Ceknricek.com--“No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet, death is the destination we all share. No one has ever escaped it, and that is how it should be, because death is very likely the single best invention of life. It's life's change agent. It clears out the old to make way for the new.” (Steve Jobs).
‘’Satu lagu kegemaran saya yang pernah dilantunkan iyek Ahmad Albar bertutur..dunia ini panggung sandiwara..saya setuju bingit..dunia panggung kehidupan adalah penuh drama..tak terkecuali tragedi kecelakaan nahas yang menimpa Vanessa Angel beserta keluarga di area tol Jombang-Mojokerto menuju Surabaya. Ungkap duka dan belasungkawa patut kita sampaikan secara tulus ikhlas, khususnya bagi segenap keluarga dan sang putra yang ditinggalkan,” demikian tutur awalan Gus Dur di pagi nan rinai gerimis musim penghujan.
Saya masih terkantuk-kantuk dan terbuai oleh mendung-mesra nuansa langit pagi ini. Adakah alam juga merasakan duka di tengah banyaknya tragedi anak manusia? Terngiang apa yang disampaikan Haruki Murakami, seorang penulis fiksi dan non-fiksi terkenal Jepang, “Kenangan menghangatkanmu dari dalam. Tapi mereka juga mencabik-cabikmu.”
‘’ Berbincang soal kematian dalam ngopi kita kali ini jelas bukanlah hal kaleng-kaleng Mas, bukanlah hal yang sederhana baik karena ketidakjelasan yang disebabkan oleh ketiadaan pengalaman individu, maupun dikarenakan subjektivitas perasaan yang timbul akibat melihat kematian manusia lain. Gambaran tentang kematian secara utuh yang tak mampu dibahasakan menyebabkan sebuah kesepakatan terhadap adanya misteri tentang kematian yang sekaligus merupakan sebuah problem perennial. Dengan demikian, kematian hanya mampu untuk coba dipahami melalui nalar, rasio, melalui proses analisis yang diawali dari pengamatan dan pengumpulan data. Filsafat manusia sebagai cabang dari epistemologi, membicarakan kematian sebagai salah satu pembahasan pokok. Banyak filsuf besar yang telah membahas perihal kematian dari beragam perspektif.
Pertama dan paling dikenal khalayak adalah pandangan menurut Martin Heidegger, yang mengungkapkan kematian sebagai sesuatu yang merupakan perpanjangan-tangan dari proses hidup manusia yang memang tidak berkesudahan dalam perangkap “belum”. Oleh karena itu, hidup menurut Heidegger adalah sebuah proses menuju kematian. Ia tak lelah mengingatkan bahwa kematian bukanlah sekadar fenomena biasa yang berlaku sama saja dan biasa saja bagi semua orang. Sebaliknya, sang filsuf menegaskan bahwa detik-detik menjelang kematian adalah saat-saat paling otentik yang dimiliki diriku sendiri yang tidak mungkin "dititipkan" kepada orang lain. Menurut Heidegger, kematian merupakan akhir dari kemungkinan-kemungkinan, suatu ketidakmungkinan dari kemungkinan. Maksudnya, ketika manusia telah mati, ia tidak akan mungkin lagi melakukan hal-hal untuk mewujudkan rencana hidupnya.
Kemudian menurut Sartre, kematian adalah sekonyong-konyong yang bersifat buta dan sangat absurd karena ia bersifat pasti namun tidak menyediakan pilihan. Sedangkan menurut Jaspers, kematian adalah akhir dari proses hidup karena manusia telah berada pada kondisi pemenuhan. Adapun Louis Leahy, seorang dosen sekaligus tokoh filsafat kontemporer, yang dalam sebuah situs ensiklopedia internasional sudah diakui sebagai seorang filsuf, menandaskan bahwa kematian adalah kondisi yang sangat menakutkan dan mengancam kemapanan eksistensi manusia.
Selamanya pengalaman akan kematian akan menjadi sebuah misteri bagi manusia yang masih hidup. Kematian, baik yang datang dalam bentuk normal maupun tidak normal, selalu saja memutus kehidupan manusia dengan sewenang-wenang. Kematian merampas seluruh skala nilai dalam kehidupan manusia. Hampir semua manusia merasa kematian datang terlalu cepat, ketika kematian dialami oleh orang lain. Pada saat yang sama orang menyatakan bahwa seharusnya kematian belum datang dan belum memunculkan wujudnya.
Dari beragam pandangan filosofis tersebut, dapat disimpulkan bahwa kematian, pada dasarnya, dapat dipandang sebagai sesuatu yang subjektif. Kematian tidaklah bersifat universal sebagaimana dipahami oleh banyak orang. Tentu saja pandangan yang dikemukakan para tokoh tersebut dipengaruhi oleh cara pandang masing-masing tokoh terhadap kehidupan dan dunia yang dihadapinya. Pada titik ini, pandangan Heidegger dalam memandang kematian cukup relevan. Bahkan ketika ia datang secara mendadak, apa yang dikatakan sebagai sebuah kematian, dimana kita selalu menuju kesana, setidaknya memberikan jawaban yang cukup jelas. Perbincangan tentang kematian memang selamanya bakal selalu menyisakan pertanyaan tak terjawab bagi manusia, kendati ia adalah hal yang paling dekat dengan kehidupan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa bagi semua yang hidup, mati adalah keniscayaan, namun kematian adalah misteri,” papar Gus Dur panjang lebar namun mengasyikkan.
‘’Bila demikian halnya, bagaimana kita mesti menyikapinya Gus,” tanyaku yang memang bingung sejati tanpa dibuat-buat.
‘’Gampang, gitu aja koq repot..kita mesti mabuk Mas..bukan sembarang mabuk lho..itu haram, yang saya maksud disini adalah kita mesti mabuk cinta! Christopher Poindexter bertutur dengan sangat indah, "Dan pada akhirnya, kita semua hanyalah manusia, mabuk pada gagasan bahwa cinta, hanya cinta, yang bisa menyembuhkan kehancuran kita." Cinta dapat menyembuhkan kehancuran manusia, cinta jualan yang dapat menyatukan pribadi yang semula terbelah karena perbedaan atau strata sosial atau derita kehilangan. Bahkan, Charles Baudelaire, seorang penyair, penerjemah, dan kritikus Prancis menjelaskan, “Seseorang harus selalu mabuk. Itu saja yang penting ... Tapi dengan apa? Dengan anggur, dengan puisi, atau dengan kebajikan, seperti yang Anda pilih. Tapi yang penting mabuk. Mabuk cinta akan kehidupan yang welas-asih atas sesama dan segala mahluk sembari terus meng-ada dalam kebaikan dan bersiap menjumpai kematian yang niscaya.’’
‘’Inggih Gus, saya mesti terus belajar dan mengejar kebaikan dalam hidup, banyak yang mesti dibenahi, nyuwun pangestu..’’ tutur saya sambil menghaturkan kedua telapak tangan untuk sungkem..ternyata beliau sudah tak tampak lagi..
*) Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir bebas, sedang menyelesaikan studi S3 di Taiwan sembari terus mengajar dan menebar gagasan baik bagi semua
Editor: Ariful Hakim