Duka Cita & Kelelahan Mental Pemilu Serentak | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber : KPU

Duka Cita & Kelelahan Mental Pemilu Serentak

Ceknricek.com -- Pemilu 2019 tampaknya paling bermasalah sepanjang umur republik. Evaluasi ini setidaknya disampaikan Effendi Ghazali, peraih gelar Ph.D. bidang komunikasi politik dari Radboud Nijmegen University Belanda, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Rabu (24/4).

Pemilu Serentak memang tak bisa dipisahkan dari sosok Effendi Ghazali. Sejarah berawal ketika ia dan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK), medio 2013 silam. 

Effendi tak sendirian. Ia didampingi sejumlah ahli dalam bidangnya. Mereka Prof Saldi Isra (pakar hukum tata negara, sekarang Hakim MK), Prof Hamdi Muluk (pakar psikologi politik UI), Didik Supriyanto (Perludem, ahli kepemiluan), Prof Irman Putra Sidin (pakar hukum tata negara), Slamet Effendi Yusuf (alm, ketua panitia Ad Hoc 1, Amandemen UUD 1945), serta Wakil Kamal SH MH yang bertindak sebagai kuasa kukum.

Sumber : Kompas

MK mengabulkan dan mengeluarkan putusan uji materi (judicial review) untuk UU yang digugat Effendi Ghazali tersebut pada Mei 2013, kendati baru resmi dikabulkan pada 23 Januari 2014.  Namun, penerapan pemilu serentak baru bisa dilakukan pada 2019, bukan untuk Pemilu 2014 dengan alasan waktu yang terlalu mepet. Effendi sempat mempertanyakan kebijakan MK tersebut, mengingat Pemilu 2014 diselenggakan pada 9 Juli 2014.

Seingat Effendi, MK mengabulkan gugatan ia dan kawan-kawan karena itulah original intent pembentuk UUD 1945 dan amandemennya.

5 Tahun 2 Bulan Untuk Sosialisasi

Sejak gugatan dikabulkan, ada waktu 5 tahun 2 bulan untuk sosialisasi dan simulasi. Tapi semua hancur gara-gara presidential threshold, yang lebih terlihat sebagai upaya melarang putra-putri terbaik bangsa untuk ikut masuk dalam kompetisi Pilpres! Bahkan ada kesan ingin membatasi agar hanya terdapat satu pasangan kompetitor, dan kalau bisa dicari kompetitor yang terlemah. "Tapi, mereka lupa bahwa sejak 2014 hampir semua pemilu di dunia masuk dalam era media sosial yang sangat brutal," tulis Effendi.

Sumber : IDNTimes

Pemilu 2019 mencatat 2 kubu -- Effendi menyebutnya "Cebong lawan Kampret" -- akan menghasilkan konflik 100 %. Lain kalau, misalnya, pasangan calon presidennya ada 5, seperti tahun 2004. Maka konflik akan terbagi menjadi bersegi-5.

Akibatnya waktu, tenaga, dan energi dari KPU, Panwaslu, Polisi, dan seluruh pihak terkait pemilu, habis untuk menangani, menganalisis, menuntut hoaks dan ujaran kebencian serta pencemaran di media sosial. Sekali lagi, bayangkan kalau peserta pemilunya 5 atau 6 pasangan. Meski hoaks pasti tetap ada, tapi akan bersegi-5 atau bersegi-6; bukan hanya konflik tajam antara petahana dengan lawan lama.

Harusnya 5 tahun, 2 bulan adalah waktu yang amat cukup untuk sosialisasi dan simulasi. Kalau saja terjadi banyak korban karena kesehatan atau kelelahan, berarti simulasinya gagal.

Sumber : CNN Indonesia

Hancur Gara-Gara President Threshold

Sebetulnya sejak berproses di MK, juga saat berbicara di Kemendagri, Effendi dan kawan-kawan sudah mengusulkan Pemilu Serentak bisa berarti Pemilu Nasional Serentak (memilih Presiden, DPR, DPD), dan Pemilu Serentak Daerah (memilih KEPALA DAERAH, DPRD Tingkat 1, DPRD Tingkat 2).

Sumber : KPU

"Itu jelas-jelas kami sampaikan antara lain di Peluncuran Buku karya Tjahjo Kumolo, Mendagri, berjudul "Dasar Hukum Pilkada Serentak", 1 Desember 2015. Tentu setelah dari MK, seluruh aspirasi harusnya masuk  melalui Kodifikasi UU Pemilu, yang harus dibuat oleh DPR dan Pemerintah (karena MK bukan pembuat Undang-Undang)," tulis Effendi Ghazali.

Tapi apa lacur, lahirlah UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, yang diwarnai walk-out dan voting sampai dini hari 21 Juli 2017, terutama gara-gara presidential threshold.

Selanjutnya, setelah lahir UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Effendi berkali-kali menyatakan di media, termasuk juga di ILC (tvOne), dengan UU Pemilu seperti UU Nomor 7 Tahun 2017, maka Pemilu serentak (versi UU Pemilu ini) sebaiknya dibatalkan, kembali saja ke Pemilu seperti biasa tahun 2014, karena jiwanya yang tanpa presidential threshold sudah terenggut.

Kini semua sudah terjadi, yang ada tinggal penyesalan. Juga duka cita, dan doa untuk semua "syuhada" yang meninggal dalam menjalankan tugas pada Pemilu 2019.

Tapi apakah selayaknya "kelelahan fisik" saja yang dibebankan pada Pemilu serentak? Mengingat pada tahun 2014, rakyat juga sudah memilih dengan 4 kertas suara pada Pemilu Legislatif, tanya Effendi.

Bukankah persoalannya lebih pada "kelelahan mental" bahwa bangsa ini terbelah, gara-gara presidential threshold, sehingga konflik diwarnai hoaks dan ujaran kebencian menjadi 100 %, dan membuat bangsa terbelah sangat tajam?

Apa saja menjadi seperti tidak bisa terselesaikan tepat waktu, dan selalu dicurigai. Mulai dari Daftar Pemilih, KPPS, Surat Suara, Peran Polisi, TNI, Babinsa, dan sebagainya!

Ke depan, sambil mengevaluasi total presidential threshold, ada baiknya mempertimbangkan periode jabatan presiden hanya satu kali, misal, selama 7 tahun (sesudah belajar dari sejarah & pengalamannya masing-masing, maka di Korea Selatan masa jabatan presiden 1 kali 5 tahun, di Filipina 1 kali 6 tahun). Sehingga tidak akan pernah ada re-match atau calon presiden yang sama bertarung kembali, yang dapat meruyakkan luka lama.

"Sekali lagi, seluruh bangsa, kita semua, ikut berduka cita sedalam-dalamnya atas berpulangnya banyak 'pahlawan' dalam Pemilu 2019, tapi kita tetap harus berpikir jernih bahwa bukan ini Pemilu serentak yang sejatinya dikehendaki oleh konstitusi kita, juga oleh kami para Pengaju Judicial Review. Buktinya kami terus mengajukan JR untuk memperbaikinya setelah Keputusan MK tahun 2014, tapi apa daya, terus ditolak MK," kata Effendi.



Berita Terkait