Daftar Narasi Bohong dan Sesat dari Seorang Menkes | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Daftar Narasi Bohong dan Sesat dari Seorang Menkes

Surat Terbuka kepada Bapak Presiden Prabowo (Bagian Kedua)

Ceknricek.com--Pendidikan Dokter Spesialis dan Subspesialis adalah bagian dari Pendidikan Tinggi yang selain tunduk pada ketentuan UU 12/2012, juga harus mengikuti semua standar-standar yang telah ditetapkan oleh Konsil Kedokteran (pra-UU 17/2023) dan tertuang dalam lembaran negara dalam bentuk Perkonsil. Setidaknya ada 38 bidang spesialisasi yang telah memenuhi semua standar terkait kompetensi, proses pencapaian kompetensi, RS Pendidikan, dosen, penjaminan mutu dan pemberian insentif bagi peserta didik, sampai pada Standar Praktek Profesi.

Program pendidikan calon spesialis ini sudah dimulai sejak 1970-an dengan beberapa pusat pendidikan. Saat itu, model pembelajarannya adalah magang pada profesor/ spesialis senior di beberapa RSUP/ RS Rujukan, tanpa ada standar nasional. Peserta didik mendapatkan ilmu langsung dari gurunya, dan diuji dan ditentukan kelulusannya juga oleh guru yang sama. Tanpa adanya standarisasi Nasional berakibat pada perbedaan kualitas serta pengalaman dari para lulusan dari RS yang berbeda.

Model ini sudah lama ditinggalkan demi mengikuti ‘best practices’ yang berkembang di berbagai negara maju, dengan hadirnya peran Kolegium Bidang Ilmu yang menyusun standar-standar terkait kompetensi, proses pencapaian kompetensi, standar dosen, standar RS Pendidikan, dll. Sesuai dengan UU 29/2004 Pasal 1 butir 13, Kolegium adalah badan otonom yang dibentuk oleh Organisasi Profesi (OP) untuk masing-masing cabang disiplin ilmu, yang bertugas mengampu pendidikan bidang ilmu tersebut. Keberadaan kolegium juga mengacu pada UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, yang menyebut Fakultas Kedokteran sebagai penyelenggara program pendidikan bersama dengan Rumah Sakit Pendidikan berkoordinasi dengan Kolegium sebagai bagian dari Organisasi Profesi.

Kolegium memiliki tugas utama untuk menjaga baku mutu pendidikan profesi dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis. Keanggotaan kolegium adalah para Guru Besar Bidang Ilmu tersebut dan para pengelola pendidikan bidang ilmu yang terdiri atas Ketua Program Studi dan ketua Departemen/Institusi Pendidikan Dokter Spesialis terkait. Semua aturan terkait Kolegium dalam UU 29/2004, UU 20/2013 adalah bukti adanya pengakuan Negara atas peran kelompok masyarakat terpelajar yaitu Perhimpunan Dokter Spesialis yang telah memilih yang paling terpelajar di antara mereka, yaitu para Guru Besar Bidang Ilmu untuk mengampu dan mengembangkan pendidikan spesialis tersebut.

Kebohongan menkes yang mempertentangkan Pendidikan Spesialis ‘University Based’ dan ‘Hospital Based’

Berdasarkan data dari Portal Informasi Indonesia tahun 2024 (https://Indonesia.go.id), saat ini ada sebanyak 279.321 orang dokter, diantaranya 59.442 orang dokter spesialis. Dari 117 prodi dokter yang ada saat ini, hanya ada 24 FK dengan akreditasi A, yang memiliki total sebanyak 257 prodi spesialis. Pendidikan Spesialis seperti yang kita miliki selama ini, telah melalui perjalanan panjang dengan banyak sekali perubahan dan perbaikan selama lebih dari 50 tahun, dan saat ini memiliki lebih dari 16.000 peserta didik, serta telah bisa meluluskan sebanyak 2700 dokter spesialis baru setiap tahun (KKI, 2024).

Jadi apapun sebutannya, Pendidikan Dokter Spesialis dan Subspesialis yang ada saat ini hampir 100% berupa proses magang di RS Pendidikan (yang semuanya adalah RS Vertikal Kemenkes atau RS milik Pemda Provinsi). Pendidikan ini dikelola bersama secara tripartite oleh Pemerintah (diwakili oleh Kemenristek-Dikti dan Kemenkes) bersama Profesi yang diwakili oleh Kolegium, dan sepenuhnya dikontrol dan diawasi oleh Lembaga Negara yaitu Konsil Kedokteran. Para pendidiknya semua adalah ASN baik Pemerintah Pusat (Kemenristek-Dikti atau Kemenkes), maupun Pemda Provinsi.

Bahwa Pendidikan PPDS ini disebut University Based karena menurut UU 12/2012, UU 29/2004, dan UU 20/2013, pengelolaan dan penjaminan mutunya berada dibawah Kementerian Riset-Dikti via Universitas. Peran Kolegium Disiplin Ilmu (KDI) juga jelas disebutkan dalam pelbagai aturan perundangan tersebut sebagaimana juga peran RS Pendidikan dan Peran Universitas. Bahwa Pendidikan ini berbayar mahal (ada SPI dan UKT) serta peserta didiknya tidak digaji adalah karena negara belum sepenuhnya hadir memenuhi kewajibannya. UU 20/2013 Pasal 31 jelas menyebutkan hak peserta didik untuk memperoleh gaji, tapi faktanya selama lebih dari 10 tahun RS Vertikal selalu berkelit dan ingkar janji dengan berbagai alasan, dalam memenuhi kewajiban ini.

Jadi sesungguhnya (de facto) model Pendidikan PPDS yang ada saat ini semuanya berbasis RS Pendidikan (hospital based), tetapi tidak disebut sebagai hospital based melainkan dianggap university based hanya karena kehendak UU yang mengaturnya (de jure). Lalu mengapa dengan narasi yang terus diulang-ulang, menkes menyatakan bahwa Pendidikan Spesialis yang benar, sebagaimana di banyak negara lain, haruslah berbasis Rumah Sakit. Apakah ada yang berbeda antara istilah ‘hospital based’ menurut menkes dengan model yang berjalan selama ini, yang de facto juga sudah hospital based

Jawabnya mudah dan jelas, persoalannya bukan terletak pada soal Hospital Based atau University Based, antara model yang berlangsung selama ini dengan model yang digagas menkes. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa semua prodi spesialis tersebut tidak dikelola oleh kemenkes, artinya tidak berada di bawah kekuasaan menkes. Semua ke 257 Prodi Spesialis yang de facto hospital based tersebut adalah milik negara yang dikelola oleh Kementerian Ristek dan Dikti di 24 FK dengan Akreditasi unggul. Upaya mempertentangkan kedua model yang sama tersebut adalah sebuah rekayasa kebohongan menkes, karena nafsu besar menkes untuk bisa menguasai semuanya.

Narasi Bohong bahwa model PPDS kemenkes akan bisa mempersingkat waktu tunggu untuk pemenuhan kebutuhan spesialis, dari 10 tahun menjadi 5 tahun.

Kalau seorang menkes yang tupoksinya (sesuai Perpres 161/2024) bukan mengelola pendidikan, tiba-tiba berkoar-koar bahwa model Pendidikan Spesialis yang existing ini salah karena berbayar dan peserta didiknya tidak digaji, maksudnya mau nyalahin peraturan UU-nya?  Atau nyalahin pemerintah/ DPR yang buat aturan itu? Atau nyalahin peserta didiknya? Kalau menkes bilang model pendidikan spesialis yang benar itu harus berbasis Rumah Sakit, padahal semua program PPDS saat ini semua sudah berlangsung di RS Vertikal, jadi de facto semuanya sudah Hospital Based, maka patut dipertanyakan adanya ‘agenda busuk’ apa, demi kepentingan apa, atau untuk kepentingan siapa koar-koar menkes tersebut?

Sejak awal pembahasan RUU Kesehatan Omnibus di tahun 2022, secara terstruktur, sistematis, dan masif, menkes menebar hoax melalui medsos maupun Surat Edaran, termasuk tuduhan pemerasan dalam IDI (Merdeka.com 24 Maret 2023), di depan DPR menyatakan IDI sebagai biang kerok kegagalan distribusi dokter (DetikHealth, Minggu 29 jan.2023), termasuk orkestrasi dan amplifikasi isu Bullying dan isu Depresi pada Pendidikan Spesialis (Kompas 15 April 2024). Semuanya adalah bagian dari agenda busuk yang bertujuan meruntuhkan kepercayaan publik pada model PPDS/ Pendidikan spesialis yang berlangsung saat ini.

Sebagaimana diketahui, tanggal 6 Mei 2024 lalu, di RSAB Harapan Kita, telah diresmikan PPDS berbasis RS Pendidikan (Hospital Based), yang ditandai dengan dibukanya pendaftaran untuk penerimaan sebanyak 38 peserta didik untuk 6 RSV. Dibukanya pendaftaran calon peserta didik ini jelas menabrak UU 12/2012 terkait “izin Menristekdikti setelah memenuhi persyaratan minimum akreditasi”. Selain itu, pada UU 17/2023, pasal 29 ayat 2 juga menyebutkan syarat “adanya kerja sama dengan Perguruan Tinggi, Kemenristek-Dikti, Kemenkes, dengan melibatkan Kolegium”.

Menurut menkes, kita masih kekurangan sebanyak 29.000 dokter spesialis, dan dengan jumlah produksi spesialis seperti saat ini (2700 spesialis baru per tahun), diperlukan waktu sampai 10 tahun untuk terpenuhinya kebutuhan dokter spesialis. Berdasarkan atas riwayat kebohongan berulang selama ini, pernyataan menkes bahwa hadirnya program PPDS Hospital Based akan bisa mempercepat waktu pemenuhan kebutuhan dokter spesialis dari 10 tahun menjadi 5 tahun (https://indonesia.go.id) patut diduga sebagai kebohongan baru lagi.

Secara matematika sederhana, program University Based saat ini menghasilkan 2700 lulusan spesialis baru setiap tahun. Waktu tunggu 10 tahun akan bisa turun jadi 5 tahun bila program Hospital Based juga bisa menghasilkan jumlah lulusan yang sama, 2700 spesialis baru tiap tahun. Pertanyaannya adalah program yang dibuka dengan 52 peserta didik di 6 RSPPU ini kapan akan bisa menghasilkan lulusan sebanyak 2700 orang/ tahun. Berapa (puluh) tahun lagi yang diperlukan untuk sampai ke sana? Bisa jadi ini cuma sebuah mimpi yang utopis, atau sebuah pembodohan publik, atau lagi-lagi kebohongan seorang pejabat publik.

Kebohongan dan Diskriminasi terkait Insentif bagi Peserta Didik PPDS

Sejak hadirnya UU 29/2013, pasal 31 telah mewajibkan pemberian gaji/ insentif pada para peserta didik PPDS ini. Saat itu bahkan sampai saat ini kewajiban ini terus diingkari dengan berbagai alasan terkait status kepegawaian PPDS, Insentif tidak mesti berbentuk materi, kehadiran mereka bukan untuk bekerja, dan banyak alasan lagi.

Selanjutnya, Permenkes No.31/ 2022, Tentang RS Pendidikan, Pasal 30 menuliskan sbb.: RS Pendidikan (RSP) memiliki kewajiban (salah satunya) huruf (g) memberikan insentif bagi peserta Program Dokter Layanan Primer (DLP) dan Spesialis-Subspesialis. Insentif diberikan oleh RSP bersumber dari pendapatan RSP atas jasa layanan kesehatan yang dilakukan oleh peserta program DLP dan spesialis-subspesialis, sesuai dengan kemampuan RSP. Lalu pada Pasal 32 ditulis sbb.: Apabila RSP merupakan Satker BLU (seperti RSV saat ini), insentif diberikan dengan kriteria : 1. Kegiatan yang sumber dananya berasal dari PNBP dari BLU; 2. Merupakan komponen biaya dari tarif layanan; dan 3. Mempertimbangkan standar harga pasar.

Dalam kesepakatan tentang RS Dr.Kariadi (RSV) sebagai RS Pendidikan Utama FK Undip, maka disusunlah sebuah Perjanjian Kerja Sama (PKS) No. 21/UN7.F4/KS/1/2024 atau No. HK.03.01/D.x/237/2024, pada Pasal 30 disebutkan salah satu kewajiban RSP adalah (g); memberikan insentif bagi peserta program DLP dan Spesialis-Subspesialis, dan pasal 31 dengan isi persis sama dengan Pasal 32, UU No. 31/ 2022.

Bagi para peserta didik PPDS, insentif ini adalah bentuk kehadiran negara bagi mereka yang rela keluar dari zona nyaman bersama keluarganya, menjadi mahasiswa PPDS selama 8-11 semester dengan segala suka-dukanya, demi cita-cita untuk bisa menghadirkan layanan medis spesialistik yang berkualitas secara adil dan merata di seantero negeri. Alih-alih melaksanakan perintah UU yang tertunda selama 12 tahun (UU 29/2013, pasal 31), dan Permenkes 31/ 2022, tentang RS Pendidikan, Pasal 30 (yang dia buat sendiri) yaitu insentif bagi 16.000 peserta didik PPDS, menkes malahan ngeles di depan Raker Komisi IX DPR, tg. 3/7/2024, tentang rencananya memberikan gaji sebesar 7,5 juta setiap bulan bagi peserta program PPDS Hospital Based.

Uang yang dijanjikan jelas bukan uang pribadi menkes, tapi uang rakyat yang dikelola oleh negara. Jadi para peserta didik PPDS University Based yang 16.000 orang ini punya hak yang sama seperti saudaranya, ke 52 orang peserta didik PPDS Hospital Based. Sekecil apapun, tidak ada alasan yang bisa diterima akal sehat untuk memberikan perlakuan yang berbeda, apalagi sampai mendiskriminasikan ke 16.000 peserta didik PPDS University Based terkait hak nya untuk sama-sama dibebaskan dari kewajiban membayar UKT/ SPP dan untuk mendapatkan insentif sebesar 7,5 juta seperti yang dijanjikan menkes pada 52 orang saudaranya sebangsa.

Mari kita bersama nantikan, apakah hak 16.000 peserta didik PPDS untuk memperoleh insentif yang sudah tertunda selama 12 tahun akan terpenuhi, atau lagi-lagi cuma janji palsu alias kebohongan yang terus berulang dengan banyak alasan yang siap diamplifikasi oleh para buzzer.-edit

#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Dokter dan Guru Besar FK Universitas Diponegoro


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait