Ceknricek.com--Ada yang bertanya: apakah ini terobosan, kejutan atau perkembangan yang bukan saja alami melainkan hanya tinggal tunggu waktu, karena kejadian ini dianggap sebagai suatu keniscayaan. Kemajemukan jenis bangsa yang membentuk masyarakat Australia sudah sedemikian rupa, hingga pencerminannya dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pemerintahan, tidak lagi dapat terbendung.
Dewasa ini terdapat sekitar 270 kelompok etnis di Australia. Yang dimaksud di sini adalah disertakannya seorang muslim dan seorang muslimah dalam kabinet baru Perdana Menteri Albert Albanese alias Albo yang berjaya dalam pemilu di Australia tanggal 21 Mei yang lalu. Partai Buruh pimpinan Albert Albanese hanya membutuhkan 76 kursi dalam parlemen yang beranggotakan 151 agar dapat mengambil alih dari koalisi Partai Liberal dan Partai Nasional yang telah berkuasa sekitar 9 tahun. Ternyata di bawah kendali Albert Albanese Partai Buruh memenangkan 77 kursi, hingga selain dapat mengangkat ketua parlemen yang bertugas memimpin sidang, Partai Buruh masih punya “kelebihan” satu kursi.
Sekiranya yang dimenangkan Partai Buruh “hanya” 76 kursi, maka karena seorang di antaranya harus menempati kursi ketua parlemen, maka ini akan menyeimbangkan jumlah Partai Buruh dengan Oposisi Koalisi Partai Liberal dan Partai Nasional serta para independen dan Partai Hijau.
Namun Undang-Undang Dasar mengatur bahwa dalam keadaan demikian, maka sekiranya sesuatu mosi yang didukung oleh ke-75 anggota dari Partai Buruh dan ditentang oleh Oposisi Koalisi serta seluruh independen serta Partai Hijau, hingga keadaannya adalah 75 vs 75, maka Ketua Parlemen berhak menggunakan suaranya untuk memenangkan Partai Buruh. Namun kini kedudukan dalam parlemen Australia adalah Partai Buruh 76 (tambah satu yang menduduki kursi Ketua Parlemen disebut Speaker) dan yang lain-lain 75 – Partai Buruh tanpa harus memanfaatkan suara Ketua Parlemen sudah punya mayoritas. Bukankah demokrasi itu adalah 50+1?
Kalau kemenangan Partai Buruh memang sudah diduga sejak semula – itulah hebatnya lembaga-lembaga survei di Australia yang jarang sekali salah, meski pernah ternyata keliru, ibarat sepandai-pandainya tupai melompat sesekali gawal juga – tidak banyak yang memperkirakan bahwa dalam kabinet bentukan Perdana Menteri Albert Albanese akan ada dua Muslim, Ed Husic sebagai Menteri Perindustrian dan Ilmu Pengetahuan (Science) dan Dr. Anne Aly, seorang ahli kajian ekstremisme yang dipercaya membidangi Pendidikan Dini Kanak-Kanak dan Urusan Pemuda.
Ed Husic masuk dalam Kabinet Inti sedangkan Dr. Anne Aly dalam Kabinet “Luar” – artinya lebih yunior. Ed Husic keturunan Bosnia, Anne Aly dari keluarga yang berasal usul dari Mesir.
Dalam pelantikan kabinet oleh Gubernur Jenderal tidak disediakan kitab suci, karenanya yang ingin mengucapkan sumpah/janjinya, kalau mau harus bawa sendiri kita suci sesuai anutan agamanya. Ada menteri yang beragama Kristen membawa Bible yang tebalnya mungkin seribu halaman hingga menarik perhatian bagi sementara yang hadir, seperti “mitra/partner” Perdana Menteri.
Jaksa Agung Mark Dreyfus bukan saja mengenakan kippah (topi khas lelaki Yahudi) melainkan juga membawa Kitab Suci agama Yahudi, sedangkan Ed Husic meminjamkan Al Qur’annya kepada Dr. Anne Aly. Sebenarnya keberadaan Muslim di Australia bukan hanya baru sekarang ini. Sudah sejak lama terjalin hubungan antara Muslim dari Sulawesi (Macassans) dengan pribumi Australia. Ada kajian yang menyimpulkan bahwa hubungan ini sudah terjalin sejak sekitar abad ke-16/17.
Cukup menarik adalah apa yang termuat dalam buku “Refugees and Rebels” atau “Pengungsi dan Pemberontak” yang ditulis oleh Jan Linggard, tentang keberadaan sejumlah warga Indonesia di Australia ketika Revolusi Indonesia sedang berkobar.
Dalam salah satu bagian Jan Linggard menulis bahwa “di kota Port Hedland, di pesisir utara Negara Bagian Australia Barat, tumbuh sejumlah pohon besar, yang menurut keterangan prasasti di sekitarnya dikenal dengan nama ‘pepohonan Midi Bin Brahim’”.
Midi Bin Brahim lahir di Jawa Timur dalam tahun 1880 dan merantau ke Broome, di utara Australia Barat, dalam tahun 1900 sebagai awak perahu penyelam mutiara. Dia kemudian pindah ke Port Hedland dan menikahi seorang perempuan bumiputra Australia dan kedua suami isteri mempunyai 9 orang anak.
Dalam tahun 1930-an Midi Bin Brahim menanam pepohonan dimaksud, dan sebagai seorang Muslim yang ta’at Midi Bin Brahim juga membangun sebuah “musolah” (musalla) di halaman belakang rumahnya. Dan kini dua orang penganut agama Islam, seorang Muslim dan seorang Muslimah menjadi anggota dalam kabinet Partai Buruh Australia pimpinan Albert Albanesse. Kalau Allah berkehendak segalanya bisa terjadi – kun faya kuun.
Editor: Ariful Hakim