Ceknricek.com--Mau tidak mau, kita harus gigit jari kalau kita mendambakan atau mengharapkan adanya oposisi dalam artian yang seluas-luasanya dalam percaturan politik di Indonesia.
Seolah “kan dia anak presiden!” telah menjadi ajimat yang dapat mengantarkan keturunan seorang presiden ke berbagai kursi kekuasaan dari walikota sampai ke calon wakil presiden. Kalau perlu Undang-Undang Dasar pun dapat diamendemen, dalam waktu yang singkat.
Indonesia memang hebat. Atau Menurut istilah banyak kalangan belakangan ini: “Itulah Indonesia…”
Patut disayangkan karena pada hakikatnya yang namanya OPOSISI itu bukanlah musuh, melainkan kawan sejati yang terus sigap dalam melakukan pengawasan, memang bukan tanpa pamrih. Tujuan oposisi dalam demokrasi selain mengawasi juga mengumpulkan konten yang dapat digunakan ketika berkampanye di masa depan.
Presiden Joko Widodo sendiri pernah mengatakan: “Indonesia tidak mengenal oposisi, (sebab) demokrasi di Indonesia adalah demokrasi gotong royong.”
Di zaman Orde Baru (ketika Jenderal Suharto berkuasa penuh), pernah ada upaya pembenaran percaturan politik tanpa oposisi dengan mengibaratkan oposisi itu sebagai anjing.
Dikatakan di luar negeri (negara-negara demokrasi Barat) anjing pengawasnya (oposisi) berada di luar rumah, sedangkan di Indonesia anjing pengawasnya ada di dalam rumah!
Namun segala itu, sama sekali tidak menghalangi sejumlah pemuka dalam masyarakat untuk menyingsing lengan baju (ambil risiko/nekat) untuk membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai “Petisi 50”.
Di luar negeri waktu itu beredar ungkapan bahwa “Petisi Lima Puluh – The Petition of Fifty – is a document protesting President Suharto’s use of state philosophy Pancasila against political opponent.”
Artinya: Petisi 50 adalah dokumen yang isinya memprotes digunakannya oleh Presiden Soeharto ideologi negara Pancasila untuk membelenggu perlawanan politik.
Petisi yang diorbitkan dalam tahun 1980 itu dimaksudkan sebagai upaya protes terhadap “ulah” Presiden Suharto.
Ungkapan Keprihatinan itu (Petisi 50) ditandatangani oleh 50 tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Ali Sadikiin serta mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dan Mohammad Nasir.
Para penandatangan petisi itu menyatakan bahwa Presiden (Soeharto) telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila, dan bahwa setiap kritik terhadap dirinya adalah kritik terhadap ideologi negara Pancasila. Dan Soeharto menggunakan Pancasila “sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya.”
Pada gilirannya Presiden Joko Widodo pun pernah mengumandangkan: “Saya Pancasila, Saya Indonesia!” (tanda seru dari penulis).
Menariknya adalah bahwa ketika Presiden (Jenderal) Soeharto sedang jaya-jayanya, masih banyak tokoh yang ternyata cukup punya nyali dan marwah alias harga diri untuk berbeda padangan dan pendirian dengan dirinya.
Ada catatan kecil tapi mungkin penting untuk diingatkan kepada kalangan muda tentang mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Ketika sebagai hasil dari pemilu paling demokratis (jujur dan adil) di Indonesia tahun 1955, Burhanuddin Harahap ditetapkan sebagai Perdana Menteri.
Malam sebelum dia akan dilantik keesokan harinya oleh Presiden Soekarno, begitu dikisahkan oleh adik kandungnya yang satu kelas dengan saya di SMA Medan, “Kasihan kali Abang aku (maksudnya bakal PM Burhanuddin Harahap) waktu itu. Dia terpaksa ke sana kemari naik lereng (sepeda) ke rumah-rumah kawannya untuk minjam jas. Ada yang kebesaran ada yang kekecilan, meski akhirnya memang dapat juga yang pas”.
Bayangkan waktu itu, seorang bakal Perdana Menteri sebuah negara yang diakui kaya raya alamnya (Indonesia) bakal perdana menterinya tidak punya jas.
Bukan itu saja, juga dikisahkan bahwa ketika Mohammad Natsir, tokoh yang paling berjasa hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (ketika serah-terima kedaulatan dari Belanda NKRI disebut Republik Indonesia Serikat – RIS), diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden Soekarno dia pulang dari Istana Negara boncengan naik sepeda kawannya. Pada hal waktu itu belum ada Komisi Pemberantasan Korupsi – KPK.
Artinya kejujuran itu sesuai iman, bukan rasa takut akan tertangkap.
Ketika Petisi 50 ternyata pantang mundur apalagi layu, para anggotanya setiap Selasa dan Kamis berhimpun di kediaman Ali Sadikin di Jalan Borobudur, barangkali untuk saling menyemangati.
Kalau kebetulan tugas meliput sesuatu peristiwa saya dikirim ke ibukota R.I. oleh majikan saya Radio Australia, maka saya tetap menyempatkan diri hadir di Jalan Borobudur untuk, antara lain, mewawancarai para tokoh “oposisi/pembangkang” yang tidak kenal rasa takut atau gentar serta punya marwah itu, dan, ini juga penting, ikut menikmati hidangan makanan Sunda, yang disediakan, terutama sayur asam.
Biasanya setiap Selasa dan Kamis, pasti ada “taksi” yang nongkrong di depan rumah Jalan Borobudur itu, dan taksi ini tidak perlu risau mencari sewa, karena gajinya jalan terus, sebab sang supir adalah seorang petugas intelijen.
Saya diberitahu kenyataan ini oleh para petugas yang “mengawal” Bang Ali (Ali Sadikin) apabila beliau sedang berada untuk kongko-kongko di rumah Jalan Borobudur.
Suatu kali saya menghampiri taksi itu dan membujuk sang supir untuk mengantarkan saya ke suatu tempat di Jakarta. Mulanya dia enggan. Namun akhirnya terbujuk. Tapi di tengah jalan, di Jalan Thamrin kalau saya tidak salah, mendadak saya minta dia menghentikan taksinya. Ia kecewa. Saya membayar ongkos taksi dan langsung jalan kaki bersama pelalu lalang lainnya. Itu sengaja saya lakukan untuk menyebabkannya tidak dapat memantau segala kegiatan di rumah Jalan Borobudur itu.
Suatu kali mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso mengajak saya ke rumahnya, kalau tidak salah di Jalan Diponegoro, Menteng, untuk sekadar berbincang, dan tentunya sampai wawancara.
Dia begitu kritis terhadap Presiden Soeharto, dan tidak pernah mau mengucapkan nama Presiden R.I. itu dengan nama lengkapnya, melainkan dengan panggilan Si Harto.
Ketika dengan sengaja saya memancingnya dengan mengemukakan bahwa berkat peran Pak Harto gedung-gedung pencakar langit begitu banyak yang menjulang di Jakarta, dia langsung “naik pitam”:“Itu gedung-gedung yang dibangun Si Harto itu siapa yang punya?” tanyanya dengan geram.
Saya tidak bisa menyebutkan apa yang kemudian ditambahkannya karena ucapannya menurut ukuran sekarang ini bernuansa SARA.
Pak Hoegeng sempat mengisahkan bahwa beliau pernah didatangi untuk sowan oleh seorang jenderal Polri yang esok harinya akan dilantik menjadi Kapolri. Selain menyampaikan undangan agar Pak Hoegeng bisa dan mau hadir dalam upacara pelantikannya, dia juga minta petuah-petuah.
“Saya bilang,” kata Pak Hoegeng, “jaga itu anak buah kamu jangan meras rakyat”.
“Lalu dia bilang: wah Pak gaji mereka tidak memadai. Saya bilang kalau begitu jangan jadi polisi lain tempat cara makan, jangan nama polisi dicemari. Saya bentak dia," kata Pak Hoegeng.
Besoknya sang bakal Kapolri itu pagi buta nelpon Pak Hoegeng untuk menyampaikan bahwa undangan untuk Pak Hoegeng dibatalkan.
Selama saya berada di kediaman Pak Hoegeng telponnya sering berdering dan menurut mantan Kapolri yang terkenal sangat jujur itu, segala deringan telpon itu dimaksudkan untuk mengganggu percakapan saya (yang direkam) sebagai wartawan radio dengan beliau. Ada juga beberapa kali pintu rumahnya diketuk orang yang pura-pura menanyakan rumah si Anu di sebelah mana?
Banyak lagi kisah yang dituturkan oleh Pak Hoegeng kepada saya, yang Insya Allah dalam kesempatan lain, akan saya tulis agar dapat diketahui oleh pembaca yang barangkali belum pernah tahu siapa sebenarnya Hoegeng Imam Santoso itu.
Pungli dan Susutante
Di kala itu barangkali orang ke-3 terkuat alias yang sangat ditakuti, meski belum tentu disegani, adalah Laksamana Soedomo yang oleh Presiden Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkokamtib).
Laksamana Soedomo meski mengepalai suatu jabatan yang sangat berkuasa dan ditakuti, namun juga gemar berkelakar. Ketika dalam masyarakat beredar perbincangan tentang merajalelanya pungutan liar alias pungli, Laksamana Soedomo membantah dengan tegas.
“Tidak ada pungli! Yang ada ialah ‘sumbangan sukarela tanpa tekanan” alias SUSUTANTE," katanya. Dan orang pun tertawa karena lucunya.
Alhasil kalau soal korupsi memang seakan sudah melekat kalau pun tidak hendak dikatakan mendarah daging dalam batang tubuh sementara kalangan yang sedang berkuasa di Indonesia.
Begitu rupa hingga di era Orde Lama pernah berkobar perdebatan, termasuk antara wartawan terkemuka Mochtar Lubis, pendiri koran Indonesia Raya (yang kemudian diberangus) dan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Pasalnya di Tengah-tengah merajalelanya korupsi, Bung Hatta . mungkin ingin menyindir, mengatakan bahwa “korupsi sudah membudaya di Indonesia”. Mochtar Lubis langsung menanggapi dengan sindiran “kalau sudah membudaya sebaiknya diajarkan di sekolah.”
Ketika kasus Ferdy Sambo sedang menarik perhatian banyak orang di Indonesia, guru sebuah sekolah di Jawa mengaku bahwa ketika ia menanyakan kepada murid-muridnya mereka kelak di kemudian hari ingin jadi apa, kebanyakan mengaku “ingin jadi polisi!”. Mungkin karena waktu itu laporan yang beredar mengungkapkan tentang kekayaan sang perwira polisi bernama Ferdy Sambo.
Alhasil korupsi memang punya riwayat yang panjang di Indonesia.
Dalam tahun 1954, ketika korupsi boleh dibilang masih kecil-kecilan karena memang waktu itu di Indonesia belum berhamburan begitu banyak uang, penggubah lagu unggulan Indonesia Ismail Marzuky, menciptakan sebuah lagu yang diakui sarat dengan kritik sosial.
Lagu tersebut diudarakan melalui Radio Republik Indonesia dan dinyanyikan oleh biduan yang menyamar dengan nama Didi, dan diberi judul “Selamat Hari Lebaran”. Nama asli Didi adalah Suyoso Karsono (mungkin waktu itu ia takut pakai nama asli karena lirik lagu itu merupakan teguran yang sangat keras terhadap peri laku masyarakat dan pejabat).
Ada dugaan bahwa lagu tersebut sempat “disensor” karena liriknya begitu pedas melabrak segala “kebejatan” dalam masyarakat. Silakan merenungkannya:
Setelah berpuasa satu bulan lamanya
Berzakat fitrah menurut perintah agama
Kini kita beridul fitri berbahagia
Mari kita berlebaran bersuka gembira
Berjabatan tangan sambil bermaaf-maafan
Hilang dendam habis marah di hari lebaran
Reff:
Minal aidin wal faidzin
Maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin
Rakyatnya makmur terjamin
Dari segala penjuru mengalir ke kota
Rakyat desa berpakaian baru serba indah
Setahun sekali naik terem listrik perey
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore
Akibatnya tengteng selop sepatu terompe
Kakinya pada lecet babak belur berabe
Reff:
Maafkan lahir dan batin,
'lang tahun hidup prihatin
Cari wang jangan bingungin,
'lan Syawal kita ngawinin
Cara orang kota berlebaran lain lagi
Kesempatan ini dipakai buat berjudi
Sehari semalam main ceki mabuk brandi
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate
Si penjudi mateng biru dirangsang si istri
Reff:
Maafkan lahir dan batin,
'lang taon hidup prihatin
Kondangan boleh kurangin,
Korupsi jangan kerjain
Alhasil yang namanya korupsi sudah tumbuh ketika Indonesia baru sekitar 4 tahun betul-betul merdeka. Dan kemudian menjadi subur laksana tanaman di musim hujan. Wallahu A’lam.
Editor: Ariful Hakim