Ceknricek.com -- Baru saja terngiang di telinga kita, pernyataan aneh seorang menkes di sebuah media online, Kumparan 16 Januari 2025, bahwa BPJS tak mampu mengcover seluruh jenis penyakit, untuk itu menkes menghimbau agar masyarakat dapat memiliki asuransi lain selain BPJS kesehatan (kumparan.com https://search.app/G3gQXomYH59o6xLw9). Lebih lanjut, menkes menyatakan “Saat ini kemenkes tengah menggodok skema yang dapat melibatkan asuransi swasta untuk dapat menanggung pengobatan yang tidak termasuk dalam BPJS, jadi nanti kalau kena penyakit yang enggak di-cover oleh BPJS, yang puluhan juta sisanya bisa di-cover oleh asuransi swastanya”.
Sesuai prediksi, yang bisa jadi mengikuti arahan sang Juragan (baca : menkes), pernyataan ini diamini oleh para buzzer yang bahkan bisa jadi petunjuk arah atau maksud dari pesan sang Juragan, seperti contohnya di sebuah unggahan di IG, “Jika ada opsi BPJS bubar dan digantikan oleh asuransi lain, baik tunggal maupun multiple, misal dikelola oleh BUMN/ Swasta……….mungkin saja akan jauh lebih baik”.
Pernyataan menkes ini menuai bermacam tanggapan dari berbagai pihak. Bahkan tidak sedikit yang kemudian menafsirkan pernyataan menkes tersebut sebagai petunjuk bahwa BPJS kesehatan dalam kondisi keuangan yang buruk alias defisit. Hal ini juga dikaitkan dengan tertundanya pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada beberapa Faskes karena beberapa sebab yang berbeda.
Tentu saja pernyataan menkes ini langsung ditanggapi (via laman IG bpjskesehatanri) oleh Dirut BPJS-K, Prof. Ali Ghufron Mukti, bahwa kondisi keuangan BPJS Kesehatan saat ini tergolong sehat dengan total aset Jaminan Sosial Kesehatan (DJS) sebesar 52,40 triliun. Berdasarkan PP 84/2015, Pasal 37 Ayat 1, aset DJS dikatakan sehat jika paling sedikit harus mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk 1,5 bulan ke depan, sedangkan saat ini kemampuan pembayaran klaim BPJS-K adalah untuk 3,5 bulan ke depan.
Tanggapan pihak BPJS ini penting sekali untuk menepis anggapan yang berkembang akibat dari narasi yang dibangun oleh menkes dan diamini oleh para buzzer-nya. Apalagi bila masyarakat awam sampai termakan oleh disinformasi bahwa pelayanan BPJS dengan Universal Coverage-nya terancam gulung tikar alias bangkrut. Disisi lain terlihat adanya upaya menkes untuk mengalihkan peran dan tanggung-jawab BPJS, sebagian maupun seluruhnya, kepada Perusahaan Asuransi Swasta. Layanan kesehatan bagi 280 juta penduduk negeri ini, tentu saja merupakan objek bisnis yang ‘sangat menggiurkan’ bagi perusahaan asuransi manapun karena potensi jumlah nasabah yang bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta orang.
Penghasilan seorang Makelar (perantara) jual-beli Properti, dan Agen Asuransi
Di negeri Konoha ini ada sebuah kelaziman, kalau saya menjual/ membeli sebuah rumah lewat perantara (jawa: makelar), maka sang perantara akan memperoleh bagian atau komisi sekitar 5% dari total nilai jual beli/ transaksi tersebut. Kelaziman ini tentu juga berlaku pada semua transaksi jual beli properti yang memanfaatkan jasa perantara/ makelar, meskipun penjual atau pembelinya bukan perorangan, misalnya sebuah Korporasi, atau BUMN, bahkan juga Instansi Pemerintah.
Kalau anda bekerja sebagai agen asuransi, tentu anda akan berusaha mati-matian untuk bisa menggaet nasabah baru sebanyak mungkin, karena ada kelaziman bahwa penghasilan agen asuransi adalah berupa komisi yang diperoleh sekitar 20-30% dari Annual Premium Income (API) atau Pendapatan Premi Tahunan. Misalnya saya sebagai agen sebuah asuransi kesehatan, dan memiliki 25 orang nasabah dengan premi masing-masing 1 juta per bulan, atau premi tahunan 12 juta rupiah per tahun. Premi nasabah tersebut, anggap saja menghasilkan nilai/ manfaat investasi masing-masing 8 juta per tahun. API dihitung dari manfaat investasi dikalikan jumlah nasabah per tahun, jadi besaran API nya adalah 25 x 8 juta, totalnya 200 juta rupiah. Bila besaran komisi di Perusahaan Asuransi Kesehatan tersebut 30%, maka saya akan memperoleh komisi sebesar Rp. 60 juta per tahun, atau Rp. 5 juta per bulan. Ini bila jumlah nasabah saya hanya 25 orang, tidak terbayangkan jumlah komisi yang akan saya dapatkan bila nasabah saya ada 1000 orang atau lebih banyak lagi.
Tentang permintaan Juragan agar rakyat memiliki asuransi lain selain BPJS-K, patut untuk dipertanyakan itu beneran atau halusinasi? Mengingat fakta bahwa 70% peserta BPJS atau 194,53 juta orang ada di klas 3, termasuk 96,8 juta rakyat miskin yang iurannya dibayar negara atau PBI (https://nasional.kontan.co.id). Apalagi data per 30 Oktober 2024, tercatat sebanyak 56,8 juta peserta menunggak (baca: tidak mampu) bayar iuran alias BPJS-nya Tidak Aktif. (https://finansial.bisnis.com).
Seorang menkes adalah kepanjangan tangan negara dalam memenuhi hak kesehatan rakyat di seantero negeri. Siapapun dengan jabatan menkes, seharusnya bicara atas nama negara untuk kepentingan mayoritas rakyat pemilik negeri ini. Pertanyaannya, rakyat mana lagi yang diminta untuk menjadi peserta Asuransi Kesehatan Swasta. Jangan-jangan cuma mereka yang tinggal di Jakarta saja? Atau khusus rakyat yang ada di sekeliling kantor kemenkes saja?
Apalagi kalau dikaitkan dengan data Kemendagri per Desember 2021 (https://dataindonesia.id), ada 64,15 juta penduduk yang tidak pernah sekolah, dan 64,68 juta yang cuma tamat SD atau tidak tamat/ putus sekolah SMP. Dari taraf pendidikannya saja, hampir separoh populasi negeri ini secara intrinsik berpotensi tidak memahami makna ‘asuransi’, bahkan ada sebagian masyarakat negeri ini yang berkeyakinan bahwa asuransi itu diharamkan oleh agama.
Kesehatan adalah Hak Rakyat, BPJS dan Universal Health Coverage (UHC) adalah Kewajiban Negara kepada rakyatnya
Dalam Pembukaan UUD-1945 Alinea 4 tertulis bahwa berdirinya negara ini adalah sarana untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 28 H Ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Di sisi lain, pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Ditambah lagi, deklarasi universal HAM, Pasal 25, bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya. Dalam UU No. 39-2009 ditegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, dibentuk berdasarkan UU No.24-2011 sebagai pelaksanaan dari UU No. 40-2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah institusi penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mulai beroperasi sejak 1 januari 2014. Universal Health Coverage (UHC) memastikan adanya kesetaraan dalam mengakses layanan kesehatan yang adil, komprehensif, dan bermutu bagi semua orang, tidak hanya terbatas bagi mereka yang dapat membayar layanan tersebut. Program JKN guna mewujudkan UHC diadopsi dalam RPJMN 2020-2024 dengan capaian 98%.
Menurut data BPJS Kesehatan, per 30 Nov.2024, jumlah peserta JKN mencapai 277,9 juta orang atau sekitar 98,25 persen dari total penduduk Indonesia (https://www.cnbcindonesia.com), termasuk 96,8 juta PBI atau penduduk miskin yang iurannya dibayar pemerintah lewat APBN (https://nasional.kontan.co.id). Sudah tepat bila BPJS berperan selaku juru bayar bagi semua layanan kesehatan bagi pesertanya. Dana BPJS yang saat ini berjumlah 52,40 triliun adalah sepenuhnya milik peserta dan amanah masyarakat yang harus dikelola dan dipergunakan sepenuhnya untuk peningkatan pelayanan peserta JKN. Dana yang begitu besar tersebut merupakan jaminan kemampuan BPJS-K untuk memenuhi tanggung-jawabnya membayar klaim seluruh faskes yang menjadi provider pelayanan kesehatan kepada seluruh rakyat yang membutuhkan.
Independensi BPJS ini tidak boleh diintervensi oleh menkes sebagai kepanjangan tangan eksekutif. Berlakunya UU No. 17-2023 (yang membatalkan UU BPJS dan UU SJSN) berpotensi menghancurkan independensi yang selama ini dimiliki oleh BPJS. “Pembentukan Komite Kebijakan Sektor Kesehatan (KKSK) yang diketuai oleh menkes memberikan kewenangan yang cukup besar kepada menkes dalam mengintervensi program JKN," ungkap Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar baru-baru ini. “Jangan sampai dana BPJS yang sepenuhnya milik masyarakat ini nantinya digunakan untuk mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan APBN atau pemerintah," demikian lanjutnya (https://www.antaranews.com).
Keberlangsungan BPJS-K butuh menkes yang tidak Menggunting Dalam Lipatan
Deklarasi WHO terkait Universal Health Coverage (UHC), tanggal 21/9/2023 (https://www.who>health) mendesak pemerintah di negara LAMIC (Low and Middle Income Countries) untuk berkomitmen secara Politik dan Finansial membangun Primary Health Care (PHC) sebagai Prioritas Pembangunan Nasional. Bila diterapkan secara efektif, pemberdayaan PHC ini bisa memenuhi 90% pelayanan kesehatan esensial yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, pemberdayaan PHC yang efektif akan bisa meningkatkan usia harapan hidup sebesar 3,7 tahun pada tahun 2030 nanti. Kalau bicara tentang kebutuhan dokter, menkes mati-matian mengikuti kriteria WHO, jadi patut dipertanyakan sejauh mana Deklarasi WHO soal pemberdayaan PHC ini diprioritaskan? Lebih jauh lagi, dari dana pinjaman World Bank yang 4 miliar Dolar atau 63 Triliun Rupiah itu, seberapa banyak yang dikucurkan untuk pemberdayaan PHC ?
Terkait dengan dana 4 miliar dolar loan, “uang pinjaman tersebut akan digunakan untuk menstandarisasi dan melengkapi alat kesehatan di RS kabupaten/Kota dan RS di Provinsi. Ke depannya seluruh RS di Indonesia diharapkan bisa melayani penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi yakni Stroke, Jantung, dan Kanker” (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-698852/menkes-pinjam-usd-4-miliar-ke-world-bank-demi-benahi-kualitas-rs-di-ri). Jelas bahwa tidak satu Sen pun yang peruntukannya diprogramkan untuk pemberdayaan Primary Health Care atau Puskesmas, padahal tata kelola semua penyakit katastrofik yaitu Stroke, jantung, dan Kanker harus dimulai dari PHC atau Puskesmas. Jelas bahwa sang juragan ini sama sekali tidak mengindahkan Deklarasi WHO tentang UHC, atau dengan kata lain sang juragan memang tidak mendukung perbaikan dan peningkatan kemampuan BPJS-K untuk bisa memenuhi Program UHC bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘Menggunting Dalam Lipatan” artinya adalah ‘Perbuatan yang membahayakan/ mencelakakan kawan sendiri’ atau makna populernya ‘sebuah tindak pengkhianatan yang halus sehingga tak terlihat’. Pernyataan menkes bahwa BPJS tak mampu mengcover seluruh jenis penyakit, dan menghimbau agar masyarakat untuk memiliki asuransi lain selain BPJS-K (kumparan.com https://search.app/G3gQXomYH59o6xLw9), lebih pas dinarasikan dengan peribahasa ‘Menohok Kawan Seiring, Menggunting Dalam Lipatan’. Maknanya adalah sebuah perilaku mencelakai sahabat atau kerabat dengan akal busuk, yaitu sebuah sifat buruk yang dilandasi antusiasme untuk mewujudkan suatu keinginan yang sulit diperoleh bila dilakukan secara profesional atau bersaing sportif (https://antaranews.com, 10 Maret 2024).
Menanggapi anjuran menkes agar masyarakat juga menggunakan Asuransi Swasta, wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris menyebut bahwa apa yang disampaikan menkes Bukan Solusi. Tidak semua masyarakat memiliki kemampuan finansial untuk membayar premi asuransi tambahan. Pemerintah harus memastikan BPJS tetap kuat dan inklusif sehingga semua orang, termasuk yang kurang mampu, tetap terlindungi dalam mendapatkan pelayanan kesehatan (Detik.com Sabtu 18 Januari 2025).
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis bedah Saraf, Guru Besar Universitas Diponegoro
Editor: Ariful Hakim