Ceknricek.com--Ketika akhirnya putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, berpasangan dengan capres Prabowo Subianto, sambutan yang menggelegar ternyata menyuarakan banyak pandangan, bukan hanya luapan kegembiraan oleh para pendukung Prabowo melainkan juga angkara murka, terutama, dari PDIP.
Bagaimana PDIP tidak murka, karena partai yang terus menerus dipimpin oleh salah seorang putri Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno ini, seakan kecolongan di siang bolong.
Bukankah PDIP telah menetapkan mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai calon presidennya? Bukankah karena itu, PDIP berpendapat sudah seharusnya, semua yang pernah berhutang budi padanya harus “Ya Mbok, maaf, Ya Mbak Mega (maksudnya Ketua Umum PDIP), kami berdiri tegak lurus di depan dan di belakang Ganjar Pranowo, sebagaimana rakyat Indonesia di zaman Orde Lama pernah berdiri tanpa reserve di belakang Bung Karno?”
Mari kita kenang kembali apa yang pernah dikatakan oleh Megawati Sukarnoputri pada tanggal 14 Mei 2014 di Lenteng Agung yang merupakan markas besar PDIP kepada Joko Widodo yang waktu itu punya aspirasi alias cita-cita untuk menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Susilo Bambang Yudoyono selesai masa tugasnya.
Berkata Mbak Mega sebagaimana luas dilaporkan media di Indonesia waktu itu:
"Pak Jokowi sampeyan tak jadikan capres, tapi Anda adalah petugas partai yang harus menjalankan tugas partai”. Dan setelah Joko Widodo akhirnya terpilih sebagai Presiden NKRI, Mbak Mega juga tidak bosan-bosannya untuk mengingatkan sebenarnya bukan saja dan hanya Jokowi melainkan juga rakyat Indonesia seluruhnya bahwa “Joko Widodo adalah petugas partai, sebagaimana dirinya juga adalah petugas partai.”
Biar bagaimana pun memang PDIP telah peras keringat dan banting tulang dalam mengusung capres Joko Widodo dalam pilpres 2014. Dan ternyata berhasil.
Bisa dibilang PDIP telah menanam budi dalam upayanya untuk menjadikan mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI itu sebagai orang nomer satu di Indonesia.
Dan dalam budaya kita ada peringatan tentang “balas budi”, antaranya dalam bentuk pantun Melayu:
“Pisang emas bawa berlayar
Masak sebiji di dalam peti
Hutang emas dapat dibayar
Hutang budi dibawa mati.”
Cuma dalam politik keadaannya lain lagi. Anak “bau kencur” yang berkecimpung dalam percaturan politik pun niscaya tahu bahwa dalam “seni yang memungkinkan segalanya” itu, tidak ada kesetiaan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Kalau Mbak Mega, misalnya, melihat PDIP saja pun tentu akan menyadari bahwa dalam politik sudah lumrah hal-hal seperti yang terjadi dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo Subianto dalam pilpres Februari 2024. Bukankah putri kandung Mbak Mega, Puan Maharani, juga dapat jabatan Ketua PDIP, karena ibunya Ketua Umum? Ataukah ada faktor-faktor lain?
Bisa saja Presiden Joko Widodo dituding tidak tahu membalas budi, atau Mbak Mega sebenarnya laksana telah membesarkan anak harimau, atau sang Presiden dua masa jabatan itu laksana membalas air susu dengan air tuba, namun semua itu adalah bagian dari percaturan politik.
Di abad ke-16 pujangga Inggris William Shakespeare, yang terkenal karena kemampuannya “membaca” sifat-sifat manusia, dalam karyanya tentang Kaisar Romawi Julius Caesar, menyusun argumen yang sangat piawai yang diucapkan oleh Marcus Brutus untuk mencari pembenaran kenapa sang Kaisar Julius Caesar, harus dihabisi, meski dirinya dalam karya itu disebut sebagai anak pungut sang Kaisar.
Dalam satu dialog Marcus Brutus mengatakan: “Bukan cinta saya pada Julius Caesar, tidak seberapa, melainkan cinta saya pada Roma lebih besar.”
Demi menyelamatkan Roma dari kekuasaan mutlak sekiranya Julius Caesar sampai dinobatkan menjadi Raja, maka Sang Kaisar harus dibunuh/diasasinasi.
Begini William Shakespeare menyusun argumen yang dikemukakan Marcus Brutus:
“Sudah lumrah terbukti
Merendah-rendahkan diri adalah tangga ambisi orang muda,
Di mana yang menaikinya menengadah ke atas;
Namun begitu ia mencapai puncak tangga
Maka ia berpaling dari tangga itu,
Melihat ke awan, dan mencibir yang dibawah,
Dari tempatnya memulai pendakian tangga itu.”
Bak kata orang kita, “Di hari panas kacang lupa sama kulitnya.” Atau “habis manis sepah dibuang.”
Dalam hal ini kita kembali terkenang akan sejarawan Italia yang juga suka disebut diplomat dan sastrawan di abad ke-16, Nicolo Machiavelli, yang dalam “teori” politiknya berjudul “Sang Pangeran”, melukiskan bagaimana para penguasa otoriter yang disebutnya sebagai “para pangeran” harus memerintah. Mereka, katanya harus nekat, buas dan mampu memanipulasi.
Karya Machiavelli itu silih berganti ditafsirkan sebagai suatu upaya sungguh-sungguh untuk menasehati mereka yang bercita-cita menjadi tiran dan sekaligus juga sebagai sebuah satir yang pro-demokrasi.
Apa pun, “Sang Pangeran” akhirnya dikenal sebagai suatu karya untuk mencerminkan “kebenaran hakiki” dari politik, yaitu motivasi para pemimpin pada hakikatnya adalah gabungan antara ambisi dan idealisme.
Kita jadi teringat akan pesan Khalifah pertama dalam Islam, Abu Bakar Ash-Shiddiq (ra), ketika akhirnya berhasil dibujuk agar bersedia memangku jabatan itu menyusul wafatnya Rasulullah (saw). Beliau (ra) berpesan kepada umatnya:
“Aku hanyalah manusia biasa dan aku bukanlah manusia yang terbaik di antara kamu. Apabila kalian melihat perbuatanku benar, maka ikutilah aku. Tapi bila kalian melihat perbuatanku salah, maka betulkanlah.”
Jadi pada hakikatnya kekuasaan itu sebenarnya beban yang berat. Allahu a’lam.
Editor: Ariful Hakim