Belajar Akhlak Dari Dua Sufi Agung | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber : OwnTV

Belajar Akhlak Dari Dua Sufi Agung

Ceknricek.com -- Syahdan, di tengah situasi pergulatan politik yang keras, perebutan kekuasaan yang sering tak beretika dan kehendak menampilkan diri di depan tatapan banyak mata tanpa basa-basi, dua orang ini justru saling memberi tempat untuk orang lain dan mengundurkan diri. Siapa mereka?

Mereka adalah maestro sufisme, Shadr al-Din al-Qunawi dan Maulana Jalal al-Din Rumi. Keduanya tinggal di Konya, Anatolia, Turki.

Dikutip dari alif.id, K.H. Husein Muhammad pernah menuliskan kisah dua maestro sufi tersebut yang penuh dengan bahan renungan.

Syekh Shadr al-Din al-Qunawi (w. 674 H) adalah tokoh besar dalam dunia tasawuf. Ia murid utama sekaligus anak tiri al-Syeikh al-Akbar (guru terbesar): Ibnu Arabi. Dialah salah satu tokoh penting yang menyebarkan ajaran-ajaran Ibnu Arabi dan dia pulalah yang menyebut “Wahdat al-Wujud” (Kesatuan Wujud/Unity of Being) sebagai ajaran inti Ibnu Arabi.

Syekh al-Qunawi seangkatan dengan Maulana Jalalulddin Rumi, nama yang mungkin lebih kita kenal. Pada mulanya dia tidak cukup akrab dengan Maulana Rumi. Tetapi akhirnya menjadi sahabat yang baik.

Keduanya saling belajar dan menghormati, dan menjadi sumber rujukan para ulama dalam dunia sufisme. Nama mereka menjulang di langit sufisme sepanjang masa.

Ada cerita menarik tentang persahabatan dua sufi besar ini.

Suatu hari, Syekh Shadr ad-Din al-Qunawi memberikan pengajian di hadapan para ulama besar di rumahnya. Tiba-tiba Maulana Rumi datang. Ingin ikut mengaji kepadanya, meski ia adalah syekh sufi besar.

Syeikh al-Qunawi berdiri menyambutnya. Para ulama lain mengikutinya. Maulana kemudian duduk di pojok paling belakang. Ia tidak mau melangkahi dan mengambil tempat kosong di tengah-tengah para ulama itu. Syekh al-Qunawi menggelarkan sajadah untuk Maulana dan meminta dengan sungguh-sungguh agar Maulana mau duduk di atas sajadah itu.

Tapi Maulana Rumi menjawab, “Tidak. Aku tidak patut duduk di atas sajadah itu. Bagaimana aku harus menjawab peristiwa ini di hadapan Allah kelak?”

“Jika begitu, duduklah di atasnya bersamaku, engkau di separuh sajadah ini dan aku separuh yang lain,” Syekh al-Qunawi.

Maulana Rumi sufi agung itu tetap menolak.

Syeikh Qunawai merespons dengan cerdas dan tawaduk, “jika sajadah ini tidak patut diduduki Maulana, maka ia juga tidak patut aku duduki.” Syeikh Qunawi lalu melipat sajadah itu.

Selain kisah menarik di atas, masih ada lagi cerita menarik tentang persahabatan dua orang besar ini. Abd al-Rahman al-Jami menceritakan:

“Suatu hari Jama’ah salat meminta Maulana menjadi Imam di sebuah masjid. Maulana menolak, karena ia tahu di situ ada Syeikh al-Qunawi. Maulana mengatakan: ”Kita para “abdal” (para santri) duduk di tempat kita sampai dan berdiri di situ. Yang patut menjadi Imam salat adalah sang sufi mumpuni, sambil tangannya menunjuk Syeikh Qunawi”.

Keduanya saling mengajukan yang lain untuk menjadi Imam. Akhirnya al-Syeikh berdiri di depan, menjadi Imam. Maulana mengatakan kepada para jemaah :

من صلى خلف امام تقي فكانما صلى خلف نبي

Man Shalla Khalfa Imam Taqiyy fa Ka Annama Shalla Khalfa Nabiyyin” (Siapa yang salat di belakang seorang Imam yang amat saleh, maka dia seperti salat di belakang Nabi).

Manakala Maulana menjelang pulang, Husam al-Din, murid utama Maulana, bertanya kepada Maulana: “Siapakah yang akan memimpin salat jenazahmu kelak?”. Maulana menjawab: “Syeikh Shadr al-Din”.

Betapa indah perilaku dua sufi besar itu. Mereka sangat rendah hati dan saling memberi tempat bagi yang lain. Persahabatan mereka begitu tulus.



Berita Terkait