Victoria, Australia. Bapak terlihat sangat kurus. Stroke membuatnya tak berdaya. Aku sedih melihat kondisinya. Tapi ia mengenaliku dengan baik dan berkali-kali menggenggam tanganku.

Aku tak jadi sedih karena melihat mata Bapak berbinar-binar. Ia terlihat antusias mendengar ceritaku; Cerita tentang tanah air dan orang-orang yang dikenalnya dengan baik. Aku juga menceritakan tentang anak, sekolah, kegiatan harian dan hal-hal yang kulakukan ketika itu.

Saat aku menyebut beberapa nama yang dekat dengan Bapak, ia makin terlihat berbinar dan berkali-kali mengangguk. Lalu aku bertanya, apa Bapak mau dibacakan puisi Rumi. Ia mengangguk. Maka kubacakan puisi Rumi tentang kasih. Beliau juga melihat foto-foto dan video lucu di handphone (HP)-ku.

Tiba-tiba Bapak mengambil HP dari tanganku dan mengetik huruf-huruf berikut ini:

Npppptoiiooitpooiiioiiipoppp

Hllllllmlkkllllkkllopplkk)lholplo

Aku bingung melihatnya dan menanyakan maksudnya. Ia diam. Apa Bapak rindu menulis? Beliau mengangguk. Apa Bapak senang aku datang? Dua kali beliau berucap alhamdulillah.

Aku girang mendengarnya. Selama hampir tiga jam, aku dan Bu Tuti menemaninya. Bapak beberapa kali menggenggam tanganku seakan takut ditinggal. Saat Pak Djohan terlelap tidur, aku dan Bu Tuti kembali dengan kereta dari Geelong ke Melbourne.

Ah Bapak, meski saat itu dalam kondisi sakit, cahaya kebaikan dalam diri Pak Djohan selalu terlihat dan bisa dirasakan. Kebaikan semacam ini yang pastinya juga dirasakan oleh banyak orang yang mengenal Djohan Effendi.

Tanggal 17 November 2017, enam bulan kemudian, aku mendapatkan kabar Pak Djohan berpulang. Ia wafat di Geelong. Aku ingin menangis saat itu. Tapi air mataku tidak bisa keluar. Aku berdoa dalam hati untuk orang baik ini.

Bulan November 2024 ini adalah haul Djohan Effendi yang ke-7. Dan ini mengingatku kembali pada perjumpaan-perjumpaanku dengan Pak Djohan. Dari beliau aku semakin memahami bahwa Islam adalah agama rahmatan lil-alamin, yang menyebarkan semangat penghormatan terhadap semua agama dan keyakinan tanpa mengabaikan keyakinan sendiri, yang menyebarkan semangat perlindungan dan kasih bagi semua manusia tanpa membedakan latar agama.

Maka benar adanya. Djohan Effendi sepanjang hidupnya memang menjalankan misi kemanusiaannya, sebagai tokoh pluralis, yang berjuang untuk kebebasan beragama, dialog antaragama dan pembelaan terhadap kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi di Indonesia.

Kini tujuh tahun sudah Bapak di sana, bersama orang-orang baik lainnya. Semoga Bapak selalu tersenyum seperti saat bersama kami. Al Fatihah...


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait