Ceknricek.com--Kaget juga saya mendengar Pak Syafik Umar meninggal dunia di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Pak Syafik meninggal di usia 85 tahun. Beliau wartawan senior koran Pikiran Rakyat atau PR. Bahkan Beliau termasuk salah satu pemegang saham koran rakyat Jawa Barat ini. Semoga Almarhum diterima Iman dan Islamnya. Saya terkenang sama beliau ketika sering bertemu di kantor Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI di Gedung Dewan Pers lantai 4 Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat.
Suatu ketika Pak Syafik Umar, waktu itu masih Pemimpin Redaksi Koran Pikiran Rakyat, berbisik sama saya. Kebetulan kami, seperti biasa, bertemu di acara rapat PWI Pusat. Sebagai sesama orang Jawa Barat kami ngobrol pakai Bahasa Sunda. Sekali dua kali saya menganggap bisikin itu hanya celetukan beliau sebagai sesama wartawan. Tapi setelah berbisik nya beberapa kali dan dibenarkan oleh teman sesama kolega beliau di Koran Pikiran Rakyat. Baru saya menganggap bisikan beliau itu serius. Saya juga kurang paham alasan mengapa Pak Syafik berbicaranya ke saya.
“Nur kumahakeun Pikiran Rakyat cik bantuan atuh (Nur harus diapakan Pikiran Rakyat tolong bantu dong)”. Begitulah bisikan Pak Syafik setiap bertemu di kantor PWI Pusat. Saya memang pernah mendengar bahwa Koran Pikiran Rakyat sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Beberapa kali, saya dengar, Pikiran Rakyat mau dijual kepada pemodal tapi tidak jadi-jadi karena pemegang sahamnya tidak kuorum-kuorum. Akhirnya para pemodal pada mundur.
Foto: Istimewa
Nah masalahnya, menurut teman di manajemen, Pikiran Rakyat ini dimiliki oleh banyak pemegang saham. Dan tidak ada yang mayoritas. Sehingga setiap Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS sering mengalami deadlock dalam mengambil keputusan. Bahkan ada candaan bahwa RUPS ini hanya dijadikan sarana berkumpul saja. Akibatnya fatal. Setiap berbicara pengembangan Pikiran Rakyat ke depan selalu menemui jalan buntu.
Padahal, seperti sudah diduga, Koran Pikiran Rakyat dalam kesulitan. Ini memang merupakan tren koran sudah tergantikan oleh digital. Keuntungan Pikiran Rakyat sudah turun jauh. Bahkan sudah mengandalkan penjualan aset untuk menghidupinya. Memang aset PR ini cukup banyak. Tersebar di seluruh Jawa Barat. Tapi kalau perencanaan pengembangan usaha tidak jelas maka asset pun bisa habis. Ini yang sudah mulai dikuatirkan Pak Syafik.
Seperti sudah kita pahami bersama tren pembaca koran sudah beralih ke digital. Pembaca koran, bahkan, sebentar lagi bisa sampai pada titik tidak layak bisnis lagi. Tentu saja memang berat. Bahan baku kertas semakin mahal dan masalah distribusi juga mahal tersendiri. Sedangkan media digital tidak memerlukan keduanya. Semua beralih ke broadband atau platform tak terbatas. Siapa saja bisa mengakses dari mana saja secara gratis. Hanya bermodalkan internet.
Akhirnya saya jawab tantangan Pak Syafik itu dengan menyanggupi untuk berkunjung ke Bandung. Saya minta Pak Syafik Umar untuk mengumpulkan orang-orang kuncinya. Akhirnya saya ke Kantor Pikiran Rakyat di pusat Kota Bandung yaitu Jalan Asia Afrika. Langsung saya ketemu Pak Syafik dan oramg -orang kunci di koran Pikiran-Rakyat itu.
“Kalau sekarang keliling ke Bupati-Bupati di Jawa Barat dan mengaku dari pimpinan Koran Pikiran Rakyat saya yakin mereka masih respek. Tapi kalau tiga tahun dari sekarang saya ragu,” Begitu pembukaan pertemuan itu di depan temen-temen PR. Mengapa saya berani mengatakan itu?
Kalau portal digital Pikiran Rakyat masih di rangking seribuan itu artinya pembacanya masih sedikit. Padahal rakyat Jawa Barat sudah beralih ke digital. Hanya tinggal orang tua yang di atas 70 tahun saja yang masih baca koran. Begitu juga para Bupati di Jawa Barat, penggemar PR, pasti sudah beralih ke digital. Lah Pikiran Rakyat digitalnya belum terkenal. Bisa jadi media Pikiran Rakyat akan dilupakan Rakyat Jawa Barat. Padahal buat orang Jawa Barat setelah Persib maka Pikiran Rakyatlah yang menjadi simbolnya.
Kalau Pikiran Rakyat tidak melakukan langkah yang signifikan maka masa depan semakin suram. Koran Pikiran Rakyat, seperti trennya, menurun terus. Tentu saja hal ini berdampak pada pendapatan perusahaan yang semakin menurun. Dan di sisi lain digitalisasi media di lingkungan perusahaan berjalan di tempat. Padahal group-group besar lain sudah memiliki portal yang bisa menjadi muara pergeseran dari koran. Sebut saja koran Kompas sudah punya Kompas.com, koran Jawa Pos Group sudah punya JawaPos.com, group Tempo sudah punya tempo.co dan lain-lain.
Portal group-group besar ini sudah memiliki rangking yang bagus. Artinya media-media ini sudah berada di 20 besar ranking media di Indonesia. Sedang portal pikiran rakyat masih berada di rangking seribuan. Digital PR belum bisa bersaing dengan grup lain yang ketika masih koran, kira-kira, sejajar dengan koran Pikiran Rakyat. Jadi pendapatan dari koran Pikiran Rakyat terus turun sementara pendapatan dari portal belum bisa menggantikannya karena rangkingnya masih jauh. Artinya semakin besar rangkingnya semakin sedikit yang baca. Kalau sedikit yang baca pasti susah dijual. Itulah hukum digital.
Inilah yang harus disadari, saya tekankan, oleh teman-teman Pikiran Rakyat. Maka saya merekomendasikan kepada mereka untuk menyepakati bersama agar merekrut ahli media portal dan diberi kewenangan penuh dengan modal secukupnya. Dan yang paling penting jangan direcoki. Saya beberapa kali menekankan prasa jangan direcoki. Biarkan dia bekerja dengan natur-nya karena membesarkan portal dan koran sangat berbeda. “Terus kami bagaimana Kang?” temen-temen PR bertanya. Saya jawab tolong itu diselesaikan sendiri.
Dua tahun kemudian setelah itu saya cukup gembira. Ternyata portal PikiranRakyat.com bisa mengejar ketertinggalannya. Bisa mensejajarkan diri dengan portal milik group lain. Saya dengar mereka merekrut professional dari sebuah group besar sehingga bisa cepat melambung. Akhirnya saya bahagia karena koran masa kecil saya sudah memiliki portal yang kompetitif. Saya yakin kebahagian saya sama dengan kebahagiaan Pak Syafik Almarhum. Inilah bisikan Pak Syafik Umar yang akan saya kenang. Selamat jalan senior. Semoga mendapat tempat yang mulia di Sisi Allah SWT.
#Nurjaman Mochtar/Dewan Pakar PWI Pusat
Editor: Ariful Hakim