Oleh Christa Ansi Novensia
06/06/2019, 18:47 WIB
Ceknricek.com -- Norbertus Riantiarno atau yang lebih akrab dikenal sebagai Nano Riantiarno, lahir tepat hari ini, tanggal 6 Juni, tahun 1949 di Cirebon. Nano merupakan seorang aktor Indonesia, selain itu ia juga seorang penulis, sutradara, wartawan, dan dramawan.
Nano telah berkecimpung di dunia teater sejak 1965 di kota kelahirannya, Cirebon. Ia melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Jakarta, setelah menyelesaikan studinya di sekolah menengah atas. Kemudian pada 1971 ia masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta. Ia bergabung dengan Teguh Karya, yang adalah seorang dramawan terkemuka di Indonesia dan ikut mendirikan Teater Populer tahun 1968.
Lalu pada 1 Maret 1977, Nano mendirikan Teater Koma, yang saat ini menjadi salah satu kelompok teater paling produktif di Indonesia dan dikenal oleh masyarakat. Teater Koma di bawah pimpinan Nano pernah memanggungkan beberapa karya penulis kelas dunia, seperti Woyzeck (Georg Buchner), The Threepenny Operadan The Good Person of Shechzwan (Bertolt Brecht), The Comedy of Errors (William Shakespeare), Women in Parliament (Aristophanes), Animal Farm (George Orwell), The Crucible (Arthur Miller), Orang Kaya Baru dan Tartuffe atau Republik Togog (Moliere), dan The Marriage of Figaro (Beaumarchaise).

Sumber : restuwordpress
Nano sendiri banyak menulis skenario film dan televisi. Karya skenarionya, Jakarta Jakarta, meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang pada 1978. Karya sinetronnya, Karina, meraih Piala Vidia pada Festival Film Indonesia di Jakarta tahun 1987.
Selain itu, ia juga menulis novel Cermin Merah, Cermin Bening, dan Cermin Cinta, yang diterbitkan oleh Grasindo. Ranjang Bayi dan 18 fiksi, kumpulan cerita pendeknya pun diterbitkan Kompas pada 2005. Kemudian, Roman Primadonaditerbitkan Gramedia tahun 2006.
Nano pernah menjabat sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1985-1990). Anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk Kias (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat), 1991-1992. Dan menjadi anggota Board of Artistic Art Summit Indonesia tahun 2004, setelah itu menjadi konseptor dari Jakarta Performing Art Market/Pastojak (Pasar Tontonan Jakarta I) pada 1997, yang diselenggarakan selama satu bulan penuh di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Ia pernah menghadapi interogasi, pencekalan, dan pelarangan, kecurigaan serta ancaman bom ketika akan mementaskan pertunjukannya, tetapi semua itu dihadapi sebagai sebuah dinamika perjalanan hidup. Beberapa karyanya bersama Teater Koma batal pentas karena masalah perizinan dengan pihak berwajib, antara lain Maaf. Maaf. Maaf. (1978); Sampek Engtay (1989) di Medan, Sumatera Utara; Suksesi, danOpera Kecoa (1990), keduanya di Jakarta. Akibatnya, rencana pementasan Opera Kecoa di empat kota di Jepang tahun 1991 urung digelar karena alasan serupa.