Ceknricek.com--Blusukan Pak Harto sebelum berkuasa benar-benar blusukan. Diceritakan dalam sebuah buku Pak Harto melakukan blusukan hanya berempat : Pak Harto, Ajudan Jenderal (Purn) Try Sutrisno, seorang pengawal dan sopir. Tentu saja Pak Try saat itu masih perwira menengah. Seperti diceritakan Jenderal (Purn) Try Sutrisno Pak Harto mulai berangkat dari Jakarta menuju Jawa Barat dengan menggunakan sebuah mobil Jeep. Benar-benar incognito. Benar-benar menghindari dikenali orang. Maklum waktu itu televisi baru TVRI saja yang masih hitam putih. Sehingga agak sulit mengenali orang yang sering masuk televisi dengan aslinya.
Di sepanjang perjalanan, mulai dari pesisir Jawa Selatan, Pak Harto mampir dan mengobrol dengan berbagai kalangan. Kadang-kadang bisa ikut pengajian di Masjid setempat. Atau ngobrol dengan petani di pinggir sawah. Kadang masuk ke kampung-kampung. Kadang ikut obrolan di saung ronda. Setelah ketemu masyarakat kemudian Pak Harto mencatatnya dalam sebuah buku besar. Begitu sepanjang jalan yang dilakukan oleh Pak Harto. Nyaris tak diketahui oleh publik keberadaan Presiden ini.
Padahal keberadaan seorang Presiden di suatu daerah merupakan hal besar. Bukanlah hal sederhana. Keberadaan Presiden di suatu tempat ada aturan protokolernya. Begitu juga standar keamanan. Makanya ada yang disebut Paspampres atau pasukan pengamanan presiden. Paspampres inilah yang bertanggung jawab atas keamanan seorang presiden. Tidak bisa seorang presiden nyelonong begitu saja tanpa sepengetahuan Paspampres.
Pasukan Pengamanan Presiden ini dikomandani seorang perwira tinggi Bintang dua. Paspampres ini terdiri dari tiga group (A,B dan C) dan beranggotakan kurang lebih 500 orang personil. Paspampres bertugas mengamankan Presiden, Wakil Presiden, Mantan Presiden, Mantan Wakil Presiden dan Tamu VVIP Negara. Paspampres pulalah yang mengatur protokoler Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan materi acaranya yang mengatur Sekretaris Negara. Paspampres yang bertugas mengamankan presiden ini adalah Grup A.
Kehadiran seorang presiden ke suatu tempat mestinya sudah diagendakan jauh-jauh hari. Semua acara pun sudah diatur secara detail jangan sampai ada yang meleset. Bahkan, konon, pada zaman orde baru para penanya pun sudah ditentukan dan berapa pertanyaan setiap orang dalam acara itu. Dan hal ini sudah diketahui oleh mulai Camat, Bupati, Gubernur dan Menteri terkait. Tentu saja termasuk Menteri Sekretaris Negara yang paling bertanggung jawab terhadap semua ini. Teristimewa para protokol istana yang bertanggung jawab di tataran teknis.
Pernah kejadian, konon lagi, pada jaman orde baru seorang petani bikin sport jantung para pejabat mulai camat, bupati, gubernur sampai Menteri terkait. “Bapak Presiden yang terhormat. Saya punya tiga pertanyaan.” Kata Bapak Petani dalam sebuah acara Kelompencapir, acara bersama Presiden Soeharto yang sangat populer, dengan percaya diri. Deg. Hati para pejabat hampir copot. Bukankah orang ini hanya dua pertanyaan. Dua pertanyaan inilah yang sudah diajukan mereka ke Setneg beberapa bulan sebelum acara. Bahkan siapa yang bertanya pun hasil pemilihan yang sangat ketat dengan proses berbulan-bulan. Bisa jadi sudah lolos litsus. Artinya litsus itu penelitian khusus apakah yang bersangkutan bukan berasal dari keluarga Partai Komunis Indonesia.
Bahkan dua pertanyaan ini yang sudah bolak-balik dicoba sejak gladi resik sehari sebelumnya oleh para protokol istana. Dan masih dua pertanyaan. Rupanya Petani penanya itu melakukan improvisasi sendiri di luar pengetahuan para protokol Istana. Dan ini yang diluar dugaan semua pihak. Ternyata Petani penanya ini cukup berani melanggar kesepakatan dengan para protokol istana. Dan para protokol istana biasanya sangat strike dan anti perubahan mendadak. Bahkan kalau mau improvisasi pun harus seizin dan sepengetahuan mereka.
Semua pejabat langsung saling lirik. Ada pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan karena sedang bersama Presiden. Tempat duduk mereka paling dekat ke Presiden karena tuan rumah. Sudah tidak mungkin lagi melakukan koreksi atau apapun kepada penanya karena dia sudah berdiri di hadapan hadirin. Maunya pejabat itu bertanya kepada penanya apa sih pertanyaan ketiga. Itu tidak sesuai skenario. Kemudian Petani melanjutkan “Pertanyaan pertama……Pertanyaan kedua…” Sampai disini Pertanyaan Sang Petani masih sesuai skenario. Tentu saja para pejabat ini berkeringat dingin menunggu pertanyaan ketiga. Bagaimana kalau pertanyaan ketiga ini presiden tidak berkenan.
“Ketiga saya ingin bersalaman dengan Bapak Presiden,” kata Sang Petani dengan lantang dan penuh percaya diri.
Daar. Para pejabat itu panik habis. Takut presiden marah. Para pejabat ini menunggu dengan tegang dan berkeringat dingin bagaimana reaksi presiden. Mereka saling lirik dengan muka tegang. Mereka menahan napas menunggu apa yang akan terjadi. Kalau presiden tidak berkenan, pikir mereka, bisa jadi ini acara terakhir yang mereka hadiri karena besok sudah tidak menjabat lagi.
“Sini… sini…maju…. Pak,” disambut ramah dan sumringah oleh Presiden Soeharto dengan senyumnya yang khas.
Semua pejabat langsung menarik napas panjang setelah tegang. Lega sudah. Petani langsung maju dan bersalaman dengan Presiden Soeharto. Diiringi senyum simpul para pejabat yang tadinya tegang. Tidak diceritakan selanjutnya apakah petani ini ditegur karena telah mempermainkan para pejabat.
Nah ini Presiden keliling Jawa dengan incognito atau diam-diam. Kemana Paspampres. Mengapa mereka tidak tahu presidennya keluyuran begitu saja. Dimana para pejabat daerah sampai tidak tahu bahwa presidennya masuk di wilayahnya. Kemana para pejabat militer daerah sampai tidak bisa mengetahui kehadiran seorang presiden di wilayahnya. Kemana para intel-intel sehingga tidak bisa mendeteksi kehadiran presiden di wilayahnya.
Kembali diceritakan oleh Sang Ajudan, Try Sutrisno, dalam buku itu. Setelah beberapa hari berada di wilayah Jawa Timur Try Sutrisno mendapatkan panggilan radio langsung dari Pangdam Brawijaya Jawa Timur. Tentu saja, walaupun ajudan presiden, sebagai anggota TNI harus hormat dan taat kepada yang berpangkat jauh lebih tinggi yaitu Jenderal. Pangdam itu marah besar kepada Try Sutrisno karena membawa dan menjaga presiden masuk wilayahnya tanpa melapor kepada Sang Pangdam. Tentu saja Try Sutrisno tidak memiliki pilihan lain kecuali menjawab “Siap Salah Jenderal”. Tidak mungkin juga Try Sutrisno menyandarkan ke presiden. Bahwa ini keinginan presiden.
Respon Presiden Soeharto yang cukup mengagumkan. Ini yang harus diteladani oleh para pejabat. Tidak ada acara mentang-mentang presiden. Mungkin kalau pejabat lain akan mengatakan “Hey diam kamu! Ini perintahku”. Tapi Presiden Soeharto langsung berbisik kepada Ajudan. ”Kita ketahuan ya.” Kemudian Presiden memerintahkan untuk segera meninggalkan Wilayah Jawa Timur. Tidak ada perlawanan atau perintah balik kepada Sang Pangdam. Itulah Pak Harto.
Dari blusukan ini menghasilkan catatan yang tebal di buku besar pribadinya Presiden Soeharto. Berbekal buku besar ini Presiden Soeharto berbicara dan merumuskan kebijakan-kebijakannya bersama para Teknokrat yang tentu saja sangat terkenal pada saat itu. Mereka berasal dari kalangan kampus, sebagian besar Universitas Indonesia, yang sudah terkenal kepakarannya. Mereka terdiri dari Prof. Widjojo Nitisastro, Prof. Emil Salim, Prof. Ali Wardhana, Sumitro Djoyohadikusumo dll. Karena sebagian besar dari mereka lulusan Universitas California di Berkeley maka mereka sering disebut sebagai mafia Berkeley.
Itulah cara Presiden Soeharto mencari denyut nadi masyarakat sebelum Menyusun kebijakannya. Kemudian dirumuskan bersama para teknokrat untuk menemukan kebijakan yang logis sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan. Sampai lahirlah Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita. Sehingga ada Pelita satu dua dan seterusnya. Rupanya, mohon koreksi kalau salah, Pelita itu ada pijakan teorinya yaitu Teori Rostow. Jadi Presiden Soeharto sangat berpegang pada ilmu pengetahuan ketika berkuasa. Bukankah Pak Prabowo juga pernah menulis buku yang berjudul PARADOKS INDONESIA. Mudah-mudahan Bapak Presiden Prabowo tidak pernah melupakan apa yang pernah ditulisnya.
#Nurjaman Mochtar/ Wartawan Senior
Editor: Ariful Hakim