Catatan Dari Samosir: “SMI 2019” Musik Berkelas di Tempat Sederhana | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Catatan Dari Samosir: “SMI 2019” Musik Berkelas di Tempat Sederhana

Ceknricek.com -- Masyarakat Pulau Samosir dan sekitarnya baru saja dihibur dengan penampilan beberapa grup musik --baik grup musik atau penyanyi lokal maupun dari mancanegara-- dalam sebuah perhelatan musik bernama Samosir Music International 2019 (SMI 2019). Acara yang berlangsung di Open Stage Tuktuk Siadong, Kecamatan Simanindo, Samosir, tanggal 23-24 Agustus itu merupakan yang kelima kali diadakan.

Pada hari pertama ada tiga grup musik dan seorang penyanyi solo yang tampil, yakni lokal Jajabi Band, Tongam Sirait and Friend, penyanyi solo Molly Moore, dan grup musik dari Malaysia Salammusik.

Puncak konser yang wajib membawakan lagu-lagu Batak itu digelar pada Sabtu 24 Agustus 2019 diisi dengan penampilan Viky Sianipar & Band, Grup Bagjuice dari Belanda, grup musik asal Jerman San & Preaches,  Alsant Nababan, Alex Rudiart Hutajulu, dan musisi asal Swedia Hermann Delago.

Dari nama-nama grup musik yang tampil itu, SMI 2019 boleh dibilang menjadi sebuah festival musik yang cukup berkelas. Apalagi event ini juga bukan sekadar perhelatan musik biasa, melainkan sebuah kegiatan yang ditujukan untuk menarik wisatawan datang ke kawasan wisata Danau Toba. Atau oleh Kementerian Pariwisata disebut Horas Samosir Fiesta.

“SMI 2019” Musik Berkelas di Tempat Sederhana
Foto: Istimewa

Horas Samosir Fiesta merupakan sebuah program pengembangan pemasaran pariwisata dalam meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kabupaten Samosir. Event ini terdiri dari Event Budaya, Event Sport Tourism, dan Event Musik berskala Internasional.

Rangkaian Horas Samosir Fiesta dimulai sejak 7 Maret 2019, dan akan berakhir hingga 29 Desember 2019. Tidak hanya menampilkan festival berskala nasional, Horas Samosir Fiesta juga menggelar festival berskala internasional, di antaranya; Samosir Music International Festival, Gran Fondo New York (GFNY) Championship Asia, dan Samosir Lake Toba Ultra Marathon.

Selain ketiga festival internasional tersebut juga akan ada festival lainnya, yaitu Toba Audax (7-11 Maret 2019), Sigale-gale Carnaval (31 Mei 2019), Festival Gondang Naposo (08-09 Juni 2019), Horja Bius (05-06 Juli 2019), Samosir Lake Toba Ultra (20-21 September 2019), Lake Toba Film Festival (15-16 November 2019), dan Chrismast Season (28-29 Desember 2019).

Asisten Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kementerian Pariwisata, Dessy Ruhati menjelaskan, SMI 2019 digelar dengan tujuan mendukung tercapainya target 20 juta wisman ke Indonesia sepanjang tahun ini.

“Pelaksanaan Samosir Music International diharapkan dapat menarik minat para wisatawan untuk berkunjung ke Samosir - Danau Toba. Pihak terkait seperti Tour dan Travel Agent diharapkan dapat mengambil peluang dengan membuat paket-paket wisata yang dapat memberi manfaat terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat,” ucapnya sebelum konser berlangsung.

Menteri Pariwisata, Arief Yahya menyatakan, SMI 2019 dapat meningkatkan awareness wisatawan nasional, regional, dan international terhadap destinasi Danau Toba. Kegiatan ini juga dapat mengangkat dan memperkenalkan Budaya Batak di mata internasional.

“SMI 2019” Musik Berkelas di Tempat Sederhana
Foto: Istimewa

Baca Juga: Pariwisata Tumbuh, PAD Retribusi Wisata Samosir Triwulan I Tembus Rp287 Juta

“Melalui Samosir Music International, diharapkan mampu memperkuat promosi wisata (branding) di daerah setempat. Secara langsung, event ini juga akan berdampak positif pada tingkat hunian hotel dan pendukung wisata lainnya,” kata Menpar Arief Yahya.

Pertanyaan kemudian, apakah SMI 2019 sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan? Nah ini yang perlu dilihat dan dikaji secara mendalam.

Pertama, jika tujuannya adalah untuk mendatangkan wisatawan ke Kawasan Geopark Danau Toba, khususnya Pulau Samosir, penyelenggaraan SMI 2019 memang belum memenuhi target yang diinginkan. Bila dilihat secara kasat mata, terutama pada pertunjukkan hari pertama, masih sedikit wisatawan asing yang menyaksikan acara tersebut.

Diperkirakan ada sekitar 30-an wisatawan, baik turis-turis bule maupun yang datang dari Malaysia. Khusus turis Malaysia datang ke SMI 2019 untuk menyaksikan penampilan Salammusik. Mayoritas penonton adalah warga lokal atau masyarakat yang datang dari kabupaten-kabupaten di sekitar Danau Toba atau provinsi yang berbatasan dengan Sumatera Utara. Wisatawan asing berbaur dengan Wisnus dan warga lokal.

Minimnya wisatawan mancanegara yang datang ke acara tersebut sejauh ini belum diketahui penyebabnya, apakah karena saat ini bukan masa liburan di negera-negara yang menjadi sasaran pariwisata Indonesia, atau bisa jadi SMI 2019 kurang mendapat promosi dan publikasi memadai. Di Pulau Samosir sendiri tidak terkesan girah (antusiasme) masyarakat terhadap penyelenggaraan tersebut, sementara orang luar Samosir –apalagi di Jakarta, tidak terlalu engah ada perhelatan musik hebat di Samosir pada tanggal 23-24 Agustus 2019.

“SMI 2019” Musik Berkelas di Tempat Sederhana
Foto: Istimewa

Persoalan kedua adalah tentang kesiapan panitia, khususnya Pemerintah Kabupaten Samosir dalam penyelenggaraan SMI 2019. Open Stage Tuktuk Siadong, di Kecamatan Simanindo, Samosir, tidak terlalu buruk untuk menyelenggarakan festival musik. Open Stage Tuktuk Siadong merupakan sebuah amphitheater yang memadai. Panggung SMI 2019 dibuat mewah dengan sound system berkualitas. Penonton pun bisa menyaksikan baik dari kursi beton bertingkat seperti umumnya amphitheater, maupun di latar persis di depan panggung yang biasa disebut kelas festival dalam pertunjukkan musik di ruang tertutup.

Namun fasilitas penunjang yang ada di sekitarnya masih perlu perhatian lebih serius baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, jika Samosir Music International di masa mendatang akan menjadi festival musik yang menarik dan berwibawa.

Kekurangan itu terlihat pada jalan menuju lokasi yang masih buruk. Selain kecil, lapisan aspalnya sudah terkelupas, padahal lokasi Open Stage Tuktuk Siadong tidak jauh dari Jalan Lingkar Tuktuk, jalan utama di Pulau Samosir. Untuk meninggalkan lokasi pertunjukkan kendaraan harus melewati jalan lain yang berada di belakang panggung, dengan kondisi lebih buruk lagi.

Tempat parkir kendaraan juga jadi masalah, karena terlalu sempit. Sebagian area parkir sudah ditempati oleh pedagang-pedagang makanan atau kerajinan masyarakat lokal, sehingga mobil-mobil atau motor pengunjung harus berdesakan hingga ke jalan luar. Pengemudi harus ekstra hati-hati jika meninggalkan lokasi karena bisa saja mobilnya nyerempat mobil lain yang parkir di pinggir jalan.

Pedagang memang harus mendapat tempat dalam event seperti ini, agar dampaknya juga bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Itulah tujuan pariwisata sesungguhnya.

Infrastruktur

Infrastruktur memang menjadi persoalan yang harus diperhatikan oleh pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Mulai dari Jalan Lingkar Tuktuk yang menjadi jalan utama di Pulau Samosir hingga jalan-jalan kecil menuju tempat wisata, seperti jalan menuju Open Stage Tuktuk Siadong atau ke Desa Wisata Tomok Parsaoran, jalan masih sangat kecil, sehingga kendaraan yang lewat harus berhenti dulu bila berpapasan. Belum lagi motor-motor yang diparkir sembarangan di pinggir jalan, kadang menyulitkan sopir yang membawa kendaraan roda empat.

Kecilnya jalan di Pulau Samosir itu harus dipikirkan dengan serius oleh pihak berwenang. Sebab jika tidak dipikirkan, ini juga akan mempengaruhi wisata di Danau Toba. Berbicara dengan masyarakat, utamanya tokoh-tokoh adat perlu dilakukan, demi perkembangan pariwisata dan perekonomian masyarakat itu sendiri.

Kendala lain yang menyulitkan arus wisatawan datang ke Pulau Samosir adalah minimnya kapal-kapal penyeberangan yang ada. Selama ini, mayoritas penyeberangan di Danau Toba kapal kayu. Namun tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, tepatnya di perairan Tigaras (Simalungun) pada Juni 2018, sebagian masyarakat masih takut menggunakan kapal jenis tersebut. Diperlukan waktu cukup lama untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.

“SMI 2019” Musik Berkelas di Tempat Sederhana
Foto: Istimewa

Baca Juga: Sigale Gale Carnival 2019 Promosikan Keunikan Budaya Samosir

Satu-satunya kapal ferry besar yang ada adalah Ihan Batak yang disediakan oleh pemerintah di era pemerintahan Presiden Jokowi. Tidak heran jika ada anggota masyarakat yang menyebutnya “Kapal Jokowi”. Ketika penulis meninggalkan Pulau Samosir melalui Pelabuhan Ambarita, 24 Agustus 2019 pagi, kapal itu baru datang dari Pelabuhan Ajibata di Prapat dengan muatan penuh, baik penumpang maupun kendaraan.

Jika pariwisata Danau Toba ingin maksimal, pemerintah perlu lebih banyak menghadirkan kapal-kapal sekelas “Ihan Bata”, tentu saja dengan melibatkan pengusaha-pengusaha kapal penyeberangan yang sudah ada.

Juga perlu diperhatikan adalah kenyamanan hotel-hotel atau penginapan bagi wisatawan yang ada di Samosir. Mulai dari makanan hingga pelayanan (hospitality) masih perlu diperbaiki. Buruknya pelayanan hotel di sana penulis rasakan sendiri, bagaimana dalam dua hari menginap tak sekalipun ada petugas yang membersihkan kamar, dan handuk pun harus diminta.

Pemerintah tidak boleh lelah mendidik pengusaha penginapan atau rumah makan di Samosir agar bisa memberikan pelayanan yang profesional, sehingga membuat wisatawan betah berlama-lama di sana. Sebab, Samosir memiliki modal yang sangat besar untuk menjadi destinasi wisata prioritas; alam yang indah, cuaca yang sejuk, dan budaya masyarakat yang eksotik.

SMI 2019

Kembali ke penyelenggaraan SMI 2019, event ini dikemas dengan baik, komposisi musisi yang hadir menghadirkan antusiasisme penonton yang ada di lokasi pertunjukkan.

Acara dibuka pada Jumat (23/8) dengan tarian tortor oleh puluhan orang tua dan anak-anak dari beberapa sanggar yang ada di Samosir. Samosir Music Internasional kali ini merupakan yang kelima kali diadakan. Bupati Samosir Rapidin Simbolon dan Wakilnya Juang Sinaga ikut menyaksikan penampilan pertunjukan.

“SMI 2019” Musik Berkelas di Tempat Sederhana
Foto: Istimewa

Bupati Samosir Rapidin Simbolon melihat stand-stand yang ada di area pergelaran Samosir Music International 2019 di Open Stage Tuk Tuk Siadong.

Sebelumnya para penari tortor menyambut para pemusik yang akan tampil dengan tari-tarian, dan mengalungkan ulos, setelah itu dilanjutkan dengan tarian tortor dan zumba oleh sejumlah perempuan. Pertunjukan berlangsung pada malam harinya.

Pada hari pertama ada dua tiga musik dan seorang penyanyi yang tampil, yakni lokal Jajabi Band, Tongam Sirait and Friend, penyanyi solo Mooley Moore, dan grup musik dari Malaysia Salammusik.

Ribuan penonton, baik warga Samosir maupun dari luar Samosir memadati lokasi konser yang ditangani oleh Henry Manik dan didukung oleh Pemkab Samosir tersebut.

Penyanyi bersuara serak, Tongam Sirait yang sempat dua kali muncul mendapat sambutan luar biasa, terutama dengan anak-anak muda yang sebagian besar sudah akrab dengan lagu-lagunya. Ketika ia menyanyi, anak-anak muda yang berada di pelataran depan panggung ikut menyanyi. Aliran rock yang diusungnya rupanya cocok dengan selera anak-anak muda.

Baca Juga: Menggali Keindahan Pulau Samosir Lewat Horas Samosir Fiesta

Moly Moore, penyanyi Batak wanita yang juga dikenal sebagai penulis novel, juga mendapat sambutan meriah dari penonton, meski pun ia hanya membawakan dua buah lagu.

Di tengah penampilan Tongam Sirait, hujan sempat turun dan sebagian besar tempat berteduh, karena Open Stage Tutuk Siadong -- sesuai namanya-- tidak beratap. Namun tidak lama kemudian hujan berhenti, penonton kembali ke tempatnya menyaksikan grup musik yang tampil hingga selesai, pada tengah malam.

Grup musik asal Malaysia, Salammusik, juga mendapat sambutan meriah, termasuk beberapa anak muda penggemarnya yang datang dari Malaysia. Grup yang mengusung aliran rock, reggae dan hip hop ini membawakan lagu-lagu berlirik Melayu dan sebuah lagu berbahasa Batak.

“SMI 2019” Musik Berkelas di Tempat Sederhana
Foto: Istimewa

Puncak konser yang wajib membawakan lagu-lagu Batak itu digelar pada Sabtu 24 Agustus 2019 diisi dengan penampilan Viky Sianipar & Band, Grup Bagjuice dari Belanda, grup musik asal Jerman San & Preaches, Alsant Nababan, Alex Rudiart Hutajulu dan musisi asal Swedia Hermann Delago.

Seperti hari pertama, pertunjukkan hari kedua juga sempat diguyur hujan. Tetapi penonton yang antusias tetap bertahan di sekitar panggung untuk menyaksikan penampilan musisi-musisi yang tampil.

Ke depan, jika Samosir Music International ingin menjadi festival musik kelas dunia yang berwibawa dan menarik minat wisatawan asing maupun wisatawan Nusantara datang ke Pulau Samosir, Open Stage Tuktuk Siadong mungkin sudah tidak memadai lagi. Pemerintah harus membuat sebuah tempat pertunjukkan baru –boleh amphitheater– yang lebih memadai, baik tempat pertunjukkan atau fasilitas di sekitarnya.

Jika boleh mengusulkan, amphitheater itu haruslah berada persis di tepi Danau Toba, sehingga pengunjung bisa menyaksikan musik sambil menikmati keindahan Danau Toba. Rasanya tidak sulit mendapatkan lokasi untuk itu di Pulau Samosir, jika pemerintah mengajak bicara masyarakat dan tokoh adat setempat. Jika itu dilakukan, bukan tidak mungkin pemusik-pemusik top di Indonesia atau dunia pun tertarik bermain di Samosir.

BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait