"Udang" Dibalik Kebijakan Menkes yang Bukan Solusi Kegagalan Program Layanan Kesehatan Rakyat.
Ceknricek.com--Jangankan para dokter umum di lebih dari 10 ribu Puskesmas yang jadi terkaget-kaget, anak- anak pemain bola di kampung saya juga tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut, ketika baru-baru ini menkes bicara mau mendatangkan Dokter Asing, meniru Naturalisasi ala Timnas Bola (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240521111639-532-1100284/menkes-mau- datangkan-dokter-asing-tiru-naturalisasi-ala-timnas-bola).
Kesehatan adalah hak rakyat dan kewajiban konstitusi kehadiran negara ini, dan Kemenkes adalah kepanjangan tangan negara yang paling bertanggung jawab atas terpenuhinya kewajiban ini. Menkes harus benar-benar fokus pada program-programnya yang gagal/ belum mencapai target, serta upaya mencari solusi atas semua persoalan pelayanan kesehatan untuk rakyat banyak. Tanpa mencari akar permasalahan penyebabnya, persoalan ini akan tidak pernah terselesaikan dan tentu rakyat banyaklah yang akan merasakan akibatnya.
Berdasarkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Kesehatan 2020-2024 (Katadata.co.id 5/6 2023), 9 dari 10 target pelayanan kesehatan yang terancam gagal antara lain imunisasi dasar lengkap bayi yang cuma mencapai 63,17% dari target sebesar 90%, balita stunting yang masih tinggi di angka 21,6% dari target 14%, eliminasi Malaria yang baru mencapai 372 dari target 405 Kabupaten/ Kota, eliminasi Kusta hanya mencakup 403 dari target 514 Kabupaten/ Kota, insidensi TBC yang masih di angka 354 dari target 297/ 100 ribu populasi. Negeri ini menduduki peringkat Juara Dunia No. 1 untuk Scabies (Kudis), No. 2 untuk TBC, dan No. 3 untuk Kusta, sebuah peringkat yang mestinya membuat malu seorang menkes di kancah Asean, apalagi global.
Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 3 jelas disebutkan kewajiban negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pengertian ‘berkualitas’ tentu berbeda antara saat ini dengan saat kita merdeka tahun 1945. Disini menkes telah gagal karena Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)/ Puskesmas yang terakreditasi hanya mencapai angka 56,4% dari target 100%, dan pemenuhan tenaga kesehatan di Puskesmas sesuai standar yang hanya mencapai 56,07% dari target sebanyak 83% puskesmas (Katadata.co.id 5/6 2023).
Melihat semua kegagalan tersebut di atas, adakah persoalan yang akan terselesaikan dengan kehadiran dokter asing bak Pemain Bola Naturalisasi? Tidak satupun bukti maupun data yang mengarah pada rendahnya kualitas SDM kesehatan atau kurangnya kompetensi dokter Indonesia sebagai akar penyebab dari berbagai kegagalan program kesehatan sang Menteri. Jelas sekali terlihat upaya menkes untuk menimpakan kesalahan kepada SDM Nakes dan Dokter yang kurang berkualitas/ kurang kompeten sehingga muncul ide mendatangkan dokter asing bak pemain bola naturalisasi sebagai sebuah solusi. Betapa naif, konyol, dan bisa jadi berbahaya-nya program yang reaktif seperti ini, tanpa didasari oleh studi atau data yang bisa dipertanggung-jawabkan.
Pertanyaannya adalah apakah para dokter asing ini mau bekerja di puskesmas-puskesmas di pelosok negeri tercinta ini dengan beban tugas dan dengan tingkat gaji dan imbalan kesejahteraan sebagaimana yang saat ini diterima oleh para nakes Indonesia di Puskesmas ? Sebagaimana diketahui, sehari setelah disahkannya UU 17-2023, (https://youtu.be/sNYnt_NxdPY) di Chengdu-RRC, menkes menandatangani Rencana Pembangunan 30 RS Tiongkok di Indonesia. Sebelumnya menkes juga meresmikan pembangunan beberapa RS Asing nan Mewah bak hotel bintang 5, seperti RS Aspen di Depok (Depok.tribunnews.com, 20-6-2023), dan Sanur Medical International Complex di Bali (peresmian oleh Menteri Erick Thohir). Mengingat perlunya tenggang waktu sekitar 6 bulan untuk menyelesaikan pembangunan semua RS Internasional tsb., kita patut untuk curiga bahwa narasi perlunya mendatangkan dokter asing ini terkait dengan persiapan akan mulai beroperasinya RS Asing nan Mewah tersebut diatas, dan jelas bukan sebagai upaya menyelesaikan berbagai kegagalan menkes dan kemenkes dalam RPJMN 2020-2024 bidang kesehatan.
Benarkah kehadiran banyak RS Asing nan Mewah tersebut hadir mewakili negara untuk memenuhi kewajiban konstitusi seperti tersurat pada pasal 34 ayat 3 UUD 1945? Jawabnya jelas tidak, semua RS mewah tersebut dibangun sebagai sarana wisata kesehatan (pernyataan Menteri Airlangga Hartarto dan Erick Thohir). Jadi jelas bahwa kehadiran semua RS Mewah tersebut bukan untuk 178,5 juta peserta BPJS kelas 3, yang kalau sakit perlu rawat inap untuk diobati sakitnya untuk bertahan hidup, bukan untuk wisata kesehatan. Fakta saat ini, antrean untuk rawat inap di berbagai RS Rujukan Provinsi dan Rujukan Nasional bisa mencapai 6-12 bulan lama menunggunya, sehingga hasil pengobatannya tidak bisa optimal.
UU 17-2023 telah menghilangkan keharusan negara menyediakan anggaran wajib kesehatan sebesar minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD (Tap MPR No. 10-2001, yang dijabarkan dalam UU No.9-2009 pasal 171, ayat 1-2). Tampak jelas bahwa dengan UU 17-2023, terbuka pintu untuk liberalisasi dan industrialisasi layanan kesehatan. ‘Sehat’ dan ‘Layanan Kesehatan’ yang seharusnya merupakan hak dasar bagian dari hak asasi manusia, secara pelan tapi pasti telah menjadi barang mewah yang hanya terjangkau oleh segelintir anak bangsa termasuk para pejabat eksekutif maupun legislatif. Disini terlihat upaya negara yang diwakili menkes menjadikan ‘sehat’ dan ‘layanan kesehatan’ sebagai objek bisnis negara terhadap rakyatnya sendiri.
Terkait dengan kedatangan tim medis dari Arab Saudi ke RSUP Adam Malik (RSUA), Medan untuk melakukan operasi jantung bersama dengan tim RSUA (https://health.detik.com/berita- detikhealth/d-7360470/menkes-datangkan-dokter-dari-arab-saudi-untuk-tingkatkan-sdm- nakes-ri) bukanlah sebuah program baru, dan jelas bukan ini yang dimaksud dengan mendatangkan dokter asing bak pemain bola naturalisasi. Sejak 25-30 tahun lalu sudah banyak program studi spesialis/ Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan telah melakukan upaya transfer Iptekdok semacam ini. Bukan sebuah kesombongan ketika tahun 1985-1987 (saya masih baru lulus FK) Tim Cangkok Ginjal FK Undip-RS Kariadi telah mendatangkan Tim dari Tokyo Women’s University untuk mensupervisi Operasi Cangkok Ginjal pertama di Semarang.
Dengan berbekal hubungan kesejawatan yang baik dengan beberapa pusat Bedah Epilepsi di Jepang dan di Dunia, tahun 1999 kami di Semarang bisa mendatangkan Tim Bedah Epilepsi dari Jepang untuk melakukan supervisi Bedah Epilepsi (Amigdala-hippokampektomi) pertama di Indonesia. Selanjutnya selama periode 2 tahun, ada 11 kasus bedah epilepsi kami yang masih disupervisi oleh tim dari Jepang. Di waktu yang sama kami bisa mengirim sekitar 15 SDM Dokter Spesialis Bedah Saraf, Neurologi, Psikiatri, Neuropediatri, Radiologi, dan Neuropatologi, bahkan Perawat, ke beberapa Pusat Epilepsi di Jepang. Semua tersebut di atas adalah hasil dari hubungan kesejawatan yang baik, dan demi layanan kesehatan yang lebih baik bagi rakyat (70% pasien menggunakan jamkesmas/ BPJS) tanpa intervensi kekuasaan, apalagi campur tangan menkes.
Saat ini secara de facto, Semarang telah menjadi Pusat Rujukan Nasional untuk Bedah Epilepsi. Sampai Desember 2022 kami telah melakukan lebih dari 900 bedah epilepsi. Pasien kami bukan saja rujukan dari berbagai RSUD di Pelosok negeri, tapi juga beberapa pasien WNI rujukan dari Singapura, Penang, Thailand, bahkan Melbourne. Secara keilmuan apa yang kami lakukan di Semarang bisa dibaca di berbagai Jurnal Internasional terkait Bedah Epilepsi. Sebagai seorang dokter dan sekaligus dosen kedokteran, kami tidak memerlukan pengakuan dari penguasa/ kemenkes. Hanya para sejawat bidang ilmu yang sama (peer group) lah yang bisa mengetahui apakah yang kami lakukan sesuai atau menyimpang dari kebenaran sains dan etika profesi atau membahayakan patient safety.
Semoga tulisan diatas bisa membuka mata para pengamat kebijakan publik dan para anggota legislatif terkait ‘udang dibalik program datangkan dokter asing naturalisasi’ yang diusung menkes, demi memenuhi kebutuhan dokter asing untuk mengisi banyak RS Asing nan Mewah, bukan untuk mengatasi kegagalan program menkes sesuai RPJMN bidang kesehatan 2020- 2024. Sedangkan kehadiran tim dokter asing (seperti Tim dari Arab Saudi di RSUA Medan) untuk peningkatan kualitas layanan kesehatan oleh SDM lokal bukan barang baru yang mengagetkan, karena sudah ada sejak setidaknya 1985, dan terus dilakukan oleh banyak pusat pendidikan (FK bersama RS Pendidikan) di Indonesia tanpa ada peran dari menkes saat itu.
#Zainal Muttaqin, pengampu pendidikan spesialis, Guru Besar FK Undip