Ceknricek.com -- Remuk redamnya perekonomian Indonesia yang dihantam pandemi COVID-19 menyebabkan resesi dan meningkatnya jumlah pengangguran.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi nasional hingga September 2020 minus tiga persen lebih.
Kondisi ini tentu saja butuh waktu untuk pemulihan perekonomian Indonesia. Menurut ekonom senior Chatib Basri, ekonomi Indonesia akan pulih kembali mulai tahun 2022. Pemulihan itupun baru bisa terwujud jika pandemi COVID-19 teratasi dengan baik.
Dalam diskusi daring di Jakarta, Senin, (9/11/20) Chatib Basri menyebutkan penanganan COVID-19 menjadi kunci utama pemulihan ekonomi.
“Setelah pandemic bisa diatasi, aktivitas mulai mengarah kepada normal, baru kita bicara tahap pemulihan, sekarang itu survival,"katanya.
Pengajar UI ini melanjutkan saat ini adalah masa bertahan atau survival dari krisis akibat pandemi COVID-19. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi sudah mulai menunjukkan perbaikan dari kuartal kedua 5,32 persen menjadi kontraksi 3,49 persen pada kuartal III 2020.
Klik video untuk tahu lebih banyak - SOSIALISASI 3M PROTOKOL KESEHATAN DALAM KELUARGA
Ia menyebutkan, lantaran sekarang masih masa bertahan, pelaku usaha belum akan melakukan ekspansi bisnis sebab masih ada pembatasan ekonomi.
“Misalnya restoran, orang hanya boleh sediakan 50 persen dari kapasitas, untuk apa ekspansi restoran baru jika di tempat yang ada belum bisa penuh karena masih pembatasan,” ujarnya.
Mantan Menteri Keuangan 2013-2014 ini menambahkan saat ekonomi mulai pulih dan normal kembali tahun 2022, usaha swasta diprediksi meningkat kembali.
“Jika vaksin butuh waktu 2021, saya tidak yakin investasi swasta naik tajam tahun 2021 karena protokol kesehatan masih in place, karena itu proses recovery di mana investasi naik itu periode setelah kondisi ekonomi mulai normal,” tambahnya.
Chatib Basri memaparkan pemerintah memiliki peran penting dalam memberikan insentif kepada pelaku usaha ketika investor mulai masuk saat ekonomi mulai pulih. Subsidi diberikan khususnya kepada pelaku usaha yang mempunyai proyek hijau atau pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan.
“Di sini peran intervensi pemerintah contohnya BBM fosil tidak bisa lagi disubsidi. Jika terus disubsidi, orang akan terus konsumsi BBM fosil. Ketika harga minyak relatif rendah, saatnya melepas subsidi, uangnya bisa untuk kesehatan, bisa dialokasikan mendukung sektor renewable,” pungkasnya.
Baca juga: Pengangguran dan Nasib UMKM di Tengah Pandemi COVID-19
Baca juga: Sudah 17 Hari Berturut-turut Brunei Nihil Kasus Baru COVID-19