Dudung Kece Merindu Gus Dur | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Dudung Kece Merindu Gus Dur

Ceknricek.com--Heboh pernyataan Pangkostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman tentang semua agama benar adanya di mata Tuhan terus bergulir, disertai berbagai komentar pro dan kontra seperti biasanya. Belum reda hal itu, mencuat warta Muhammad Kece alias Muhammad Kosman dianiaya oleh oknum mantan perwira tinggi kepolisian yang juga mendekam bersama di balik jeruji karena didakwa kasus korupsi. Ditengarai bahwa sang jendral melakukan tindak kekerasan tersebut dengan dalih membela agama.

Belum lagi bila nanti ada yang mengkait-kaitkan hal tersebut dengan tertembak dan wafatnya seorang ustadz muda di Gempol, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang setelah tertembak oleh senjata api, diketahui penembak adalah orang tidak dikenal pada Sabtu (18/9/2021) malam. Bisa jadi aneka teori konspirasi atau yang dibuat-buat konspiratif bakal memantik bara entah demi menangguk popularitas-viral-likes-subscribes atau memang by design demi mengacaukan situasi tanah air.

Belum lama ini juga diwartakan tertembaknya Ali Karola gembong Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang telah lama diburu di belantara rimba Sulawesi Tengah. Isu dan warta seputar ranah sensitif beraroma SARA senantiasa berpeluang digesek, dimasak, dan di-blow up dengan beragam cara serta motif.

Berikutnya, amat berpotensi mengoyak kerukunan dan soliditas anak bangsa nan beragam dibakar emosi sosial yang membara serta sulit dikelola akal sehat. Nyaris tiap hari tiada henti, masyarakat terus diperhadapkan pada persoalan klasik yang cukup pelik. Klasik karena sudah pernah terjadi, sering terjadi, dan sulit untuk memprediksi bahwa hal serupa tak akan lagi terjadi. Pelik karena melibatkan berbagai komponen masyarakat dan acap memecah tatanan sosial.

Persoalan tersebut adalah persoalan ke-beragam-an dan keberagama-an. Celakanya, lembaga agama tak berbuat apa-apa demi menyejukkan suasana kebathinan bangsa bahkan cenderung ikut larut. Celakanya lagi, masyarakat hanya bisa mengelus dada sembari menggumamkan umpatan atau malah turut mem-viral-kan hal tersebut dalam nada emosi tanpa disaring daya kritis nan memadai.

Jagat maya setali tiga uang dengan dunia nyata. Media sosial dijadikan ajang pembenaran cara beragama masing-masing sembari mengumbar keburukan cara beragama orang lain. Warganet menumpahkan segala uneg-uneg tanpa bekal literasi yang cukup. Semua yang senada dengan pemikiran sendiri langsung disebarkan tanpa konfirmasi dan klarifikasi. Berita-berita yang belum tentu benar pun dikabarkan ke penghuni jagat maya tanpa menguji kebenaran sumbernya. Jadilah jagat maya penuh kebenaran berbaur sesak dengan kebohongan, kabut hoax kian pekat menyelimuti.

Para pembelajar makin tidak terbiasa dengan proses mengkritisi, mempertanyakan ulang suatu pernyataan, apalagi melakukan refleksi kritis atasnya. Pada gilirannya, makin keringlah lahan lahirnya gagasan alternatif nan kreatif dibelenggu kedangkalan-kedangkalan atas nama keberhasilan instan banyaknya likes dan subscribes beserta derivasi bentuk-bentuk kedangkalan lainnya nan serba rupa-rupa menawan serta ramah pasar. Suatu ironi tak terpermanai tatkala para selebritas youtuber bergelimang harta mewah sembari memanfaatkan kedunguan adab publik dengan konten-konten dangkal tak mendidik apalagi mencerahkan.

Pada titik inilah kita kian merindukan sosok Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid sang Bapak Pluralisme dan Toleransi bangsa ini. Gus Dur sebagai bapak bangsa dan tokoh pro kemajemukan, telah begitu berjasa meletakkan sendi-sendi penghormatan atas segala perbedaan dilandasi sikap kritis-demokratis. Beliau memberikan banyak contoh konkrit untuk bagaimana seorang manusia itu harus hidup di dunia ini, tak hanya sebatas wacana atau dakwah tetapi sungguh dijalaninya dalam langkah nyata keseharian (walk the talk). 

Berbekal pemahaman keagamaan yang paripurna, sosok Gus Dur telah melampaui sekat-sekat dimensi ruang dan waktu. Gus Dur telah menjadi makrokosmos (jagad besar) atas nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas, sosial budaya dan lain-lain. Gus Dur telah menggabungkan tiga fitrah kemanusiaan, menurut Muhammad Iqbal sastrawan Mesir, yaitu agama, filsafat, dan seni budaya. Seorang ulama yang tinggi derajat keilmuannya, seorang yang paham akan filsafat kehidupan, dan pribadi yang menyukai keindahan lewat produk-produk kebudayaan, seperti musik klasik hingga tarling Banyumasan.

Ah, kian terasa rindu akan sosok KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Beliau pasti akan menanggapi polemik ini dengan lelucon cerdas nan menyejukkan sekalian bangsa, entah mayoritas apalagi minoritas, seluruhnya tanpa kecuali! Inilah yang kering nan gersang saat kini. Tiada tokoh yang bisa lepas-bebas dari segala tetek-bengek vested interest. Tanggapan si A akan dicurigai bermuatan (membela atau melawan) kelompok Y, demikian pula tanggapan si B, dan seterusnya. Semua anak bangsa saling memberi label, dimanakah sejatinya persatuan Indonesia? Hanya di atas kertas konsep tanpa ‘ruh’ yang menjiwai aliran darah dan tulang-belulang. Inikah Indonesia tercinta?

*) Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir bebas, berumah di [email protected]


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait