Curhat SBY | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Curhat SBY

Ceknricek.com -- Di tahun 2019, Mahfud MD diminta Jokowi untuk siap siap jadi cawapres. Ia mendapat brifieng sebelum pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Diantaranya, mereka bakal naik sepeda ke KPU. Mahfud bonceng di belakang. Tak lupa, Mahfud diminta memakai baju putih. Segala persiapan itu, nantinya berujung nama Mahfud akan diumumkan Jokowi di depan media.

Usai semua ubo rampe pendaftaran ke KPU terpenuhi, tibalah Jokowi mengumumkan nama cawapres. Namun yang mengejutkan, nama Mahfud tidak keluar. Malah Kyai Ma’ruf Amin yang dideklarasikan. Mahfud sempat kaget tak kepalang, meski akhirnya ia bisa menguasai diri dan mengaku tidak kecewa. Belakangan menurut Mahfud, hal seperti itu biasa dalam dunia politik.

Di tahun 2014, politisi PDI Perjuangan Maruarar Sirait datang ke Istana jelang pengumuman Kabinet Kerja. Tak lupa ia mengenakan kemeja putih, seragam khas pembantu presiden Jokowi. Saat itu, Ara –begitu panggilan Maruarar Sirait- dikabarkan bakal menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Tapi usai kabinet diumumkan, nama Ara tidak nongol.

Saat ditanya wartawan soal tidak jadinya Ara menjadi menteri, Jokowi tidak memberikan alasan jelas. Ara sendiri mengaku datang ke istana dengan kemeja putih lantaran ia penggemar berat Presiden Jokowi. Meski kemudian beredar rumor, nama Ara “dicoret” secara mendadak, lantaran tidak mendapat restu dari petinggi partai tempatnya bernaung.

Kejadian paling dramatis barangkali saat Jokowi akhirnya diusung PDI Perjuangan maju di kontestasi Pilpres 2014. Kala itu, Gerindra yang mengusung Prabowo “menggugat” perjanjian Batu Tulis, yang menyebut PDIP akan mendukung Prabowo di Pilpres 2014, setelah sebelumnya Prabowo menjadi cawapres Megawati di tahun 2009.

Menariknya, perjanjian itu tak pernah diungkit oleh Prabowo. Secara kasat mata, jika hitung hitungan politik digelar, Prabowo sosok yang paling banyak dirugikan dengan naiknya Jokowi di kursi RI 1. Karena ia yang meminta Jokowi datang ke Jakarta untuk melawan Gubernur Jakarta incumbent, Fauzi Bowo. Dalam perjalanan waktu, Prabowo justru seperti membesarkan anak macan.

Megawati sendiri bukan tidak luput kena prank di arena politik. Meski ia tidak “curhat” secara langsung, tapi anak buahnya di PDI Perjuangan berkisah. Ketika hendak maju di Pilpres 2004, Mega sempat menanyakan langsung pada Susilo Bambang Yudhoyono apakah akan ikut maju di ajang pemilihan presiden. Kala itu, SBY mengaku tidak akan maju.

Sejarah kemudian menjadi saksi, SBY bikin Partai Demokrat. Mundur dari kabinet Mega. Maju berpasangan dengan Jusuf Kalla, dan ironisnya, Mega kalah. Dari sinilah nongol “permusuhan” yang hingga kini masih belum cair, antara Mega dan SBY. Mega merasa “ditusuk” dari belakang oleh SBY.

Melihat SBY curhat dengan nada memelas usai AHY batal dijadikan cawapres Anies, semua rekaman soal tragedi PHP di dunia politik Indonesia diatas kembali menghampiri. Sebagai politisi yang dikenal sebagai ahli strategi politik, kelemahan terbesar SBY –dari banyak kekuatannya- menurutku adalah selalu mendramatisir apapun yang terjadi pada partainya. Seolah tidak ada satu pun penasehat pribadinya yang bisa mengerem keinginan itu.

Publik masih ingat bagaimana ia “merasa prihatin” dengan upaya Moeldoko mengambil alih Partai Demokrat. Menyebut berdasar informasi yang ia dapat ada campur tangan istana dalam gonjang ganjing partainya. Tentu saja tanpa menyebut siapa pemasok informasinya.

Dalam video yang viral usai Muhaimin Iskandar masuk ke Koalisi Perubahan dan akan dideklarasikan sebagai Cawapres Anies, SBY juga bicara soal dugaan adanya kekuatan lain yang membuat AHY gagal jadi cawapres. Seperti biasa, SBY tak spesifik menyebut pihak mana. Dengan rekam jejak seperti itu, tak heran, selama berkecimpung di dunia politik, SBY lekat dengan parodi kata kata “Saya merasa prihatin”, saking senangnya ia curhat.

Tentu tidak ada yang salah. Tapi melihat respon SBY menyikapi keputusan mendadak Anies Baswedan, publik  justru bertanya-tanya; apakah SBY sudah benar benar menerapkan apa yang selama ini disematkan pada dirinya sebagai politisi yang amat berhati hati mengeluarkan statemen, atau memang jiwanya ringkih saat menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan?

Bagaimana pun, soal “tusuk menusuk”, ingkar janji dan salip menyalip didunia politik itu hal biasa. Politik adalah seni memainkan segala kemungkinan. Moral dan etika politik tidak berlaku saat politisi ingin menggapai kekuasaan. Jargon yang sering terdengar, bagaimana politisi menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan rakyat. Itupun, dalam banyak kasus, politisi mengingkari janjinya kepada rakyat.

SBY sejatinya bisa menjadi role model yang mendekati sempurna untuk seorang tokoh politik. Tapi sikapnya yang terlalu serius dan mengambil jarak dengan media, membuatnya tidak pernah bisa mengeluarkan unek uneknya dengan cara santai, cair, sambil guyon, diakhiri dengan kata kata,”Tapi itu nggak apa apa buat saya”, sampai publik bisa melihatnya sebagai orang yang tegar menghadapi kegagalan, saat ambisi politik dia dan anaknya tidak tergapai. Apa mau dikata…?


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait