Ceknricek.com -- Sebagaimana diketahui dalam sebuah kesempatan bicara tentang peranan Artificial Intelligence (AI) dalam dunia kesehatan (https://kumparan.com/kumparannews/menkes-bicara-teknologi-ai-akan-ubah-sektor-kesehatan-secara-besar-besaran-22sjtKnXuIN), menkes membuat pernyataan sebagai berikut: “… Sebelumnya dokter deteksi penyakit jantung menggunakan stetoskop, mendengarkan detak jantungnya, lalu didiagnosa menderita jantung. Menurut saya ini unscientific (tidak ilmiah), bagaimana mungkin dokter tahu kalau itu penyakit jantung hanya dari suaranya," tanya menkes.
Pak menkes ini kebetulan tidak memiliki latar belakang Pendidikan Kesehatan, tetapi dalam perjalanannya menjabat sebagai menkes selama lebih dari tiga tahun dia berulang membuat pernyataan bernada sumir, menghina dan merendahkan profesi nakes dan dokter. Menurut saya, posisi beliau sebagai seorang pejabat negara bidang kesehatan membuatnya tidak pantas untuk selalu menimpakan berbagai kegagalan program kesehatan rakyat kepada dokter dan nakes sebagai mitra utama yang paling dibutuhkan oleh negara.
Pernyataan Sumir menkes terkait Profesi Dokter dan nakes yang terus berulang
Kita masih ingat pernyataan menkes tentang profesi Perawat dan Dokter yang sempat mengusik naluri kemanusiaan para dokter. Dalam sebuah potongan video TikTok yang pernah dibagikan oleh akun @drtonysetiobudi di awal 2023 lalu, menkes menyampaikan narasi sbb. “ Perawat itu ‘pesuruh’, hampir mirip dengan ‘pembantu rumah tangga’ nya dokter. Sedangkan di luar negeri perawat dan dokter itu sama kastanya, bekerja dalam sebuah tim”. Bahayanya pernyataan tersebut, seolah beliau sengaja memecah belah hubungan kolaboratif yang berjalan baik antara dokter dan nakes lain.
Menkes tidak tahu bahwa dalam pendidikan profesi di RS, mahasiswa FK terlalu banyak belajar dari para perawat (cara menyuntikkan obat dan cara memasang infus misalnya). Dan perbedaan kasta yang ada sesungguhnya adalah ‘kasta ekonomi’ karena ketidak mampuan pemerintah (baca: menkes) untuk memberikan gaji yang layak bagi sebagian besar nakes. Saat ini lebih dari 1 juta nakes di berbagai daerah masih berstatus honorer, dengan gaji jauh dibawah UMR, betapa miris dan mengenaskan karena menkes cuma bisa berkilah (‘ngeles’) bahwa itu tanggung-jawab pemda dan bukan tanggung jawab menkes.
Berikutnya adalah pernyataan menkes soal pemerasan terselubung di dunia kedokteran Indonesia. Lagi-lagi dalam video TikTok yang dibagikan @drtonysetiobudi yang beredar di medsos awal Maret 2023, menkes mempertanyakan mengapa harus ada STR dan SIP, kenapa tidak disatukan saja, bahkan menkes menuduh adanya pemerasan terselubung atau setidaknya ada kepentingan IDI terkait jumlah uang yang besar. Menkes menuduh bahwa untuk pengurusan STR berbiaya 6 juta yang bila dikalikan dengan 75 ribu orang spesialis tentu menjadi bisnis Miliaran bagi IDI.
Apakah tuduhan ini pernah dibuktikan kebenarannya? Kewajiban dokter untuk mengurus STR dan SIP adalah perintah UU, bukan kehendak IDI. STR diterbitkan oleh Konsil Kedokteran, sebuah lembaga negara, bukan oleh IDI. Kalau ternyata biaya pengurusan STR hanya 300 ribu rupiah dan dibayarkan kepada negara sebagai PNBP melalui KKI, apakah menkes pernah mengakui kesalahan pernyataannya? Ternyata apa yang diucapkan menkes adalah sebuah Hoax yang nyata dan disengaja untuk menghancurkan marwah IDI sebagai sebuah organisasi profesi dokter yang perannya tidak bisa dinegasikan mulai dari para dokter sebagai founding father bangsa ini sampai pengorbanan profesi dokter dan nakes saat bencana pandemi Covid-19.
Isu Perundungan dan Depresi dalam Pendidikan Dokter Spesialis yang berakhir blunder
Berikutnya adalah isu perundungan dan depresi dalam pendidikan dokter spesialis. Menkes menyatakan bahwa 22,4% mahasiswa sekolah spesialis (PPDS) terdeteksi mengalami gejala depresi, dan 0,6% diantaranya depresi berat (Kompas, 15 April 2024). Mari kita telaah narasi cerdas atas ucapan menkes ini. Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI menyatakan (https://www.merdeka.com/peristiwa/menguji-data-kemenkes-soal-ribuan-calon-dokter-spesialis-alami-gejala-depresi-113903-mvk.html?screen=13) tentang perlunya data pembanding dengan metoda yang sama pada peserta program pendidikan lain seperti STPDN (atau Akmil, atau ITB). Jadi kita akan tahu apakah temuan ini hanya di pendidikan kedokteran atau pada program pendidikan lainnya. Terkait dengan analisa datanya tidak boleh hanya deskriptif, tapi perlu analisa kualitatif terkait faktor-faktor penyebab yang paling berpengaruh. Tanpa analisa kualitatif yang rinci, maka temuan ini belum bisa menjadi ‘evidence based’. Jangan-jangan depresi juga terjadi pada semua program pendidikan dengan tingkat yang hampir sama, bahkan di masyarakat umum.
Data dari China dan USA (https://www.statnews.com/2015/12/08/depression-ddoctors-training) memperlihatkan bahwa depresi dan kelelahan (burnout) saat pendidikan PPDS terjadi di semua negara dan bidang spesialisasi apapun. Metaanalisa pada 54 riset di 16 negara menunjukkan bahwa angka depresi naik 5 (lima) kali lipat mencapai 25-30% PPDS tahun pertama. Riset lain (Lithong Chen et al; Scientific Reports, 2022, 12: 8170) membuktikan bahwa angka depresi naik 4 (empat) kali lipat dari 9% menjadi 35,1% di China dan 34,9% di USA pada peserta didik PPDS tahun pertama.
Dari data di atas menkes mestinya mengapresiasi dan bangga bahwa depresi dalam pendidikan PPDS di Indonesia sebesar 22,4% ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Pertanyaannya, mengapa menkes menjual isu depresi dari hasil riset murahan yang tidak berkualitas ini (kuesioner-nya setara dengan ‘riset kepuasan pelanggan’ yang banyak beredar dimana-mana), lalu mengamplifikasi hasilnya melalui banyak buzzer/ staf khusus teknis komunikasi atau apapun sebutannya?
Akhirnya terbukti bahwa ini bukanlah isu penting yang layak untuk diperdebatkan, karena terjadi dalam pendidikan apapun dan bahkan situasi di Indonesia jauh lebih baik dibandingkan dengan di negeri lain. Meskipun jelas telah mengangkat isu murahan yang tidak patut digaungkan oleh seorang pejabat sekelas menteri, tetapi sepertinya ada perasaan tidak terhormat kalau seorang menteri harus mengaku salah dan meminta maaf kepada publik. Dan kebetulan (atau memang disengaja), selang beberapa waktu, kemenkes meresmikan sistem sekolah PPDS ‘tandingan’ yang diklaim adalah solusi dari sistem PPDS ‘lama’ yang seolah sengaja di label penuh dengan eksploitasi dan pembulian hingga menyebabkan ‘banyak’ peserta PPDS yang depresi.
Mengaku salah dan meminta maaf itu terhormat, daripada ngeles yang semakin ngawur
Lalu bagaimana dengan pernyataan problematis yang menganggap penggunaan stetoskop tidak ilmiah. Di hari yang sama, laman kemenkes segera menuliskan ulang info peristiwa yang sama tanpa menyebut pernyataan ‘Stetoskop Tidak Ilmiah’. Tetapi, jejak digital ucapan menkes tersebut jelas, dan mudah dipahami sekalipun oleh anak SD. (Pernyataan aslinya “Previously doctors use stethoscope, I think you have a heart disease. I think this is very unscientific for me”). Ucapan yang tidak cuma salah, tapi menghina dan merendahkan profesi dokter dan ilmu kedokteran itu, sebenarnya akan selesai dengan pengakuan kesalahan dan permintaan maaf, tanpa perlu upaya pembelaan yang dipaksakan oleh para ‘buzzer’ atau staf khusus teknis komunikasi atau apapun sebutannya, yang seolah jadi petugas kebersihan seorang menkes.
Bukannya mengakui kesalahan dengan meminta maaf, menteri ini malahan ngeles via IG (https://www.instagram.-comm/reel/C8YaZk3Rm9H/?igsh=ajk1Zz-Jmd3d2cGNI) dan TikTok (https://vt.tiktok.com/ZSYfXU22w/) serta Youtube (https://youtu.be/AlvF-I1AtB0) dengan pernyataan yang dari sisi keilmuan bisa dibilang semakin ngawur, meskipun didampingi oleh seorang dokter spesialis jantung yang berkalung stetoskop. Menkes menyatakan bahwa “kemarin itu memotong bicara saya bahwa stetoskop itu tidak ilmiah, …. dulu orang menentukan sakit jantung dengan stetoskop saja, tapi sekarang dengan perkembangan ilmu ada EKG, jadi lebih ilmiah lagi kalau dengan stetoskop ditambah EKG, lalu ada yang pakai kimia darah (diperiksa LDL, HDL, Kolesterol), lalu maju lagi dengan ultrasound (Ekokardiografi), lalu CT scan, lalu yang berhubungan dengan AI adalah diperiksa genetiknya dengan Polygenic Risk Score apakah ybs. punya resiko serangan jantung atau tidak”.
Tuduhan menkes bahwa bicaranya telah ‘dipotong’ adalah sebuah penolakan alias ‘tidak mau mengakui’ ucapannya sendiri bahwa ‘stetoskop sangat tidak ilmiah’. Jangankan meminta maaf, mengakui salah pun tidak berkenan.Begitu sombongnya.
Anda bukan seorang dokter/nakes, jadi tidak mungkin anda bisa mengerti peran anamnesa dan pemeriksaan fisik, dan stetoskop adalah bagian dari pemeriksaan fisik ini. Menurut saya, sebaik-baiknya manusia dewasa, jangan bicara apapun soal akademis, apalagi menilai ilmiah atau tidaknya soal kompetensi klinis seorang dokter dalam menegakkan diagnosa. Semua pernyataan anda terkait cara menegakkan diagnosa penyakit jantung adalah offside, bahkan tidak etis, karena anda tidak punya otoritas akademis dalam bidang ini. Betapapun tingginya posisi dan jabatan anda, dokter umum di pelosok puskesmas jauh lebih tahu tentang bagaimana menegakkan diagnosa penyakit jantung.
Sekali lagi, jangan sok tahu apalagi mengajari dokter tentang pemeriksaan mana yang lebih canggih, karena dokter lebih tahu pemeriksaan mana yang lebih dibutuhkan untuk kebaikan pasiennya, karena tidak setiap pasien dengan gejala yang sama memerlukan pemeriksaan yang sama. Adanya kelainan pada klep jantung (penyempitan atau pelebaran) akan lebih bisa diketahui dengan Stetoskop ketimbang EKG, tapi sebaliknya adanya gangguan pasokan darah pada otot jantung akan lebih bisa dikenali dari EKG, bukan Stetoskop. Jadi jangan pernah mengatakan CT scan lebih canggih dari Ekokardiografi, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan untuk kebutuhan yang berbeda.
AI itu baik dan tak seorang dokter pun menolak AI, masalahnya adalah terlalu banyak persoalan layanan kesehatan dasar lainnya yang mesti anda selesaikan sebelum anda layak untuk bicara tentang AI.
Saya coba ilustrasikan: Ketika seorang pejabat mengalami stroke pendarahan otak luas yang membuatnya tidak sadar, sekretarisnya sempat bicara pada dokter : “ kok bisa terjadi stroke berat ya dok? Padahal lima hari yang lalu Bapak baru saja check up di Beijing, dikatakan semua baik-baik, dan pemeriksaan genomik-nya bahkan menyatakan resiko stroke nya cuma 25% dalam 5 tahun kedepan”. Silahkan diambil makna tersirat dari kisah ini.
Tak seorang manusiapun di dunia ini yang tidak pernah berbuat salah, dan mengakui kesalahan dengan meminta maaf adalah perbuatan yang terhormat, karena Allah itu Maha Pemaaf. Bahkan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan dan junjungan bagi seluruh umat pun berpotensi untuk berbuat salah sehingga Allah segera mengingatkan beliau (dikisahkan dalam Qur’an pada surah ke 80, Abasa, Ayat 1-11, ketika beliau hampir saja mengabaikan kehadiran seorang tunanetra dalam sebuah majelis). Semoga Tuhan menjauhkan kita dari sifat sombong dan dan sifat yang selalu berkelit/ ngeles, alias tidak mau mengakui kesalahan kita, Amin ya Robbal Alamin.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis Bedah Saraf, Guru besar Undip