RNI (Rangkaian Ngopi Imajiber) Lebaran
Ceknricek.com—Memasuki gempita Lebaran 1444 H, tiada henti saya mengucap syukur kendati ditingkahi hiruk-pikuk soal macetnya mudik maupun ramainya pencapresan Mas Ganjar Pranowo oleh PDI-P. Tak lepas pula nurani dan benak ini berkecamuk tanya: bila tahun depan 2024 masih diberi berkah untuk merayakan Lebaran, akankah masih seperti saat ini yang amat sangat dipenuhi nuansa manusiawi ataukah makin rebut dalam nuansa pasca pemilu, ataukah makin didominasi oleh teknologi dan otomatisasi berbasis AI?
‘’Saya paham yang sampeyan risaukan Mas..harus diakui bahwa revolusi digital mengubah cara kita hidup dan mempengaruhi identitas kita, saat teknologi mengubah hidup kita, tak terelakkan kita diliputi banyak keraguan, kegamangan dan ketidak-pastian akan masa depan peradaban umat manusia. Apakah kita berubah menjadi dewa atau kita dalam proses menjadikan diri kita berlebihan?” tiba-tiba Gus Dur hadir di hadapan.
Belum sempat saya mohon maaf lahir batin pada Gus Dur sambil hendak mencium tanggannya, beliau melanjutkan: ‘’Apakah posthumanism adalah kerangka filosofis paling tepat yang mengajukan pertanyaan lebih dalam tentang apa yang kita maksudkan ketika kita mengatakan ‘kita’? Kita seyogyanya tetap mengingat bahwa humanisme berakar dari ide tentang ‘manusia’ yang secara historis telah digunakan untuk menindas siapa pun (dan apa pun) yang dianggap ‘bukan manusia.’
Filsuf Rosi Braidotti menyatakan bahwa pemahaman kita tentang ‘manusia’ didasarkan pada konsep Vitruvian Man karya Da Vinci yang popular tahun 1490. Oleh karena itu, humanis mejauh dari tidak bersalah: ia datang dengan beban supremasi, patriarki, dan penindasan yang begitu melimpah dalam nuansa kolonialisme.
Posthumanism bertolak dari daya kritis atas hal tersebut, dimana manusia tidak lagi menjadi pusat segalanya, tetapi terkoneksi dinamis tanpa putus dengan lingkungannya,termasuk mesin dan teknologi ciptaannya sendiri yang saat ini tengah ramai diperdebatkan manfaat atau mudaratnya.
Suka atau tidak suka ke mana dunia kita pergi, tidak mungkin menghentikan jam kemajuan teknologi. Posthumanism adalah suatu perspektif filsafat yang memandang manusia sebagai entitas yang dapat di-rekonfigurasi dengan teknologi dan kecerdasan buatan, sehingga memberikan ruang untuk pemahaman tentang hubungan manusia dengan teknologi.
Kita telah melampaui pertanyaan apakah teknologi itu ‘baik’ atau ‘buruk’, sebaliknya, kita sangat membutuhkan kerangka kerja etis yang membantu kita menghadapi pertanyaan yang lebih kompleks tentang bagaimana seharusnya teknologi diprogram, siapa yang harus melakukan pemrograman, bagaimana mengaturnya dan apa yang terjadi jika ada kesalahan dalam sistem?
Teknologi memungkinkan kita untuk melampaui keterbatasan manusiawi kita, sebagaimana sejatinya telah cukup lama dikritisi oleh filsuf Donna Haraway, yang menyatakan: “Kita semua adalah chimera, hibrida mesin dan organisme yang berteori dan dibuat-buat; singkatnya, kita adalah cyborg.” (Manifesto Cyborg: 1985).
Dengan kata lain, tak berlebihan bila dikatakan bahwa pemisahan antara manusia dan mesin telah makin hancur dan kabur. Definisi lama tentang manusia tidak berlaku lagi, dan sepertinya batas antara manusia dan mesin hanya akan terus hilang. Lebih lanjut, pemikir posthumanism Yuval Noah Harari memperkirakan bahwa kita akan “mengupgrade [diri kita sendiri] langkah demi langkah, bergabung dengan robot dan computer dalam prosesnya,” (Homo Deus: 2015).
Menurut Harari, sudah lama kita mengganti kepercayaan kepada Tuhan dengan kepercayaan akan kemajuan manusia dan kesucian hidup manusia sebagaimana dia tandaskan: “Pada abad kedua puluh satu, proyek besar ketiga umat manusia adalah untuk memperoleh bagi kita kekuatan ilahi penciptaan dan penghancuran, serta meningkatkan Homo Sapiens menjadi Homo Deus” (Harari, 2015). Dalam perspektif posthuman, kecerdasan buatan (artificial intelligence) menjadi entitas yang semakin penting dalam kehidupan manusia.
Digital AI, sebagai salah satu bentuk kecerdasan buatan, dianggap sebagai suatu entitas yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia. Namun, di sisi lain, keberadaannya juga memicu kekhawatiran dan tantangan bagi manusia, terutama terkait dengan etika, moralitas, dan bahkan ancaman terhadap privasi dan keamanan manusia.
Dalam pandangan posthumanism, kecerdasan buatan bukanlah sesuatu di luar diri manusia, melainkan suatu ekstensi dari kecerdasan manusia itu sendiri.Dengan demikian, interaksi manusia dan teknologi AI sangat butuh kita kritisi agar manusia tidak kehilangan kendali atas diri sendiri dan tergantung pada teknologi untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat mereka yang bias saling sengkarut dengan kemampuan AI untuk mengambil keputusan secara mandiri serta memicu pertanyaan tentang tanggungjawab manusia atas dampak dari keputusan yang diambil oleh AI nantinya.
Manusia perlu terus menerus memantau interaksi mereka dengan teknologi AI, dan memastikan bahwa teknologi tersebut tidak menggantikan peran manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas dan tanggung jawab etis.
Pada titik ini, kondisi posthuman adalah sebuah paradoks. Kita telah menciptakan kondisi kehancuran kita sendiri, saat kita memperoleh kekuatan yang lebih besar melalui penemuan ilmiah dan teknologi, kita juga jatuh kedalam bahaya yang semakin besar untuk membuat diri manusia kian tak bermakna. Realitas yang kita ciptakan juga menciptakan kita. Tidak ada ‘kita’ dan ‘dunia luar’, tidak ada dikotomi subjek-objek. Kita adalah pencipta dan makhluk dari kondisi pasca-manusia, kita adalah Sang Frankenstein sekaligus monsternya,” tukas Gus Dur sambil berlalu. Saya bergidik membayangkan hal tersebut bila menjadi nyata di tahun 2024 kelak atau sesudahnya.
*)Greg Teguh Santoso, pemikir lepas, sedang menuntaskan studi doctoral sembari berbagi ilmu di beberapa kampus juga melalui tulisan.
Editor: Ariful Hakim